Cerita Sukatno, Tekuni Profesi Jagal Sapi Hingga Usia Menjelang Senja

oleh -8 Dilihat

Pacitanku.com PACITAN – Menjalani profesi sebagai jagal sapi, memang tak semudah yang dibayangkan banyak orang. Meski hanya sekedar menyembelih dan memotong bagian tubuh hewan mamalia itu, namun bisa berakibat fatal apabila si jagal tak memiliki keahlian khusus.

Akan tetapi profesi cukup menantang itu, sudah dijalani Sukatno, warga Kelurahan Baleharjo, Kecamatan/Kabupaten Pacitan ini selama hampir 21 tahun lebih.

Suka dan duka ia jalani dengan ikhlas meski berbagai rintangan kerap menghampirinya. Bahkan hal-hal aneh dan mistis acap kali ia temui.

“Sepertinya gampang Mas (pewarta) jadi jagal sapi itu. Hanya menyembelih dan memotong. Namun kalau tidak punya keahlian khusus, ya bisa berantakan hasilnya. Suatu misal, dagingnya tidak enak dikonsumsi,” ujar pria paruh baya yang akrab disapa Nano ini, Kamis (13/2/2020).

Nano menuturkan, profesi sebagai jagal sapi sudah ia lakoni sejak masih berusia belasan tahun silam. Lantaran putus sekolah di tingkat SLTP, ia pun langsung banting stir menekuni dunia jagal.

“Saya dibesarkan dari keluarga kurang mampu. Saudara saya banyak, sampai akhirnya saya tidak bisa melanjutkan sekolah. Saat itu, saya langsung belajar ke seseorang, bagaimana menjadi jagal untuk sekedar menyambung kebutuhan hidup keluarga,” tuturnya.

Dari coba-cobanya itulah, akhirnya menjadi profesi tetap yang terus dijalani hingga usia menjelang senja. Bahkan untuk bisa lebih profesional menjadi jagal, ia pun rela mengikuti berbagai kursus ketrampilan. Sampai mencari ilmu ke Banten, agar selama menjalani profesinya sebagai jagal selamat tidak menemui aral.

Nggak sembarangan jadi jagal itu. Kalau nggak punya japa mantra, bisa berimbas ke diri sendiri dan keluarga. Saya pun sering mengalami hal-hal aneh. Kadang mengalami sesak nafas dan pusing ketika menyembelih sapi atau kambing. Tapi setelah membaca japa mantra, perlahan rasa sakit itu hilang,” ceritanya.

Setelah mahir menjadi jagal di kampung halaman, Nano pun berinisiatif merantau ke Jakarta dengan harapan bisa mendapat penghasilan lebih. Apalagi saat itu ia sudah mengakhiri masa lajangnya dan dikarunia dua orang anak.

“Di Jakarta selama empat tahun ikut juragan sapi. Saban hari tak kurang dari 12 ekor sapi harus ia sembelih untuk memenuhi permintaan daging. Setiap ekor, saya mendapat upah Rp 200 ribu. Konsumen terima bersih, tinggal memasaknya,” kata pria kelahiran 11 April 1967 silam tersebut.

Tapi rupanya, profesi jagal yang ditekuninya itu tidak ia lanjutkan. Meski hanya berpendidikan sekolah dasar, akan tetapi dari jerih payahnya menyembelih sapi, kedua buah hatinya berhasil meraih pendidikan hingga sarjana. Bahkan satu diantaranya sudah ada yang bekerja sebagai guru bantu di salah satu SMPN di Pacitan.

Kini, Nano memilih pulang kampung dan bekerja di salah satu perusahaan jasa konstruksi dan properti milik salah seorang pengusaha sukses di Pacitan.

“Sudah tua Mas, sekarang pilih pulang kampung sambil bekerja jadi kuli. Yang penting dapur bisa ngebul,”pungkasnya.

Pewarta: Yuniardi Sutondo
Penyunting: Dwi Purnawan