Industri Ekspor Tertekan Tarif AS, Ekonomi Domestik Jadi Tumpuan Utama

oleh -126 Dilihat
Dalam diskusi di Bandung (20/5), para ekonom dan pelaku industri mendesak pemerintah untuk fokus pada penguatan ekonomi domestik sebagai solusi utama. Mereka menyoroti gelombang PHK di industri tekstil dan ancaman impor ilegal, sementara pentingnya Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) ditekankan untuk menjaga fundamental ekonomi. (Foto: Suara.com for Pacitanku)

Pacitanku.com, BANDUNG – Sektor industri ekspor Indonesia kini berada di bawah tekanan kuat akibat gejolak ekonomi global dan kebijakan tarif baru dari Amerika Serikat. Jawa Barat, sebagai salah satu pusat manufaktur dan ekspor terbesar di tanah air, menjadi daerah yang paling merasakan dampaknya. Kondisi ini memicu desakan agar pemerintah fokus pada penguatan ekonomi domestik sebagai solusi utama.

Dalam diskusi publik bertajuk “Gempuran Tarif AS: Ekonomi Indonesia di Ujung Tanduk? Dialog Kritis Mencari Solusi” yang diselenggarakan oleh Suara.com dan Core Indonesia di El Hotel Bandung, Selasa (20/5), para ekonom, pelaku industri, dan pemangku kebijakan berkumpul untuk membahas ancaman dan peluang yang muncul.

Ancaman di Depan Mata Industri Ekspor

Pemimpin Redaksi Suara.com, Suwarjono, mengungkapkan bahwa perlambatan ekonomi sudah terasa sejak awal tahun. “Bandung dipilih karena menjadi salah satu sentra ekspor nasional—dari tekstil, alas kaki, hingga furnitur—yang kini sedang tertekan. Ini momentum penting untuk mencari solusi dari daerah sebagai rujukan kebijakan nasional,” ujarnya.

Data BPS menunjukkan, ekspor nonmigas Jawa Barat ke Amerika Serikat pada Januari 2025 mencapai USD 499,53 juta, atau 16,62% dari total ekspor nonmigas provinsi. Sementara itu, ekspor dari Bandung ke AS pada Maret 2025 tercatat USD 7,7 juta.

Namun, di saat yang sama, Bandung juga menghadapi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal, khususnya di industri tekstil dan produk tekstil (TPT), akibat penurunan pesanan dan persaingan ketat dengan produk impor. Kebijakan tarif baru AS dikhawatirkan akan semakin menekan permintaan ekspor, sementara derasnya arus impor berpotensi memukul industri dalam negeri dua kali lipat.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, Ph.D., menambahkan bahwa Indonesia menghadapi risiko serius akibat perang dagang AS-Tiongkok.

Data menunjukkan penurunan ekspor Tiongkok ke AS hingga 10,5% pada tahun 2025, sementara ekspornya ke ASEAN justru meningkat hingga 19,1%. CORE memperkirakan potensi impor ilegal dari Tiongkok mencapai USD 4,1 miliar, yang berujung pada kerugian negara sekitar Rp 65,4 triliun. Situasi ini diperparah oleh perlambatan ekonomi global dan tekanan pada nilai tukar Rupiah.

Prof. Rina Indiastuti dari Universitas Padjadjaran memaparkan dampak kebijakan tarif AS terhadap industri Jawa Barat, terutama sektor tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki, yang telah mengalami tekanan signifikan hingga beberapa perusahaan merugi, tutup, dan melakukan PHK.

Keluhan Pelaku Usaha dan Pentingnya Perlindungan

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Jawa Barat, Ning Wahyu Astutik, mengungkapkan keresahan pelaku usaha yang menghadapi tekanan berlapis.

“Kami para pengusaha merasa resah, bukan hanya karena perang dagang AS–China, tapi juga berbagai hambatan lain. Mulai dari ketidakpastian usaha dan hukum, maraknya impor barang legal maupun ilegal, hingga regulasi yang saling tumpang tindih dan tidak sinkron,” jelas Ning.

Ia menyoroti proses perizinan yang sering tidak transparan dan memakan waktu lama, serta masalah tenaga kerja yang rentan dipolitisasi.

“Kami juga menghadapi pungutan liar dan premanisme yang marak dan dilakukan terang-terangan. Di sektor logistik, biaya-biaya tak resmi di tiap tikungan membuat usaha kami tidak kompetitif karena beban biaya yang tinggi,” tegasnya.

Ning menekankan bahwa dunia usaha membutuhkan perlindungan yang adil dan kebijakan yang konsisten.

“Kami butuh aturan main yang jelas. Jangan terus-terusan pelaku usaha lokal jadi korban eksperimen kebijakan,” tambahnya.

Penguatan Ekonomi Domestik: Bukan Lagi Pilihan, tapi Keharusan

Di tengah tantangan, Prof. Rina juga mengidentifikasi peluang melalui pergeseran rantai pasok global, seperti rencana relokasi pabrik otomotif ke Jawa Barat.

Basis manufaktur kuat dan beragam di Jawa Barat, meliputi otomotif, elektronik, tekstil dan pakaian, plastik, mineral non-logam, agro-pangan dan farmasi, dianggap sebagai modal baik untuk pengembangan kapasitas inovasi daerah.

Menanggapi tantangan tersebut, Mohammad Faisal menekankan dua strategi utama: pengendalian arus impor dan peningkatan komponen lokal. Pengendalian impor bukan sekadar proteksionisme, melainkan upaya menjaga kedaulatan pasar domestik dengan memastikan produk impor sesuai standar dan regulasi nasional. Beberapa sektor seperti kosmetik, baja, dan semen telah menunjukkan hasil positif setelah menerapkan mekanisme verifikasi impor.

Strategi lainnya adalah peningkatan komponen lokal melalui skema Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), yang telah terbukti sukses pada industri elektronik. Produksi Handphone, Komputer, dan Tablet meningkat signifikan dari 0,1 juta unit (2013) menjadi 88,8 juta unit (2019), sementara impor menurun dari 62,0 juta menjadi 4,2 juta unit. Mohammad Faisal secara khusus menekankan pentingnya Pemerintah tetap menerapkan skema TKDN untuk memberi insentif terhadap investasi yang telah masuk dan akan masuk, tidak meniadakannya sama sekali.

“Di tengah ketidakpastian ekonomi global, penguatan ekonomi domestik bukan lagi pilihan tetapi keharusan,” pungkas Mohammad Faisal.

Lihat juga berita-berita Pacitanku di Google News, klik disini.

No More Posts Available.

No more pages to load.