Kejari Pacitan Diminta Tangguhkan Penahanan 7 Eks Anggota DPRD

oleh -5 Dilihat

penjaraPacitanku.com, PACITAN – Penolakan eksekusi kepada tujuh mantan anggota DPRD Pacitan periode 1999-2004 yang menjadi terpidana kasus korupsi dana operasional dewan tahun 2001 terus muncul, salah satunya dari Saptono.

Pria yang juga sempat menjadi pesakitan dalam kasus serupa itu meminta kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Pacitan untuk menangguhkan penahanan kepada mantan koleganya tersebut saat masih menjabat sebagai anggota DPRD periode 1999-2004.

‘’Apalagi saat ini para terpidana juga sedang mengajukan peninjauan kembali (PK) dan sudah dalam proses di Pengadilan Negeri (PN) Pacitan,’’ ujar Saptono, Sabtu (13/11/2016).

Alasan lainnya adalah bahwa permasalahan yang dihadapi para terpidana merupakan perkara yang bersifat kolektif. Dan ada kaitannya dengan masalah terdahulu yang pernah pernah dihadapinya. Pada saat itu, dirinya beserta mantan anggota dewan lainnya dinyatakan bebas dalam putusan PK yang diajukan Slamet Margiono, Hariawan dkk dan Samsuri Arif dkk.




‘’Apalagi dalam kasus yang sama ada beberapa anggota DPRD tidak mengajukan PK. Tapi bisa bebas dari segala tuntutan pidana sebagaimana keputusan PK nomor 85/PK/Pid.Sus/2008 tertanggal 10 Mei 2010,’’ terangnya.

Bukan hanya itu saja, Saptono juga merasakan keputusan PK nomor 78/PK/Pid.Sus/2013 dengan para terpidana Sugeng Purnomo dkk ada kejanggalan. Pada kesimpulan PK halaman 111-112 dari poin 1-8 tidak ada yang menyatakan bahwa para terpidana telah melakukan tindakan yang melanggar hukum.

Dan melakukan tindakan pidana. Sedangkan, dasar penolakan yang menyatakan bahwa para terpidana tidak menghadiri sidang secara pribadi merupakan bentuk tindakan manipulatif administrasi berkas perkara. ‘’Karena terjadi ketidaktelitian dan kecerobohan administrasi di luar pengertian para terpidana,’’ jelasnya.

Saptono menambahkan, dasar penangguhan eksekusi lainnya adalah kondisi kesehatan para terpidana saat ini yang sudah sangat memprihatinkan. Selain sudah tua, beberapa diantara mereka dalam kondisi sakit. ‘’Belum lagi mereka masih menanggung kebutuhan keluarganya dan secara ekonomi mereka sangat turun sekali. Karena memang produktivitasnya sudah menurun dibandingkan sebelumnya,’’ imbuhnya.

Terkait permohonan penangguhan penahanan ini, Saptono mengaku sudah diberikan kepada Marvelous Kasi Pidsus Kejari Pacitan. Dia juga menembuskan surat penangguhan ini kepada pihak PN Pacitan untuk dijadikan laporan. ‘’Kemarin sudah saya sampaikan kejaksaan terkait masalah ini,’’ katanya.

Diberitakan sebelumnya, sebanyak tujuh orang mantan anggota DPRD periode 1999-2004 harus siap-siap masuk penjara. Itu setelah Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan para terpidana kasus korupsi dana operasional dewan tahun 2001 tersebut. Kejaksaan Negeri Pacitan pun ancang-ancang melakukan eksekusi terhadap eks wakil rakyat tersebut.

Eksekusi tersebut didasarkan putusan MA nomor 78 PK/PID.Sus/2013 tertanggal 25 Februari 2015 yang baru diterima Pengadilan Negeri (PN) Pacitan pada 4 Oktober 2016 lalu dan diteruskan ke kejari serta para terpidana. Berdasar putusan MA tersebut, sebenarnya terpidana yang dieksekusi berjumlah 10 orang. Yaitu, Manidi Atmo Wiyono, Sugeng Purnomo, Sifa’ul Djanan, Sumaryadi, Edy Sanyoto, Sutrisno, Sugiarto, Soejono AS, Soeyono dan Suhartati. Hanya saja, tiga terpidana yakni Sumaryadi, Manidi Atmo Wiyono dan Soeyono telah meninggal dunia.

Kajari Pacitan Rahmat Triyono mengatakan, pihaknya sudah melakukan pemanggilan eksekusi tahap pertama kemarin (12/10). Sayangnya, tidak satupun dari tujuh mantan anggota dewan yang memenuhi panggilan tersebut. Dalam upaya eksekusi tersebut, kejaksaan akan melakukan pemanggilan hingga tiga kali kepada para terpidana. Jika pada panggilan ke tiga, para terpidana tidak hadir maka akan dilakukan penjemputan. ‘’Itu temponya Kasi Pidsus nanti yang mengatur,’’ tegas mantan Kajari Liwa, Bandar Lampung tersebut.

Sementara itu, Kasi Pidsus Kejari Pacitan Marvelous menjelaskan, 10 terdakwa diganjar hukuman pidana penjara selama satu tahun dan denda masing-masing Rp 50 juta subsider dua bulan pidana kurungan. Para terdakwa juga diwajibkan mengganti kerugian negara dengan jumlah yang bervariasi. ‘’Karena jaksa selaku eksekutor, maka kami harus menjalankan putusan MA karena telah berkekuatan hukum tetap,’’ katanya.

Sedangkan bagi terdakwa yang telah meninggal dunia, Marvel menuturkan pidana penjaranya dianggap gugur. Tetapi untuk denda dan uang pengganti tetap harus dibayar dan dibebankan kepada ahli waris. Marvel juga mengungkapkan bahwa tidak ingin memasang target muluk-muluk dalam mengeksekusi ketujuh terpidana kasus korupsi dana bantuan jasa kerja tersebut. ‘’Kami melakukan upaya persuasif dengan memanggil mereka dulu. Kalau mereka tidak datang juga, nanti bisa kami datangi,’’ terangnya.

Dijelaskan, sesuai materi putusan PN Pacitan, total awal ada 45 anggota DPRD Pacitan periode 1999-2004 yang menjadi tersangka dalam kasus korupsi dana operasional DPRD yang bersumber dari APBD tahun 2001 tersebut. Dana operasional tersebut berupa bantuan jasa kerja anggota dewan. Meliputi tunjangan kesejahteraan, penunjang kegiatan, bantuan listrik, telepon dan air minum. Masing-masing anggota mendapatkan antara sekitar Rp 48 juta – Rp 50 juta. ‘’Sedangkan, total kerugian negara mencapai sekitar Rp 1,636 miliar,’’ ungkap Marvel.

Dalam perkara tersebut, enam di antaranya berasal dari Fraksi TNI/Polri yang berkasnya disidangkan di luar pengadilan umum dan 36 orang lainnya di sidang di PN Pacitan. Sementara dalam penanganannya, berkas perkara 36 orang itu dibagi dalam empat berkas. Berkas pertama dengan tujuh tersangka termasuk tiga mantan ketua dan dua mantan wakil ketua DPRD yang sudah menjalani hukuman. Berkas kedua dan ketiga dengan masing-masing 11 terdakwa juga telah menjalani hukuman. Adapun berkas keempat saat ini sedang memasuki tahap eksekusi dengan jumlah 10 tersangka. ‘’Di KUHAP tidak ada batasan eksekusi berapa hari. Pokoknya ada terdakwanya, bisa saja dieksekusi,’’ tegasnya.




Diketahui, dalam perkara tersebut tiga mantan pimpinan DPRD pada periode tersebut sempat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) putusan kasasi MA dan dikabulkan meskipun ketiganya sudah menjalani hukuman. Ketiganya terpidana dianggap tidak ikut melakukan tindak pidana korupsi dan hanya dianggap melakukan pelanggaran administrasi negara serta diharuskan merehabilitasi nama baik mereka.

Sementara, rencana eksekusi tersebut memunculkan reaksi. Tiga orang mantan dewan yakni John Vera Tampubolon, Faisal Arif, dan Ahmad Sunhaji mendatangi Kejari Pacitan untuk memberikan dukungan moril. Ketiganya juga pernah tersandung dalam perkara yang sama, namun telah diputus bebas setelah permohonan peninjauan kembali (PK) dikabulkan oleh Mahkamah Agung (MA). ‘’Kami hanya sebatas memberikan support,’’ ujar John Vera Tampubolon di halaman Kejari Pacitan.

Namun mereka akhirnya kecele karena tidak ada satupun para terpidana eksekusi yang hadir. Ketiganya lantas menemui Kasi Intel Kejaksaan Pacitan Muhandas. Mereka ingin meminta kejelasan terkait alasan kenapa permohonan PK yang diajukan oleh Manidi Atmo Wiyono sampai ditolak. Padahal, delik kasus serta materi perkara hukumnya sama ddengan yang pernah mereka mohonkan. ‘’Kami tidak bisa memahami secara logika, kenapa sampai PK tersebut ditolak,’’ katanya.

John menjelaskan, dari keterangan penyidik kejaksaan bahwa PK para koleganya tersebut ditolak karena ada beberapa materi perkara di dalamnya terdapat kesalahan. Namun demikian, kata dia, penyidik tidak menjelaskan secara terperinci kesalahan tersebut terdapat di bagian mana. ‘’Yang salah mana, kami tidak diberi tahu,’’ ungkapnya.

Selain itu, John mengaku kedatangannya ke kejaksaan juga sekaligus meminta penjelasan mengapa ke enam anggota dewan dari fraksi TNI dan Polri pada periode tersebut tidak ikut dieksekusi. Padahal, mereka juga terlibat dalam kasus yang sama. ‘’Tapi, sampai sekarang kenyataannya mereka tidak dieksekusi,’’ terang mantan anggota dewan dari PDIP tersebut.

Menanggapi hal tersebut, Kasi Pidsus Kejari Pacitan Marvelous mengaku tidak ingin ambil pusing. Sebab, dasar putusan itu berasal dari PN. Sehingga, apapun yang terkait tentang persoalan tersebut pihaknya menunjuk PN sebagai lembaga yang mampu menjawabnya. ‘’Bisa tanya langsung ke PN, kalau kami hanya menjalankan putusan itu,’’ katanya. (her/yup/RAPP002)

Sumber: Radar Madiun