Pacitanku.com, PACITAN — Menjadi warga Pacitan adalah sebuah anugerah. Mengapa demikian? Karena ada banyak hal yang bisa kita banggakan dari kampung Pacitan tercinta. Lalu kira-kira mengapa kita harus bangga dengan Pacitan. Setidaknya ada beberapa alasan yang membuat kita harus bangga dengan Pacitan. Bangga menjadi warga Pacitan, bahagia mencintai Pacitan. Yuk simak apa aja.
1. Ada Banyak Pantai di Pacitan
Pacitan adalah surga wisata, salah satunya adalah pantai. Inilah tentu yang membuat kita semakin bangga dengan Pacitan. Berdasarkan catatan Pacitanku.com, ada 85 pantai yang terbentang di sepanjang Pacitan yang berada di 7 kecamatan, yakni Kecamatan Donorojo, Pringkuku, Pacitan, Kebonagung, Tulakan, Ngadirojo dan Sudimoro.
Diantara 85 pantai tersebut, sebagian dikelola oleh Pemerintah setempat, swasta, dan badan usaha milik desa (BUMDes). Tapi ada juga banyak pantai yang belum dikelola.
Masing-masing pantai di Pacitan memiliki kharakteristik yang unik, seperti misalnya Pantai Klayar yang terletak di Desa sendang Kecamatan Donorojo terkenal dengan seruling samuderanya dan karang mirip patung sphinx.
Kemudian ada juga Pantai Watukarung di Desa Watukarung, Kecamatan Pringkuku yang dikenal dengan batu karang putri samudera. Di Pantai ini juga memiliki ombak yang bagus sehingga acapkali dijadikan lokasi surfing bagi surfer-surfer nasional bahkan internasional. Ada juga pantai srau yang cocok untuk melihat sunset atau lembayung senja dan camping.
Di sebelah timur, Pacitan memiliki Pantai Pidakan, yang dikenal dengan bebatuannya yang mayoritas menutupi permukaan pantai. Tak jauh dari Pidakan, ada juga pantai Soge yang panoramanya keren, karena berada tepat di tepi jalur pantai selatan Jawa.
Tapi perlu diingat, meski ada banyak pantai, ombak di selatan Jawa, salah satunya di sepanjang pantai di Pacitan ini cukup ganas ya, jadi kalau berkunjung wajib selalu waspada dan tidak disarankan untuk berenang, kecuali di pantai yang punya fasilitas kolam renang, seperti di Teleng Ria dan Pantai Taman.
2. Ada Goa Keren di Pacitan, salah satunya bisa bunyi
Selain memiliki banyak pantai, Pacitan juga dikenal memiliki goa yang elok. Hal itu dikarenakan beberapa wilayah Pacitan, utamanya di wilayah Punung, Pringkuku dan Donorojo merupakan kawasan karst.
Yang paling indah tentu adalah Goa Gong, yang terletak di Desa Bomo, Kecamatan Punung, Pacitan atau 30 km arah Barat Daya Kota Pacitan. Keindahan bumi Pacitan tergambar dari mempesonanya ornamen di dalam salah satu obyek wisata Goa terkenal di Pacitan, karena setelah obyek wisata Pantai, wisata Goa adalah obyek wisata unggulan dari Pacitan. Salah satunya adalah Goa Gong.
Goa Gong terletak di. Disebut Goa Gong karena didalamnya terdapat sebuah batu yang jika dipukul akan menimbulkan bunyi seperti Gong yang ditabuh.
Selain Goa Gong, ada juga Goa Tabuhan terletak di Dusun Tabuhan, Desa Wareng, Kecamatan Punung, Pacitan, dan berjarak sekitar 40 km dari Kota Pacitan. Sedangkan menurut asalnya, nama Tabuhan berasal dari kata tabuh yang berarti membunyikan alat musik pukul. Tempat ini pun ramai dikunjungi oleh wisatawan, karena keajaiban alam inilah yang menarik rasa penasaran dan decak kagum wisatawan.
Di sanalah para seniman memainkan alunan musik gamelan Jawa. Tidak dengan gendang atau alat musik lainnya, tapi dengan memukul dan memainkan stalaktit dan stalagmit.
Sungguh ajaib. Para seniman begitu syahdu memainkan stalaktit dan stalagmit yang seolah alat musik tersebut. Irama musik khas gamelan Jawa pun akan menambah rasa kagum Anda terhadap musik yang berasal dari alam. Dengan membayar sekitar Rp 100.000, anda bisa mendengarkan alunan musik tersebut. Mereka akan memainkan sekitar 6 lagu dan anda bisa dengan santai menikmatinya.
3. Sosok Pak SBY yang pernah menjadi Presiden Indonesia
Jika menyebutkan nama Pacitan, pasti tak pernah lepas dari nama salah satu putra daerah yang paling sukses ini, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Hampir semua masyarakat Pacitan pasti sangat sepakat jika sosok satu ini adalah inspirasi bagi masyarakat Pacitan dan seluruh bangsa Indonesia. Ya, dia adalah Susilo Bambang Yudhoyono, pria yang lahir dan tumbuh di Pacitan.
Pria dengan nama lengkap berikut gelar Jenderal TNI (Purn.) Prof. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono ini lahir di Desa Tremas, Kecamatan Arjosari, Pacitan pada 9 September 1949 lalu dari pasangan Raden Soekotjo dan Siti Habibah.
Dia adalah Presiden Indonesia ke-6 yang menjabat sejak 20 Oktober 2004 hingga 20 Oktober 2014. Ia, bersama Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, terpilih dalam Pemilu Presiden 2004. SBY berhasil melanjutkan pemerintahannya untuk periode kedua dengan kembali memenangkan Pemilu Presiden 2009, kali ini bersama Wakil Presiden Boediono.
Sejak era reformasi dimulai, SBY merupakan Presiden Indonesia pertama yang menyelesaikan masa kepresidenan selama lima tahun dan berhasil terpilih kembali untuk periode kedua. Hingga kini, mayoritas masyarakat Pacitan masih mengelu-elukan SBY, karena di era kepemimpinan SBY, Pacitan memiliki banyak kemajuan, terutama di bidang infrastuktur.
Ya, di era SBY, pembangunan besar-besaran jalur lintas selatan (JLS), masjid agung Pacitan dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Sudimoro direalisasikan dan kebermanfaatannya bisa dirasakan masyarakat Pacitan hingga kini.
Untuk mengenang masa kecil SBY, kamu bisa mengagendakan untuk mengunjungi rumah masa kecil SBY yang terletak di Ploso, Pacitan. Rumah yang merupakan rumah budhe SBY itu menjadi saksi perjalanan sejarah seorang pemimpin besar negeri ini. saat ini juga tengah dibangun monument SBY-ANI yang lokasinya di wilayah jalur Pansela atau JLS Pacitan.
4. Dilewati Rute Gerilya Jenderal Soedirman
Salah satu sosok yang tak akan pernah lepas dari perjuangan Indonesia dalam meraih kemerdekaan adalah Panglima besar Jenderal Soedirman. Meski meninggal di usia muda, yakni usia 34 tahun, namun semangat juang sang panglima tergores manis dalam tinta emas perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pria yang lahir di Purbalingga, Jawa Tengah pada 24 Januari 1916 ini identik dengan perang yang sangat fenomenal, yakni perang gerilya.
Selama tujuh bulan lebih perang gerilya berkobar dari Desember 1948 sampai dengan Juli 1949.
Selama tujuh bulan itu, Jenderal Soedirman bersama para pengikutnya melewati 10 kabupaten yang terbentang dari DI Yogyakarta, Jateng dan Jawa Timur dengan panjang rute gerilya mencapai 1.009 km. Perjuangan Jenderal Soedirman dalam menghadapi perang gerilya begitu dramatis, sebab kondisi saat itu dirinya sedang sakit TBC. Sehingga paru-paru kanannya dikempeskan pada bulan November 1948, atau sebulan sebelum perang gerilya digelar.
Dan Pacitan menjadi salah satu saksi perjalanan gerilya sang jenderal besar. Rute gerilya sepanjang 97 kilometer di Pacitan diawali dari Desa Klepu, Kecamatan Sudimoro, selanjutnya penjelajahan Jenderal Soedirman menuju ke Desa Ngadirojo Kecamatan Ngadirojo, kemudian menuju ke Desa Wonosidi di Kecamatan Tulakan.
Usai menempuh dari Ngadirojo ke Tulakan, rute selanjutnya adalah melewati Desa Kasihan, Kecamatan Tegalombo, dan kemudian berakhir di bukit Gandrung, Dusun Sobo, Desa Pakisbaru, Kecamatan Nawangan.
Di tempat ini sekarang telah didirikan monumen besar dan kawasan bersejarah Jenderal Sudirman yang luas dan bagus oleh salah satu pengawal sang Jenderal besar, yakni Roto soewarno.
Cukup lama Jenderal Soedirman bersama pengikutnya di Pacitan, sekitar 107 hari atau 3 bulan, yakni 1 April 1949 sampai 7 Juli 1949. Dan ditempat inilah berbagai peristiwa penting menandai perjuangan gerilya sang jenderal.
Tentu menjadi kebanggaan tersendiri sebagai warga Pacitan. Apalagi kini terpampang megah di bukit gandrung tersebut monument Jenderal Soedirman sebagai saksi perjuangan gerilya sang jenderal besar. Tiap dua tahun sekali, juga digelar napak tilas rute gerilya Jenderal soedirman di Pacitan sebagai tanda penghormatan atas jasa besar Jenderal soedirman untuk Indonesia.
Bahkan pada Senin (9/12/2019) hingga Kamis (12/9/2019) lalu, sebanyak 598 taruna Akademi Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengikuti napak tilas rute gerilya Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam kegiatan yang bertajuk Penghayatan Rute Gerilya Panglima Besar Jenderal Sudirman (RPS) di wilayah rute gerilya di Pacitan.
5. Jalur Mudik JLS atau Pansela yang Indah
Selain tol trans Jawa dari Jakarta ke Surabaya dan juga jalur Pantura, di wilayah Jawa kita mengenal dengan JLS atau jalur lintas selatan atau jalur Pansela jawa. Pansela Jawa memiliki panjang 1.405 km yang membentang menyusuri garis tepi Pantai Selatan dari wilayah Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta hingga Jawa Timur.Dan kita patut berbangga, karena diantara sepanjang 1.405 kilometer Pansela tersebut, Pacitan juga dilewati jalur Pansela.
Jalan lintas selatan (JLS) Pacitan-Sudimoro ini kisaran panjangnya sekitar 35,41 kilometer. Jalan berkelok dengan pemandangan pantai nan eksotis itu juga dilengkapi dengan 10 jembatan dengan total panjang jembatan 1.260 meter.
Keberadaan jalur lintas selatan (JLS) benar-benar berkah bagi masyarakat Pacitan. Jalur lintas kabupaten itu bukan hanya menjadi ikon baru bagi kota wisata ini namun juga membuka keterisolasian Pacitan sebagai kabupaten terpencil. Tentu ini menambah kebanggaan sebagai warga Pacitan.
6. Pesantren Tremas dan Syaikh Attarmasi
Hal lain yang membuat kita bangga dengan Pacitan adalah dengan adanya Pesantren Tremas yang telah berdiri sekitar 1 abad yang lalu. Pesantren Tremas menjadi ikon perkembangan Islam di Pacitan. Hal ini dikarenakan karena memang pondok pesantren yang berada di Desa Tremas, Kecamatan Arjosari ini telah sangat berjasa dalam menyebarkan Islam di tanah Pacitan, mulai dari awal berdirinya pondok, sampai sekarang.
Tentu keberadaan pondok pesantren ini menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat Pacitan, apalagi kurikulum khas pesantren dibentuk sedemikian rupa sehingga dalam perjalanannya, para santri didesain untuk menjadi manusia muslim seutuhnya.
Hal tersebut nampak dalam Kegiatan pesantren yang selalu diwarnai oleh suasana spiritual. Kegiatan sehari-hari di pesantren sebagai kyai, ustadz dan juga santri, diwarnai oleh semangat beribadah.
Saat ini, Pesantren Tremas sudah berkembang dengan sangat pesat, mulai dari metodologi pengajaran, sampai dengan fasilitas pendukungnya dan lembaga pendidikannya yang juga sudah berkembang hingga tingkat perguruan tinggi.
Selain Pondoknya yang membuat kita bangga, tentu ada hal lagi yang membuat bangga, yakni nama besar Syekh Mahfudz Attarmasie. Nama lengkapnya adalah Muhammad Mahfudz bin ‘Abdillah bin ‘Abdul Manan bin Dipomenggolo Attarmasie al-Jawi.
Beliau adalah ulama dari keluarga Tremas. Attarmasie adalah ulama besar yang produktif dalam penulisan maupun keilmuan yang cukup dikenal di kalangan ulama di Nusantara, utamanya kontribusi keilmuannya dalam bidang tafsir maupun hadis di Nusantara.
7. Ada Pemandian Air Panas
Kalau di Jawa Tengah ada pemandian Guci di Kabupaten Tegal, maka Pacitan juga semakin membuat kita bangga, yakni potensi alam yang tak kalah luar biasa lainnya adalah Pemandian air hangat tirta husada. Pemandian air hangat ini terletak di Kecamatan Arjosari, tepatnya di Desa Karangrejo, Kecamatan Arjosari, Kabupaten Pacitan. Jaraknya sekitar 15 km arah utara kota Pacitan.
Lokasi untuk mencapai pemandian Air hangat tidak sulit ditempuh. Anda bisa memanfaatkan tiga jalur utama yang menuju dan dari kota Pacitan Pertama jalur Solo-Wonogiri-Pacitan. Kedua jalur Ponorogo-Pacitan. Jarak Solo Pacitan sekitar 117 km, Ponorogo-Pacitan 60 km. Jika anda mengendarai kendaraan pribadi, dari arah Ponorogo menuju kota Pacitan, 50 meter sebelah pasar Arjosari, belok kanan kurang lebih berjarak 3 km kea rah Nawangan.
Banyu Anget terletak di bawah lereng bukit batu putih atau gunung kelir. Pemandangan sekitar lereng begitu menawan. Keunggulan Banyu Anget Tirto Husodo, selain panorama alam yang menawan dan mudah dijangkau dengan transportasi darat, air hangatnya berkhasiat untuk kesehatan.
8. Punya Obvitnas PLTU Pacitan, Pemasok Listrik Jawa Madura Bali
Satu lagi tentunya yang membuat kita warga Pacitan semakin bangga adalah adanya keberadaan PLTU Pacitan yang terletak di Desa Sukorejo, Sudimoro Pacitan. Dengan adanya PLTU ini, diharapkan bumi Pacitan yang menjadi salah satu pemasok listrik untuk sistem kelistrikan di Jawa Madura dan Bali (Jamali).
Diketahui, PLTU ini resmi beroperasi secara komersil akhir Februari 2014 lalu. Keberadaan PLTU yang kemudian disebut PLTU 1 Jawa Timur ini adalah merupakan bagian dari proyek percepatan PLTU 10.000 Megawatt (MW), dengan tujuan memenuhi kebutuhan listrik di Jawa Timur yang terus meningkat.
Proyek PLTU 1 Jawa Timur, Pacitan ini memiliki dua unit pembangkit dengan kapasitas total tenaga listrik yang dihasilkan sebesar 630 MW, dimana kapasitas masing-masing unit pembangkit sebesar 315 megawatt.
Energi listrik yang dihasilkan PLTU Pacitan nantinya disalurkan melalui Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 150 kV sepanjang 35,65 kilometer ke Gardu Induk Pacitan Baru dan sepanjang 84,8 kilometer ke Gardu Induk Wonogiri.
Bahan bakar yang digunakan untuk PLTU Pacitan adalah batubara dengan kalori rendah (Low Rank Coal) yang akan didatangkan dari Kalimantan dan Sumatera. Peralatan utama untuk pembangkitan listrik PLTU Pacitan terdiri dari Boiler, Turbin, dan Generator.
Alat transportasi dari sumber batubara menggunakan tongkang (barge) dengan kapasitas 12.000 DWT (Dead Weight Ton) dan kapal (vessel) dengan kapasitas 20.000 DWT.
Kebutuhan batubara untuk operasional pembangkit diperkirakan sebanyak 2,3 juta ton per tahun dan diperkirakan lalu lintas pelayaran keluar masuk dermaga yang akan dilayani berkisar antara 20 sampai dengan 30 trip setiap bulannya.
9. Salah satu Penghasil Batu Akik di Indonesia
Kecamatan Donorojo, terutama Desa Sukodono dan Desa Gendaran, sudah dikenal luas hingga mancanegara sebagai salah satu sentra kerajinan batu akik di Indonesia. Bahkan, di desa tersebut ada pasar khusus untuk kerajinan batu akik.
Salah satu potensi daerah Pacitan ini terpusat di kawasan Donorojo, sedikit banyak telah menyumbang pendapatan asli daerah dengan nilai penting bagi Pacitan. Mengingat, daerah Pacitan kaya dengan aneka bebatuan yang tidak hanya elok dipandang dalam bentuknya sebagai obyek wisata–kars, misalnya tetapi juga untuk diolah sebagai cinderamata bernilai seni.
Oleh karena itu, apabila Anda menjejakkan kaki di Pacitan untuk berbagai tujuan, seperti perjalanan dinas atau rekreasi, kiranya kurang lengkap jika tidak membeli souvenir batu akik untuk dipakai sendiri maupun sebagai oleh-oleh.
10. Ditemukan Situs Prasejarah di Pacitan
Saat mata pelajaran di Sekolah Menengah Pertama (SMP) sejarah diterangkan oleh guru, seringkali guru menyebut ada salah satu kebudayaan Pacitanian, yang merupakan kebudayaan masyarakat zaman pra sejarah di Pacitan. dan memang benar, berdasarkan penuturan para ahli sejarah, Pacitan adalah ibukota prasejarah dunia.
Sekitar 261 lokasi situs prasejarah, terdapat di Pacitan, baik dalam tahapan eksploitasi maupun yang telah disurvei tim arkeologi. Situs tersebut berada di jajaran Gunung Sewu, yang tersebar mulai di Kecamatan Punung, Pringkuku, Pacitan, Kebonagung hingga Kecamatan Tulakan.
Geosite Sungai Baksooka dari sisi geologi adalah salah satu sungai permukaan di kawasan karst gunung sewu yang menampakkan morfologi undak.
Di sungai itu, ada endapan lempung hitam formasi Kali Pucung yang terbentuk sekitar 1,8 juta tahun yang lalu. Pada tahun 1955 di sungai Baksooka ini, Van Heekeren menemukan banyak artefak batu dari zaman paleolitikum yang kemudian dikenal dengan budaya Pacitanian. Sungai Baksooka merupakan “bengkel” kapak genggam paleolitik.
Sebagai salah satu geosite geopark gunung sewu, di sepanjang sungai Baksooka terdapat lintasan geologi yang menawarkan aspek geologi dan arkeologi. Pada segmen bagian utara, pengunjung dapat mencermati singkapan-singkapan batuan oligo-miosen dan miosen tengah yang berfungsi sebagai alas batu gamping. Pada segmen sungai bagian selatan menyimpan batu gamping yang kaya fosil koral, foraminifera, dan moluska.
Salah satu yang sering ditemukan di Sungai Baksooka adalah kapak genggam. Jenis kapak inilah yang menjadikan Pacitan terkenal dalam dunia prasejarah dengan sebutan: Pacitanian. Terbuat dari jenis batu Kalsedon dengan, ciri-cirinya, ada dua pangkasan pada kedua sisinya.
Kapak perimbas juga ditemukan di Kali Baksooka, Sungai Banjar, Sungai Karasan, Sungai Jatigunung, dan Kedung Gamping. Kapak perimbas berbahan dasar sama dengan kapak genggam, yaitu batu kalsedon. Peralatan ini punya ciri-ciri tajam hanya pada satu sisi dan agaknya digunakan untuk keperluan sehari-hari.
11. Bentang Karst Taman Bumi Dunia
Satu lagi yang membuat kita bangga sebagai warga Pacitan, adalah masuknya Pacitan sebagai bagian dari taman Nasional Gunungsewu ditetapkan sebagai jaringan geopark dunia (Global Geopark Network). Geopark Gunungsewu membentang di tiga daerah, mulai dari Kabupaten Gunungkidul, DIY, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah hingga Kabupaten Pacitan.
Penetapan kawasan karst Gunungsewu sebagai jaringan taman bumi atau geopark dunia diumumkan UNESCO dalam sidang biro global geopark network (GGN) tingkat regional pada 19 September 2015 di Sanin, Kaigan, Jepang.
Penetapan itu kemudian diikuti dengan perubahan nama kawasan Gunungsewu yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai taman nasional pegunungan karst menjadi Gunungsewu Global Geopark Indonesia, yang membentang mulai dari Gunungkidul hingga Kabupaten Pacitan, Jatim. ecara geografis kawasan karst Pacitan tidak kalah startegis dibanding Gunungkidul maupun Wonogiri yang memiliki area pegunungan kapur alami yang lebih luas.
Jika Gunungkidul menyandang status sebagai pintu gerbang sementara Wonogiri menjadi museum karst Gunungsewu Global Geopark Indonesia, maka kawasan karst Pacitan menjadi etalasenya.
Pacitan memiliki keunikan bentang alam yang tak dimiliki daerah lain, mulai dari pantai, goa, hingga situs-situs arkeologi prasejarahnya.Gunungsewu Global Geopark Indonesia memiliki sedikitnya 33 geoarea, yang masing-masing tersebar di dalam 33 geosite. Rinciannya, 13 geosite berada di Kabupaten Gunungkidul (DIY), tujuh geosite di Kabupaten Wonogiri (Jateng), dan 13 geosite di Pacitan.
Khusus kawasan karst di Pacitan yang masuk Gunungsewu Global Geopark Indonesia melingkupi empat kecamatan di Pacitan bagian barat, yakni Kecamatan Donorojo, Pringkuku, Punung, serta Pacitan. 13 geosite di Pacitan terdiri atas lima pantai yakni Pantai Buyutan, Klayar, Srau, Watukarung dan Teluk Pacitan. Kemudian empat goa karst yakni Goa Gong, Tabuhan, Luweng Ombo dan Luwengjaran. Juga serta empat situs arkeologi yakni Situs Song Terus, Bak Sooka, Guyang Warak dan Situs Ngrijangan.
12. Punya Kesenian keren Kethek Ogleng
Satu lagi hal yang membuat kita patut bangga dengan Pacitan, yaitu karya seni Kethek Ogleng. Kesenian ini adalah mahakarya dari masyarakat Desa Tokawi, Kecamatan Nawangan. Adanya Kethek Ogleng di Tokawi berawal dari sosok bernama Sutiman.
Sutiman atau Sukiman menciptakan seni Kethek Ogleng tersebut sudah ada sejak tahun 1963. Saat itu, Sutiman yang berprofesi sebagai petani berhasil menciptakan gerak tari Kethek Ogleng saat masih berusia 18 tahun.
Kethek Ogleng semakin berkembang, seperti pada akhir tahun 1964, Dinas Pendidikan atas persetujuan Bupati RS Tedjo Sumarto, meminta Sutiman agar tari Kethek Ogleng menggunakan cerita rakyat Panji Asmorobangun. Hal itu bertujuan apabila menggunakan unsur cerita agar menjadi lebih baik. Cerita panji dalam versi raden panji yang akan dijodohkan dengan Sekartaji atau Candra Kirana.
Perkembangan tari Kethek Ogleng sendiri juga sudah diakui oleh Pemkab. Terbukti beberapa tahun silam seni tari Kethek Ogleng dimodifikasi dalam seni tari kontemporer yang mengadopsi cerita Kethek Ogleng dengan tajuk Pacitan Bumi Kaloka. Tarian Pacitan Bumi Kaloka yang terinspirasi dari tari Kethek Ogleng sendiri sudah tampil beberapa kali di tingkat provinsi maupun nasional.
Kini setiap tahun juga digelar pementasan Kethek Ogleng dalam rangka lahirnya kesenian tersebut, dihitung sejak tahun 2017 lalu, pementasan yang digelar di Monumen Jenderal Soedirman tersebut sudah digelar dua kali dan mendapatkan apresiasi dari masyarakat, pemerintah dan pemerhati seni budaya.
Untuk semakin meningkatkan pelestarian seni budaya Kethek Ogleng, Sanggar Condro Wanoro yang dikomandai oleh Bapak Sukisno juga sering menggelar latihan rutin yang diikuti siswa-siswi di Desa Tokawi, Kecamatan Nawangan.
Pada tahun 2019 lalu, Kethek Ogleng Pacitan ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) nasional oleh Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tahun 2019.
Beberapa waktu kemudian, Kethek Ogleng Pacitan juga resmi mengantongi hak cipta yang sah terdaftar dikementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkuham) RI. Adapun nomor pencatatan sertifikat HAKI ini adalah 090997. Dalam surat tersebut, dijelaskan tanggal pertama kali diumumkan adanya seni tari Kethek Ogleng tersebut tahun 1963.
Selain itu, juga dijelaskan uraian ciptaan adalah menceritakan tarian gaya perilaku kera dengan jenis ciptaan adalah kode (05-13) dramatic and choreographic works – Tari (Sendra Tari).
Dalam surat tersebut juga dituliskan sedang dalam proses verifikasi untuk mendapatkan hak cipta. Adapun pemegang hak cipta tari kethek Ogleng adalah sang pencipta seni tari tersebut, yakni Sukiman yang beralamatkan di Jelok RT/RW 3/XI Desa Tokawi Kecamatan Nawangan.
Hingga saat ini, kesenian Kethek Ogleng Pacitan ini sendiri terus dikembangkan melalui sanggar seni Condro Wanoro yang berada di Desa Tokawi, Kecamatan Nawangan.
Berbagai event dan upaya melalui berbagai media juga terus digelar untuk melestarikan seni budaya asli Pacitan ini. Setiap tahun, juga digelar festival seni Kethek Ogleng di kawasan Monumen Jenderal Soedirman, Dusun Sobo Desa Pakisbaru, Kecamatan Nawangan untuk memperingati ulang tahun sanggar Condro Wanoro.
Video 12 Hal yang Bikin Kita Bangga Pacitan