Pacitanku.com, PACITAN – Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pacitan Arif Setia Budi (ASB) mengharapkan pelaksanaan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Pacitan dilaksanakan sesuai regulasi agar terhindar dari pelanggaran hukum.
PTSL yang menjadi program nasional dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) ini berpotensi ada pungutan liar (pungli).
Pria yang akrab disapa ASB ini menyebut program PTSL jika tidak sesuai aturan bisa menjadi celah hukum dan temuan dari aparat penegak hukum (APH).
“PTSL ini kan sebenarnya mempermudah, dimana ketika melakukan sertifikasi tanah akan jauh lebih murah disbanding (pengurusan) umum, masyarakat sangat diuntungkan,”jelas ASB, Minggu (21/7/2024) di Pacitan.
Suatu misal, kata ASB, desa A itu tanpa ada tambahan anggaran berkaitan dengan pengukuran patok, sehingga (biata) patok itu tidak harus berbeda-beda.
“Kalau itu tidak ada aturannya, tidak ada di regulasi ya tidak perlu bayar. Kalau misalnya bayar nanti ada apa namanya ada yang melapor dan sebagainya malah memperburuk suasana di desa tersebut,”papar legislator Partai Demokrat (PD) Pacitan ini.
ASB memandang, jika suatu program dilaksanakan tapi tidak sesuai regulasi dan tidak ada aturannya akan sangat berbahaya
Sehingga, ASB meminta agar Pemerintah Desa (Pemdes) tidak mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan aturan PTSL.
Aturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri (Permen) ATR/BPN nomor 6 tahun 2018 serta Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yakni Menteri ATR/BPN, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT).
Sedangkan untuk aturan turunannya dalam bentuk Peraturan Bupati (Perbup) Pacitan nomor 6 tahun 2020 Tentang Pembiayaan Persiapan PTSL yang dibebankan kepada masyarakat sebesar Rp 150 ribu per sertifikat atau per bidang tanah.
“Kalau saya lihat ada kesepakatan-kesepakatan yang memang itu kalau tidak ada aturannya ya bisa berbahaya, bisa jadi temuan semua itu, jadi lebih baik ya mengikuti aturan regulasi yang ada,”tandasnya.
Suatu contoh, ASB mengatakan misalnya desa A biayanya Rp 250 ribu, desa B Rp 275 ribu, desa C Rp 295 ribu, juga ada yang Rp 80 ribu atau Rp 85 ribu, bisa membuat masyarakat saling bertanya.
“Itu masyarakat ini kan sekarang saling bertanya tentang desa satu dengan yang lain, Kenapa sini lebih murah, di sana ngukur enggak bayar, di sini murah, enggak seragam. Itu mengakibatkan gejolak di masyarakat, meskipun enggak selisih banyak ya tapi itu kan ada pandangan negatif dari masyarakat,”jelasnya.
Jika terjadi kondisi seperti itu, ASB menilai sebaiknya harus segera disikapi.
“Misalnya misalnya memang tidak boleh, misalnya ngukur-ngukur tanah itu dikenakan biaya tambahan ya tidak perlu ada biaya tambahan, daripada nanti mengakibatkan suatu masalah hukum di desa tersebut,”ujar ASB.
Tak hanya itu, ASB juga memandang biaya dokumen pengadaan patok dan materai serta operasional petugas pengukuran PTSL bisa dianggarkan menggunakan dari APBDes.
“Regulasinya sudah ada, itu ada kode-kode rekeningnya misalnya supaya masyarakat tidak bayar, malah lebih aman, di APBDes bisa dianggarkan, jadi tidak perlu ada tarikan tambahan yang melanggar hukum, lebih nyaman karena ada cantolan (aturannya),”pungkasnya.