Praktisi Hukum: Tersangka Biduan Pembuang Bayi di Pacitan Bisa Dijerat Pasal Lain yang Memberatkan

oleh -3 Dilihat
JADI TERSANGKA. Biduan di Pacitan (baju orange) saat diperiksa petugas kepolisian dari Polres Pacitan pada Senin (12/6/2023). (Foto: Sulthan Shalahuddin/Pacitanku)

Pacitanku.com, PACITAN – Praktisi hukum yang juga Ketua Forum Komunikasi Advokat Pacitan (Forkap) Danur Suprapto angkat bicara terkait sangkaan pasal yang diberikan  polisi terhadap SWK (23), pelaku pembuang jasad bayi di Pacitan yang bikin geger masyarakat belakangan.

Baca juga: Polisi: SWK Lahirkan Bayinya Sendiri Tanpa Ditemani Tenaga Medis Sebelum Dibuang

Seperti diberitakan sebelumnya di Pacitanku.com, SWK yang belakangan diketahui berprofesi sebagai biduan dijerat oleh polisi dengan pasal 80 ayat (3) UU nomor 35 tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan UU RI 17 Tahun 2016, tentang penetapan peraturan pemerintah (PP) pengganti UU nomor 1 tahun 2016, tentang perubahan kedua atas UU RI noor 23 tahun 2002, tentang perlindungan anak.

“Untuk pasalnya (yang dikenakan) adalah UU perlindungan anak nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak pasal 80 ayat 3, ancamannya 15 tahun penjara,”kata Kasatreskrim Polres Pacitan Iptu Andreas Heksa, Senin (12/6/2023).

Kasatreskim mengungkapkan pihaknya beralasan menjerat SWK dengan pasal tersebut karena ada kekerasan terhadap anak dibawah umur. “Mengapa saya menyampaikan kekerasan, karena tersangka ini melahirkan tanpa didampingi oleh tenaga medis, jadi dilahirkan sendiri dan tali pusarnya dipotong dengan gunting,”paparnya.

Terkait pasal sangkaan tersebut, praktisi hukum Pacitan Danur Suprapto menilai harusnya ada sanksi hukum bagi Pelaku seorang ibu yang membunuh bayinya, yakni mengenai actusreus atau tindakan yang mengakibatkan matinya seorang bayi.

“Ancaman hukumannya tidak hanya dijerat dengan pasal tentang Perlindungan anak (seperti pasal sangkaan dari polisi), tapi sangkaan bagi tersangka harus juga ditambahkan pasal lain yang memberatkan,”kata Danur, Senin (12/6/2023) di Pacitan.

Pasal lain tersebut, kata dia, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam pasal 341 dengan pidana kurungan paling lama tujuh tahun, sedangkan di pasal 342 dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

“Dimana pasal-pasal tersebut diatas yang mendasari adalah actusreus nya, yakni sebuah perbuatan yang telah di lakukan oleh pelakunya itu sendiri,”ujar Danur.

Danur menyarankan penyidik kepolisian bisa lebih jeli dan bisa menyakinkan Jaksa. Selain itu, katad ia, jaksa  juga harus benar-benar teliti dalam menerima berkas sebelum naik menjadi P21, sebagaimana telah di atur dalam Pasal 138 ayat (2) KUHAP dikenal kode P-19.

Praktisi hukum Pacitan Danur Suprapto. (Foto: Istimewa)

“Yaitu bahwa jika hasil penyidikan ternyata dinilai penuntut umum belum lengkap, maka Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk, termasuk sangkaan sangkakan pasal dari penyidik harus tepat dan komplit,”paparnya.

Belum lagi, kata Danur, jika berbicara mens rea, dimana sikap batin pelaku saat melakukan perbuatannya, terdapat banyak sekali pilihan oasal guna menjerat pelaku. Sehingga, imbuh dia, tidak hanya UU perlindungan anak, namun dapat di juncto-kan dengan jerat pasal lain.

“Misal KUHP pasal 342, seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun,”jelasnya.

Danur mengatakan perkara semacam ini sudah memiliki yurisprudensi yang sudah banyak.

“Yurisprudensi adalah serangkaian putusan hukum yang dikeluarkan oleh pengadilan yang kemudian memiliki kekuatan hukum yang mengikat  dan kemudian yurisprudensi dapat digunakan sebagai sumber hukum bagi hakim untuk memutus perkara yang sama,”pungkasnya.

No More Posts Available.

No more pages to load.