Pacitanku.com, PACITAN – Di tengah gempuran modernitas, seni pertunjukan tradisional Wayang Suluh masih terus berdenyut di Pacitan. Wayang yang digunakan sebagai media penyuluhan dan edukasi ini, berbeda dengan wayang pada umumnya.
Wayang Suluh tidak hanya mengangkat kisah-kisah epos, tetapi juga menyampaikan pesan-pesan sosial, sejarah, dan kebangsaan.
Perpaduan antara seni visual, cerita, dan musik menjadikannya alat komunikasi yang efektif untuk menyebarluaskan informasi dan nilai-nilai budaya.
Salah satu pelaku seni yang tidak pernah lelah menjaga ‘bara’ Wayang Suluh adalah Bambang Toni Pujo Wahono, warga Dusun Karangasri, Desa Banjarsari, Kecamatan Pacitan, Kabupaten Pacitan.
Ketertarikannya pada seni pertunjukan ini bermula saat ia menyaksikan pagelaran Wayang Suluh yang dibawakan oleh Ki Cermo Yoso, seorang dalang wayang suluh dari Pacitan, sekitar tahun 1972-1973.
Pengalaman tersebut memberikan kesan mendalam baginya, dan minatnya terhadap Wayang Suluh semakin tumbuh, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mendalami dan melestarikan seni budaya ini, yakni dengan membuat wayang.
Seiring berjalannya waktu, Bambang mulai mencoba membuat wayang sendiri, yaitu Wayang Babat. Karya tersebut kemudian dipentaskan di Balai Desa Sukoharjo, mengisahkan perjalanan Setro Ketipo dalam memimpin Pacitan.

Pertunjukan ini menghadirkan sejarah daerah dalam bentuk seni pertunjukan yang khas.
Selain itu, Bambang juga aktif dalam mendesain serta membuat wayang kontemporer, sebagai upayanya untuk terus mengembangkan dan melestarikan Wayang Suluh.
“Saya memilih Wayang Suluh karena proses pembuatannya lebih mudah dan sederhana dibandingkan jenis wayang lainnya,”kata Bambang, saat ditemui tim journalism internship program (JIP) Pacitanku.com, Rabu (19/2/2025) di rumahnya di Desa Banjarsari, Pacitan.
Dia menjelaskan bahwa Wayang Suluh bisa dibuat dari berbagai bahan seperti kulit, kertas dupleks, hingga karpet talang, sehingga lebih fleksibel dalam proses pembuatannya.
Namun, upaya Bambang dalam melestarikan Wayang Suluh bukanlah tanpa tantangan.
Selain tantangan dalam regenerasi pelaku seni, di mana generasi muda cenderung kurang berminat untuk mempelajari dan mengembangkan seni wayang ini, Bambang juga menghadapi tantangan ekonomi.
Meskipun demikian, Bambang terus berusaha membuat wayang dan mendalang dalam pagelaran Wayang Suluh.
Dia berharap Wayang Suluh akan terus hidup dan berkembang di masa depan.
Bahkan, dirinya juga telah berkonsultasi dengan Dinas Pendidikan (Dindik) setempat, meksipun belum mendapatkan dukungan konkret.
Meski demikian, dirinya tak lekas menyerah dan terus berupaya menjaga eksistensi Wayang Suluh dengan segala daya dan upaya.
“Harapan saya untuk kelangsungan Wayang Suluh ini tetap ada sampai nanti, entah siapa nanti generasinya, saya tidak tahu,”pungkas Bambang.