Pacitanku.com, DONOROJO – Sorak sorai riuh rendah memenuhi lapangan Desa Cemeng, Kecamatan Donorojo, Pacitan pada Senin (19/5/2025) lalu.
Ratusan warga tumpah ruah, bukan sekadar menyaksikan, namun larut dalam kemeriahan Gelar Budaya Festival Bumi Banaran Bersih Desa Cemeng.
Sebuah perhelatan yang tak hanya menyajikan kirab budaya nan memukau, namun juga sebuah atraksi puncak yang begitu dinanti: adu kelapa.
Sensasi Adu Kelapa yang Membius
Adu kelapa, gelaran kolosal yang melibatkan orang dewasa saling menghantamkan buah kelapa, menjadi magnet utama.
Peserta berpasangan, silih berganti mengadu kekuatan kelapa masing-masing. Pemenang ditentukan oleh siapa yang kelapanya mampu bertahan tanpa pecah. Ketegangan dan keseruan prosesi ini sontak menyihir siapa pun yang menyaksikannya.
Tak terkecuali Bupati Pacitan, Indrata Nur Bayuaji. Terpikat oleh keunikan adu kelapa, orang nomor satu di Pacitan ini tak ragu untuk turun langsung ke arena.
Seketika, gemuruh sorak sorai masyarakat pun pecah, menyambut antusias kehadiran Bupati di tengah-tengah mereka.
Momen langka ini menjadi puncak kemeriahan, menunjukkan kedekatan pemimpin dengan warganya dalam balutan tradisi.
Jejak Sejarah di Balik Pecahnya Kelapa
Di balik keseruan adu kelapa, tersimpan makna sejarah yang mendalam bagi Desa Cemeng. Prosesi ini merupakan representasi dari kisah terbentuknya desa tersebut. Nama Cemeng sendiri bermula dari peristiwa heroik saat Perang Diponegoro pada tahun 1825.

Kala itu, Bupati Pacitan Joyoniman, yang juga dikenal sebagai Tumenggung Kanjeng Jimat, datang ke Dukuh Singkil.
Dia diperintahkan oleh Raja Mataram untuk melawan Belanda. Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, Kanjeng Jimat bersama Ki Retrogati berjaga di wilayah perbatasan, dibantu oleh masyarakat setempat di bawah pimpinan Bekel Trenggono.
Sebagai bentuk penghormatan dan penyambutan atas kedatangan Kanjeng Jimat di Desa Banaran, warga menyuguhkan buah kelapa.
Namun, karena keterbatasan alat pemecah kelapa, Kanjeng Jimat bersama Ki Retrogati menggunakan kesaktian mereka untuk memecahkan kelapa dengan cara diadu.
Ajaibnya, setelah terbelah, buah kelapa itu mengeluarkan asap berwarna putih dan hitam. Asap hitam yang membubung ke arah timur kemudian menjadi penanda yang mengubah nama Banaran menjadi Desa Cemeng.
Festival Bumi Banaran dan tradisi adu kelapa ini bukan sekadar hiburan, melainkan sebuah jembatan yang menghubungkan masa kini dengan masa lalu, menjaga api sejarah tetap menyala di hati masyarakat Desa Cemeng.