Pacitanku.com, PACITAN – Momen puncak prosesi Hari Jadi Pacitan ke-277 menghadirkan hal baru yang belum ada sebelumnya saat Hajatan ke-277.
Selain kirab Bupati Pacitan menuju ke panggung utama di Pendopo, juga digelar serah terima keris dan tombak dari Gubernur Jawa Timur Khofifah kepada Bupati Pacitan.
Tak hanya itu, ada hal menarik dalam Hajatan kali ini, yaitu adanya latar belakang burung garuda bernama Jatayu.
Simbol tersebut menjadi latar belakang utama saat Bupati Pacitan Indrata Nur Bayuaji duduk di panggung utama Pendopo Kabupaten Pacitan pada Sabtu (19/2/2022).
Simbol burung Jatayu yang ditampilkan dalam gelaran prosesi Hari Jadi Pacitan tersebut berwarna keemasan, lengkap dengan sayap yang mengembang. Saat Bupati Pacitan berdiri, terlihat seolah-olah sang Bupati memiliki sayap burung Jatayu.
Dalam sejarahnya, Jatayu erat kaitannya dengan kisah pewayangan, terutama Ramayana. Kisah ini menceritakan perjuangan tokoh protagonis Raden Rama untuk mendapatkan kembali istrinya, Dewi Sinta yang diculik oleh Rahwana atau Dasamuka.
Dan salah satu tokoh dalam kisah Ramayana adalah Jatayu. Ia merupakan burung garuda yang sakti. Dikisahkan, Jatayu terlibat pertarungan dengan Rahwana saat berusaha menyelamatkan Dewi Sinta.
Namun, Jatayu akhirnya kalah saat melawan Rahwana. Raksasa itu membunuh Jatayu dengan terlebih dahulu memotong salah satu sayapnya. Kisah ini pernah juga digelar dalam pertunjukan Sendratari Ramayana di Candi Prambanan, Kabupaten Klaten.
Lantas mengapa Pacitan menggunakan Burung Jatayu sebagai ikon Hari Jadi Pacitan ke-277?
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga (Disparbudpora) Pacitan, Djohan Perwiranto saat berbincang dengan awak media usai prosesi Hajatan mengungkapkan Jatayu adalah simbol kejayaan, seperti yang dipakai Kerajaan Majapahit pada masanya.
“Jatayu itu adalah simbol kejayaan, Kerajaan Majapahit dulu simbolnya Jatayu, dan karena dalam sejarahnya, Pacitan melu (ikut-red) Kerajaan Majapahit itu ratusan tahun, ikut Solo (Keraton Surakarta) 5 tahun, ikut Jogja (Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat) 5 tahun, pernah juga ikut Panjalu (Kediri, red),”kata Johan.
Kaitan dengan rencana kedepan symbol burung Jatayu dipertahankan, pria yang juga seniman Jagrag dari Slagi, Kelurahan Pacitan ini mengharapkan simbol tersebut dipertahankan.
“Itu kan simbol kejayaan, simbol tertinggi kalau menurut saya, simbol tertinggi ini dipertahankan, apa kita mau mencari ikon lain misalnya,”tandasnya.
Selain itu, terkait adanya potensi perubahan tanggal Hari jadi Pacitan yang saat ini dipakai adalah setiap tanggal 19 Februari, Djohan juga tidak menampik dan tidak menutup kemungkinan apda perubahan jika ada data yang lebih autentik.
“Jadi, memang teman-teman juga ada agenda penelusuran hari jadi, karena kan waktu dulu ketika waktu ditetapkan hari jadi, masih ada kata-kata bijak, bahwa penetapan hari jadi ini masih bersifat sementara, jika dalam perjalanannya ditemukan data yang lebih autentik, maka dalam perjalanannya (tanggal hari jadi saat ini, red) bisa batal, bahkan di 38 kota/Kabupaten di seluruh Jawa Timur, ada 15 daerah yang mengubah tanggal hari jadi,”jelasnya.
Pada tahun ini, Djohan mengatakan pihak penyelenggara prosesi Hari Jadi Pacitan juga tidak menggunakan ritual ngunjuk (minum, red) rucuh pace.
“Kalau untuk minum pace saya tidak menggunakan itu, tirto wening itu kan juga baru juga, itu buatan baru sekitar 8 atau 9 tahun yang lalu, jadi itu bukan dari turun-temurun, bukan. Kalau saya menilai, itu sebagai pemanis sebuah acara prosesi, terus disambung-sambungkan, Pacitan, ada (sejarah) Pace, ada minum rucuh pace,”papar Djohan.
Sementara, terkait logo Hari Jadi, Djohan menilai setiap tahun bisa saja logo Hari Jadi Pacitan berubah.
“Kalau logo itu tidak harus seperti tahun ini, dalam arti (misalnya) logo Hari Kemerdekaan 17 Agustus itu juga berubah (setiap tahunnya), jadi mungkin logo (Hajatan) tahun depan tidak seperti ini lagi,”pungkasnya.