Analisis babad Pacitan ini sudah dituliskan dalam buku Babad Pacitan dan perkembangannya, juga babad Pacitan inilah yang pada akhirnya menjadi patokan Pemerintah menentukan hari jadi Pacitan.
Dalam kajian bab tentang babad Pacitan, kita akan menemukan satu bentuk kedekatan sosio-histori, geografis dan juga kedekatan ideologis Pacitan dengan daerah Ponorogo, Mojokerto, Demak, Trenggalek, dan juga Pacitan sendiri. Kedekatan sosio-historis tersebut dapat dilihat dari peran daerah – daerah tersebut dalam proses pembentukan Pacitan, baik sebagai wilayah yang mandiri maupun dalam konteks ideologi.
Hal ini dapat ditemukan misalnya dari peran Bathara Katong yang merupakan Adipati Ponorogo, terhadap Pacitan sebagai wilayah baru yang pada akhirnya nanti akan dikembangkan atau dibuka oleh para murid – murid beliau seperti Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong, dan juga Syekh Maulana Maghribi. Bathara Katong yang juga merupakan keturunan langsung dari Raja Brawijaya v (Majapahit) yang terletak di Mojokerto ini juga memiliki andil dalam terbentuknya wilayah di sebelah timur wengker yang kemudian disebut dengan Trenggalek.
Sedangkan analisa mengenai kedekatan ideologi, kita akan mendapati bahwa Demak, Kesultanan Demak memiliki peran besar dalam proses penyebaran ideologi Islam di wilayah Pacitan. Hal ini menjadi satu penguat, bahwa ladang amal dari ilmu – ilmu dakwah islam yang sudah dipelajari oleh Bathara Katong semasa berguru di Kesultanan Demak adalah wilayah Ponorogo, Pacitan dan Trenggalek. Kalau di Ponorogo beliau langsung menerapkannya sendiri, di Pacitan dan Trenggalek beliau menggunakan atau meminta murid – muridnya untuk mendakwahkan Islam didaerah yang dulu disebut Wengker Kidul ini.
Jadi ketika kita berbicara proses terjadinya babad tanah Pacitan, kita akan menemukan beberapa hal yang menjadi satu pengokoh proses terbentuknya Pacitan sebagai wilayah mandiri dipesisir Selatan. Islam dan Jawa sebagai ideologi dan proses pendekatan kultural yang dilakukan oleh para tokoh yang membuka lahan disini, kemudian juga adalah signifikansi peran seorang Bathara Katong dan juga Reog Ponorogo yang saya kira menjadi faktor determinan proses terbentuknya Pacitan sebagai sebuah wilayah mandiri, secara geografis maupun ideologi.
Sebelum terjadi kisah serta kajian mendalam babad tanah Pacitan, wilayah yang berada di pesisir selatan Jawa Timur ini pada mulanya hanya berupa hutan belantara, dan berada di wilayah selatan Ponorogo. Hal ini dibuktikan dengan kondisi wilayah yang hutan, dan tidak ada bekas perkampungan atau kadipaten seperti halnya Ponorogo yang waktu itu dikendalikan oleh Adipati Bathara Katong. Walaupun pada waktu itu di daerah selatan ini ada yang bermukim, itupun hanya satu sampai dua rumah saja, selain itu hanya berupa hutan tak terjamah oleh manusia ataupun bahkan oleh tokoh – tokoh kerajaan yang berkuasa pada waktu itu. Biasanya yang menjadi penghuni di wilayah ini pra-babad Pacitan adalah para pendatang dari daerah lain, selain itu juga mereka adalah para sesepuh yang menggunakan hutan belantara terebut untuk melakukan ritual semedi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya tanda – tanda ditemukannya tempat untuk semedi diwilayah ini sebelum babad tanah Pacitan.
Sedangkan menurut sejarahnya, asal mula adanya wilayah Pacitan berawal dari satu kerajaan terbesar di wilayah nusantara, yaitu kerajaan Majapahit yang pada waktu itu dipimpin oleh Raja Brawijaya V. Sebenarnya juga Pacitan bukan bagian dari ekspansi kekuasaan Kerajaan Majapahit, akan tetapi keberadaan Pacitan adalah murni dari babad alas atau dibukanya wilayah baru yang berupa hutan belantara yang terletak di pesisir selatan Jawa.
Hal ini cukup menjadi alasan yang logis mengingat Pacitan pada waktu itu hanya sebuah hutan belantara, bukan tempat yang ‘menggiurkan’ bagi kerajaan Majapahit untuk melakukan ekspansi kekuasaannya. Raja Brawijaya V pada waktu itu memiliki putra bungsu bernama Bathara Katong yang pada akhirnya melakukan ekspansi kekuasaannya diwilayah Ponorogo dan memiliki pangkat sebagai adipati di Kadipaten Ponorogo (sekarang menjadi Kabupaten Ponorogo). Ponorogo sendiri adalah sebuah wilayah yang terletak diselatan Gunung Wilis dan bagian barat Gunung Lawu, utara Pacitan yang akan menjadi fokus kajian di buku ini.
Peran Bathara Katong dalam historiografi Pacitan
Analisis mengenai babad tanah Pacitan tak bisa dilepaskan dari akarnya. Dan akar kelahiran dan terbentuknya Pacitan sebagai sebuah wilayah, tak lepas dari peran seorang sang adipati wengker, Bathara Katong. Fakta ini merujuk dari murid – murid beliau yang rata – rata menjadi pembuka lahan di Pacitan. Kyai Siti Geseng yang kemudian berganti nama menjadi Ki Ageng Petung, kemudian Syeh Maulana Maghribi yang kemudian menyusul Ki Ageng Petung untuk membuka lahan baru diwilayah Duduhan, dan yang ketiga adalah Kyai Ampok Boyo yang kemudian dalam ceritanya berganti nama menjadi Ki Ageng Posong.
Bathara Katong adalah putra bungsu Raja Brawijaya V dari kerajaan Majapahit, hasil perkawinananya denga Putri Campa, salah satu selir Prabu Brawijaya V, adik dari Lembu Kenongo yang pada akhirnya kelak mendidirkan kesultanan Demak dan berganti menjadi Raden Patah . Kerajaan Majapahit sendiri pada waktu itu memang sedang mengalami kemunduran setelah sebelumnya kita ketahui sebagai kerajaan adidaya dan sempat memiliki kekuasaan sampai di semenanjung malaka. Dikarenakan mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Patah, mendirikan kesultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro atau Bathara Katong muda mengikut jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak.
Saat Bathara Katong menimba ilmu keislaman dan berguru di Kesultanan Demak, beliau didaulat untuk menyelidiki daerah Wengker. Sebenarnya konteksnya bukan hanya menyelidiki, tetapi lebih tepat adalah menyebarkan Islam dan juga membuka lahan didaerah tersebut. Dan pada akhirnya, singkat cerita Batoro Katong menjadi Bupati pertama Ponorogo. Pada saat itu di Wengker terdapat kesenian barongan, kemudian oleh Batoro Katong nama Barongan diganti dengan nama Reog. Reog tersebut pada akhirnya digunakan Adipati Bhatara Katong sebagai media untuk menyebarkan ajaran Islam di daerah Wengker .
Peran historis Ageng Petung, Ageng Posong, dan Syekh Maulana Maghribi
Saat memimpin Ponorogo inilah dimulailah hubungan kedekatan sosio-historis antara wilayah Ponorogo yang pada waktu itu disebut Wengker dan Wengker kidul yang akhirnya menjadi cikal bakal terbentuknya wilayah Pacitan. Ceritanya adalah ketika ada salah satu Kyai yang berasal dari kesultanan Demak, yang bernama Kyai Siti Geseng , berguru dan mengabdi kepada Adipati Bhatara Katong di Ponorogo. Singkat cerita Kyai Siti Geseng pada akhirnya diberikan wilayah perkampungan di Pantai Selatan untuk mengelola daerah hutan belantara tersebut.
Pada akhirnya Kyai Siti Geseng berangkat ke Wengker Selatan dan membuka lahan di Hutan yang kemudian diberi nama hutan Rejoso . Kyai Siti Geseng melakukan ibadah diwilayah ini dengan menancapkan bambu seukuran pegangan sabit untuk berdoa dan memohon pertolongan dibukanya wilayah disini . Saat beliau membuka wilayah disini, beliau bertemu kompatriot dan sesama pendakwah Islam yang bernama Syekh Maulana Maghribi, yang waktu itu juga sudah mendapatkan izin dari Adipati Bathara Katong di Wengker untuk bahu membahu dengan Ki Ageng Petung mengelola daerah di pesisir selatan Wengker ini. Syekh Maulana Maghribi mendapatkan wilayah untuk melakukan babad diwilayah Duduhan, sebelah utara daerah yang menjadi pengelolaan Ki Ageng Petung yaitu di daerah Rejoso.
Sedangkan satu lagi nama yang tidak boleh ditinggalkan dalam analisis Histori terbentuknya Pacitan, adalah peran Kyai Ampok Boyo. Kyai Ampok Boyo adalah juga murid dari Adipati Bathara Katong yang berguru selama beberapa waktu dengan adipati karismatik pertama Ponorogo tersebut. Bersama kompatriotnya, Kyai menak Sompal, Kyai Ampok Boyo berguru ilmu kepada Bathara Katong, dan pasca menyelesaikan pendidikannya menimba ilmu di Ponorogo, beliau diminta untuk menetap di Wengker, akan tetapi Kyai Ampok Boyo dan Kyai Menak Sompal dengan segala alasan mereka, memilih untuk membuka lahan baru. Hingga pada akhirnya keputusan mereka berdua dikabulkan oleh Adipati Bathara Katong.
Kyai Menak Sompal diberikan tempat didaerah pesisir sebelah selatan bagian timur Wengker untuk membuka lahan disitu, sedangkan Kyai Ampok Boyo diberikan tempat dipesisir selatan, yang sebelumnya juga sudah ditempati oleh Ki Ageng Petung dan Syeh Maulana Maghribi. Adapun, pada akhirnya keduanya memilih opsi yang kedua yaitu membuka lahan baru diwilayah yang telah ditentukan, Kyai Ampok Boyo memilih mendirikan perkampungan yang kemudian diberi nama Posong, untuk wilayahnya sampai perbatasan dengan Ponoorgo dan pada ceritanya, Kyai Ampok Boyo kemudian berganti nama menjadi Ki Ageng Posong. Syekh Maulana Maghribi sendiri hidup diwilayah Dukuh Duduhan (sekarang Desa Mentoro) untuk menyebarkan Islam diwilayah ini . Sedangkan Ki Ageng Petung yang datang sebelumnya, memiliki wilayah tanah sebelah selatan sampai pesisir selatan, sebelah barat di dusun Mojo, dan ke timur di Sungai Wuluh.
Peran ketiga orang yang menjadi pembuka lahan Pacitan ini memiliki signifikansi terhadap perkembangan ideologi masyarakat Pacitan pada waktu itu. Karena selain membuka lahan sebagai tempat pemukiman baru dengan wilayah masing – masing, mereka juga memiliki peran penyebaran agama Islam di wilayah ini. Jadi ada dua dampak yang dibawa ke Pacitan yang berasal dari kedatangan tiga tokoh tersebut, Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong, dan Syekh Maulana Maghribi.
Yang pertama adalah dampak terbukanya wilayah baru di Pacitan, meliputi daerah Posong, Mojo, Rejoso, Wuluh, dan Duduhan. Dan yang kedua adalah munculnya Agama baru di Pacitan setelah sebelumnya masyarakat Pacitan hanya mengenal agama Hindu dan Buddha. Dua dampak besar terhadap keberlangsungan Pacitan sebagai wilayah mandiri inilah yang pada akhirnya membuat ketiga tokoh tersebut memiliki peran yang signifikan terhadap perkembangan Pacitan.
Ki Ageng Buwono Keling dan proses akulturasi Ideologi
Sejarah Pacitan juga tak lepas dari salah satu tokoh besar Pacitan sebelum ketiga tokoh Islam yang penulis sebut dalam sub-bab sebelumnya. Tokoh ini bernama Ki Buwono Keling yang namanya saat ini diabadikan menjadi museum di Pacitan. Sebelum Islam masuk dibawa oleh ketig atokoh tersebut (Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong, dan Syekh Maulana Maghribi) pada abad ke XV di Pacitan telah berkembang agama Hindu dan Budha yang berkiblat kepada Kerajaaan Majapahit (Raja Brawijaya) yang dipimpin oleh Ki Ageng Buwono Keling yang bertempat tinggal di Jati Kecamatan Kebonagung (± 7 km dari ibukota Pacitan).
Didalam salah satu prasasrti yang ditemukan di wilayah ini, menjadi satu bukti bahwa Ki Ageng Buwono Keling pernah memiliki kekuasaan diwilayah ini. Hal itu tersirat dalam bunyi prasasti tersebut, yang artinya, dahulu ada seorang pendekar ternama bernama Buwono keling yang telah mencapai kesempurnaan, dalam ilmu kebathinan dan kekebalan. Seorang guru diantara orang bijaksana dan beliau inilah yang menjadi perintis dan pemakrarsa daerah sekitarnya .
Didalam asal silsilahnya, asal usul KI Ageng Buwana Keling adalah putra Raja Padjajaran yang di nikahkan dengan salah satu putri Brawijaya V dari kerajaan Majapahit yang bernama putri Togati. setelah menjadi menantu Majapahit maka KI Ageng Buwana Keling mendapat hadiah tanah di pesisir selatan dan di haruskan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. Ki Ageng Buwana Keling berputra tunggal bernama Raden Purbengkoro yang setelah tua bernama KI Ageng Bana Keling. Ki Ageng Buwono Keling sendiri beragama Hindu, namun dalam referensi lain dikatakan bahwa Ki Ageng Buwono Keling beragama Budhha.
Didalam versi lain dalam legenda Pacitan, menyatakan bahwa Ki Ageng Buwono Keling ini adalah saudara seperguruan Ki Tunggul Wulung, salah seorang kepercayaan Prabu Brawijaya V. Ceritanya dimulai pada saat menjelang kemunduran Kerajaan Majapahit di masa pemerintahan Prabu Brawijaya V yang menikah dengan puteri dari China. Dalam kepercayaan kala itu siapa saja wangsa Jawa yang menikahi puteri China dia akan mengalami kekalahan dalam segala hal. Prabu Brawijaya V menyadari hal tersebut, beliau kemudian menyiapkan seseorang untuk berjaga-jaga bila huru-hara benar-benar terjadi. Seseorang yang dipersiapkan tersebut ialah Ki Tunggul Wulung. Brawijaya V menyuruh Ki Tunggul Wulung untuk bersemedi di Gunung Lawu.
Di saat itulah Agama Islam masuk ke tanah Jawa, yaitu melalui daerah pesisir utara Pulau Jawa, sedangkan alasan karena tidak ingin masuk Islam, ketiga saudara kerajaan tersebut dari Ki Tunggul Wulung, yaitu Ki Brayut, Ki Buwono Keling dan Ki Tiyoso melarikan diri ke daerah selatan ke wilayah wengker kidul. Sesampainya di Wengker Kidul perjalanan mereka dibagi menjadi tiga yaitu, Ki Buwono Keling lewat sebelah utara, Ki Tiyoso lewat pesisir selatan dan Ki Brayut lewat tengah hutan. Pada akhirnya kemudian Kerajaan Majapahit benar-benar mengalami prahara besar dan Ki Tunggul Wulung turun gunung, ternyata beliau tidak bisa memadamkan huru-hara tersebut. Kemudian Ki tunggul Wulung memutuskan untuk mencari ketiga saudara seperguruannya di Wengker Kidul, tepatnya di Setono Genthong, dari situ ia melihat gunung yang berjajar empat .
Dapat dikisahkan bahwa pada akhirnya Kyai Tunggul Wulung membuka lahan atau babad alas disekitar lereng gunung Limo. Salah satu dari gugusan gunung yang berjumlah lima merupakan tempat untuk bertapa atau bersemedi. Untuk mencapai lokasi pertapaan harus melewati banyak rintangan seperti tangga, dan selain itu juga harus menembus hutan lebat, tebing yang terjal serta Selo Matangkep .
Proses akulturasi ideologi masyarakat ini sendiri sebenarnya menjadi satu keniscayaan sejarah secara umum di Indonesia pada waktu itu, termasuk khususnya yang akan menjadi pembahasan disini adalah di Pacitan. Akulturasi Ideologi dari Hindu-Buddha ke Islam di Pacitan terjadi sejak tiga tokoh Islam yang juga murid Adipati Wengker, Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong, dan Syekh Maulana Maghribi membuka wilayah di Pacitan.
Dan ketiga tokoh tersebut pada akhirnya bermaksud mendakwahkan Islam ke wilayah Ki Ageng Buwono Keling. Peristiwa inilah yang pada akhirnya mengakhiri ideologi lama Hindu-Buddha yang dibawa Ki Ageng Buwono Keling dari Kerajaan Majapahit di Kebonagung, Pacitan, dan berganti menjadi Ideologi Islam yang dibawa oleh tokoh – tokoh Islam tersebut.
Peristiwa dakwah Islam di wilayah kekuasaan Ki Buwono Keling ini sendiri memang sejak awal diceritakan diberbagai sumber mendapatkan pertentangan yang hebat dari Ki Ageng Buwono Keling sendiri yang masih kukuh meyakini Hindu sebagai keyakinan dan ideologi yang dibawa dari nenek moyangnya. Pertentangan hebat ini pada akhirnya menjadi satu pertempuran luar biasa antara kedua belah pihak.
Peperangan yang terjadi antara Ki Ageng Buwana Keling dan pasukannya dengan penganut agama Islam yang dipimpin oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syeikh Maulana Maghribi memakan waktu yang cukup lama , karena kedua belah pihak, memang terdiri dari orang-orang sakti.
Namun akhirnya dengan keuletan dan kepandaian serta kesaktian para tokoh Islam tersebut peperangan itu dapat dimenangkan oleh kelompok Ki Ageng Petung dan pengikutnya setelah dibantu oleh prajurit dari Adipati Wengker . Dalam legenda lain sering disebutkan bahwa Ki Ageng Buwana Keling ini adalah seorang yang sakti mandraguna. Beliau tidak bisa mati meskipun dibunuh berkali – kali. Akhirnya ditemukan juga kelemahan beliau. Ki Ageng Buwono Keling dibunuh kemudian dipotong menjadi tiga bagin kemudian jenazahnya dimakamkan di tiga lokasi yang berbeda, dimana masing-masing dipisahkan oleh sungai.
Peristiwa terbunuhnya Ki Ageng Buwono keling ini yang pada akhirnya menentukan masa depan Pacitan dengan Islam sebagai ideologi baru yang dibawa oleh ulama menggantikan Hindu-Buddha. Proses akulturasi ini yang juga pada akhirnya menentukan lahirnya pondok Modern Tremas yang menjadi pondok terbesar di Pacitan.
Sumber: Buku Pacitan The Heaven of Indonesia