Para Tokoh Pendiri Pacitan

oleh
LOGO KABUPATEN PACITAN
LOGO KABUPATEN PACITAN

Tumenggung Notopuro dan Tumenggung Setraketipa adalah dua pemimpin awal Pacitan yang memiliki signifikansi peran dalam babad Pacitan dan perkembangannya. Dalam buku ini beliau berdua saya kisahkan agar kita tidak a-historis dalam menangkap dan memahami peranan tokoh – tokoh penting dalam sejarah perkembangan Pacitan.

Sebelum menganalisa peran dua tokoh tersebut, di sub-bab ini ingin penulis sampaikan bahwa model kepemimpinan Pacitan sebelum adanya sistem pemerintahan kabupaten seperti saat ini, adalah kadipaten, kawedanan dan kademangan. Model pemerintahan seperti ini adalah model yang digagas oleh Macapat, sedangkan sistem pemerintahan di Pacitan, karena pada waktu itu Islam sudah masuk dan menjadi agama masayarakat pacitan, yang pada awalnya dibawa oleh Walisongo, menggunakan sistem pemerintahan Macapat. Sedangkan untuk pemimpinnya disebut dengan Kyai Ageng, Demang, Ngabehi, dan wedono cunung.

Dalam berbagai referensi tentang babad Pacitan, sejarah mulainya menggunakan metode kepemimpinan Bupati dengan model kabupaten, adalah saat terjadinya peristiwa pemberontakan oleh Pangeran Mangkubumi di wilayah Karesidenan Madiun.  Setelah peristiwa pemberontakan tersebut, pada akhirnya banyak rakyat dari kasta rendah diangkat menjadi tumenggung, termasuk salah satunya Ngabehi Notoprojo yang diangkat menjadi Tumenggung Posong dan pada akhirnya ditetapkan sebagai Bupati di Nanggungan .

Masih dikisahkan dalam babad Pacitan, saat pada akhirnya Pangeran Mangkubumi  menjadi Raja di Keraton Yogyakarta (Ngayogjokarto Hadiningrat), beliau membagi tanah monco nagari  menjadi dua, sebagian ikut pemerintahan kerajaan di Surakarta, dan sebagian dibawah kerajaan Yogyakarta. Untuk tanah Pacitan sendiri akhirnya juga dibagi menjadi dua oleh Pangeran Mangkubumi, dengan rincian pembagian sebagai berikut :

1.Wilayah Nanggungan ikut pemerintahan keraton Ngayogjokarto hadiningrat,

2.Wilayah Rejasa dan beberapa daerah disekitarnya ikut Pemerintahan Surakarta hadiningrat.

Didalam babad Pacitan, diceritakan bahwa Raden Ngabehi Notopuro dari Rejoso yang pada waktu itu merupakan wilayah Kesultanan Keraton Surakarta, pada akhirnya diangkat menjadi Tumenggung oleh Kanjeng Pangeran Surakarta, di Pacitan, dan menjadi pemimpin atau bupati pertama Pacitan dalam sejarah Pacitan setelah menggunakan sistem pemerintahan yang baru, tepatnya tahun 1750-1757. Tidak banyak cerita yang mengisahkan prestasi – prestasi yang dibuat oleh Bupati pertama Pacitan ini, satu – satunya cerita yang bisa didapatkan dari Bupati Tumenggung Notopuro adalah intrik dibalik dihukum kisas yang dijatuhkan oleh Keraton Surakarta kepada beliau.

Diceritakan dalam babad Pacitan, Tumenggung Notopuro dikisas karena mengingkari janji kepada sultan, atau biasa dipanggil Kanjeng Sinuwun yang hendak mempersunting anak perempuan Tumenggung yang cantik jelita, tetapi pada akhirnya anak gadis Tumenggung dipersunting oleh Pangeran Pakuningrat dari Surakarta.

Hal ini tentu membuat Kanjeng Sinuwun merasa di kerjai oleh Tumenggung yang dulu banyak dibantu menjadi bupati di Pacitan. Pada akhirnya hukuman kisas dijatuhkan ke Tumenggun Notopuro dan jenazahnya diberikan kepada keluarganya, pada akhirnya dimakamkan di Dusun Karang Desa kembang, Kecamatan Pacitan. Dan sampai sekarang makam Tumenggung menjadi pepunden ahli waris warga sekitarnya.

Sementara itu studi mengenai Tumenggung Setraketipa sebenarnya sudah dibahas pada sub-bab sebelumnya, akan tetapi sedikit memperjelas saja bahwa peranan Setraketipa dalam perang yang pada akhirnya menentukan nama Pacitan, begitu signifikan. Terutama saat beliau memberikan obat mujarab kepada sang Pangeran dengan memberinya buah Pace, untuk selanjutnya diminum sebagai obat yang mampu membuat para pasukan kembali memiliki kekuatan untuk berperang.

Setelah peristiwa tersebut, Setraketipa yang jabatannya hanya abdi dalem akan dijanjikan oleh Pangeran Mangkubumi diberikan kedudukan Bupati. Setelah pada akhirnya kanjeng Pangeran Mangkubumi menjadi Raja di Keraton Yogyakarta, semua abdi dalemnya yang turut berkontribusi membantu peperangan, seperti Penewu, Kliwon, dan Mentri Timbang diberikan imbalan berupa jabatan bupati. Tetapi rupanya sang raja ini lupa kalau Setra Ketipa juga memiliki peran yang signifikan membantu peperangan. Hanya Setraketipa sendiri yang oleh raja tak diberikan imbalan apapun karena beliau lupa.

Tetapi pada akhirnya Setraketipa punya satu akal untuk mengingatkan sang raja yang lupa akan janjinya itu, beliau melakukan pelanggaran berat, dan pada akhirnya akan dihukum kisas oleh sang raja. Saat sebelum dikisas, Setraketipa minta buah Pace kepada sang raja untuk dibawa ke kubur. Pada saat momentum Setraketipa meminta Pace inilah sang Raja kembali teringat akan perjanjian saat perang berkecamuk, untuk memberinya imbalan menjadi Bupati. Dalam kisahnya akhirnya sang raja memberinya wilayah kepada Setraketipa menjadi Bupati Pacitan ke II, selain itu juga Setraketipa dijodohkan dengan Anak gadis dari Panggul, Trenggalek, putri Demang Panggul yang bernama Mas Ajeng Nitisari . Setelah menjadi Bupati, Setraketipa diberi nama oleh Sang Raja dengan Nama Tumenggung Setrowijoyo.

Pada awal beliau memimpin, beliau memimpin kabupaten Luano, akan tetapi setelah ada permintaan istrinya, akhirnya sang tumenggung pindah ke wilayah Nanggungan, dan menjadi Bupati di Nanggungan. Ada kisah yang unik dari Tumenggung Setrowijoyo I ini, karena peristiwa pace yang membat beliau mendapatkan rezeki, beliau sering disebut dengan tumenggung Pace oleh orang – orang diwilayahnya. Hasil perkawinannya dengan Mas Ajeng Nitisari, beliau dikaruniai putra yang dinamakan Tumenggung Setrowijoyo II, yang kelak pada akhirnya menggantikan Setrowijoyo I.

Dikisahkan pula saat Tumenggung Setrowijoyo II memimpin, beliau sering sakit – sakitan, sakit tulang namanya. Dan untuk urusan administrasi pemerintahan, beliau ini tidak terlalu piawai. Sehingga pada akhirnya Tumenggung Setrowijoyo II digantikan oleh seorang yang bernama kyai Jayaniman.

Kisah Kyai Jayaniman dan metode kepemimpinannya

Kyai Jayaniman adalah seorang kyai yang saat sebelum beliau menjadi pemimpin tertinggi di Pacitan hanyalah seorang modin di Kampung Tanjungsari. Itupun karena beliau diambil anak angkat oleh Tumenggung Setrowijoyo I, sembari memperdalam ilmu keislamannya di Tanjungsari. Setelah beliau jadi modin di Tanjung, beliau diangkat menjadi Ngabehi di Arjowinangun, dan pada puncaknya, setelah Tumenggung Setrowijoyo I meninggal dunia, dan digantikan oleh Tumenggung Setrowijiyo II.

Dan pada akhirnya diketahui bahwa Tumenggung Setrwoijoyo II yang sakit – sakitan dan juga kurang piawai menjalankan roda pemerintahan, akhirnya digantikan oleh Kyai Jayaniman, atau kemudian disebut dengan Kyai Kanjeng Jimat. Saat Kyai Djayaniman menjadi Tumenggung, beliau berganti nama menjadi Tumenggung Jokokaryo I.

Kyai Djayaniman atau Kanjeng Jimat dalam sejarahnya adalah keturunan ke-XII Ki Ageng Buwonokeling yang berkuasa sejak 1840. Berikut silsilah keturunan dari Kyai Djayaniman;

  1. Ki Ageng Buwono Keling  Agama Budha
  2. Ki Ageng Purbengkoro  Agama Budha
  3. Ki Ageng Jati Gumelar  Agama Budha
  4. Ki Ageng Sambi Gumelar  Agama Budha
  5. Ki Ageng Puring Toyo  Agama Islam
  6. Ki Ageng Mendole  Agama Islam
  7. Ki Ageng Puring Baerakas  Agama Islam
  8. Ki Ageng Sanudin           Agama Islam
  9. Ki Ageng Sabarudin  Agama Islam
  10. Ki Ageng Rajudin            Agama Islam
  11. Ki Ageng Djayanudin  Agama Islam
  12. Ki Ageng Djayaniman  Agama Islam

Sementara kata jimat yang tersemat di nama beliau yang artinya barang keramat yang diberikan kepada Djayaniman berawal dari tugas yang diberikan Pangeran Diponegoro kepada Djayaniman untuk bisa menjaga gedung yang berisi barang keramat .

Kyai Djayaniman secara fisik adalah seorang pemimpin sejati, berperawakan tinggi besar, kuning, dan berwatak keras, dan saat itu usianya baru sekitar 40 tahun. Dalam perjalanan Kyai Kanjeng Jimat atau Tumenggung Jogokaryo I memimpin Pacitan, beliau ini adalah sosok yang sederhana dan penganut Islam yang taat. Salah satu terobosan beliau saat emnjadi Bupati adalah pembangunan Pacitan beraroma keislaman adalah salah satu cita-citanya.

Karena itu pun ketika Kyai Kanjeng Jimat meninggal dunia, dia mewasiatkan untuk dikubur di atas bukit yang berhadapan dengan kota Pacitan. Seperti di Giri Sampoerna sekarang. Dari lokasi makam Kanjeng Jimat, kota Pacitan, berikut hamparan Pantai laut Selatan Teleng Ria terlihat jelas. Meski di sana bersemayam tokoh besar Pacitan, namun makam seluas 8×10 meter itu tergolong sederhana. Tidak ada ornamen khas Pacitan yang terukir di sana. Hanya bangunan rumah yang berdampingan dengan mushola Kanjeng Jimat.

Kyai Djayaniman memiliki beberapa cerita yang menguatkan strategi kepemimpinan beliau, seperti tentang kekuatan lobinya saat pada waktu itu Belanda menguasai tanah Pacitan untuk menjadikan kebun, juga beberapa anaknya yang mewariskan jiwa kepemimpinan beliau, seperti Tumenggung Djogonagoro dan Tumenggung Djogokaryo II yang meruapakan anak – anak kandung Kyai Djayaniman.