Pacitanku.com, PACITAN – Perayaan puncak Hari Jadi Pacitan ke-280 pada Senin (17/2/2025) menjadi panggung bagi atraksi budaya yang memukau.
Sorotan utama tertuju pada penampilan 13 penari Sekar Pace yang memukau ribuan warga Pacitan. Baik yang hadir langsung di pendopo maupun yang menyaksikan melalui siaran langsung, semua terhipnotis oleh gerakan gemulai para penari perempuan tersebut.
Penampilan 13 penari Sekar Pace ini menjadi bukti bahwa budaya Pacitan tetap hidup dan terus berkembang. Tarian ini tidak hanya menghibur, tetapi juga mengandung nilai-nilai luhur dan harapan untuk kemajuan daerah.
Di balik layar, Deasylina da Ary, koreografer sekaligus penggagas tari Sekar Pace, mengungkapkan bahwa tarian ini bukan sekadar hiburan.
“Tari Sekar Pace ini erat kaitannya dengan legenda Pacitan yang disiti ada ‘Pace’ di sisi wetan. Kami mencoba menciptakan tarian yang dipersembahkan khusus untuk Pacitan,”ujar perempuan yang akrab disapa Deasylina ini, saat ditemui Pacitanku.com, di sela-sela acara Hari Jadi Pacitan.

Deasylina yang juga dosen Universitas Negeri Semarang (UNNES) Ini mengungkapkan gerakan tarian ini pun tidak asal-asalan.
“Geraknya kami cari akar-akar budaya Pacitan, ada unsur Jogja, Solo, Ponorogo, bahkan dari daerah lain di Jawa Timur. Kami seperti menciptakan melting point, pertemuan dari berbagai budaya yang ada,”imbuh peraih penghargaan Pacitanku Inspiring Women 2020 ini.
Deasylina membeberkan bahwa angka 13 yang menjadi jumlah penari pun memiliki makna tersendiri.
“Awalnya, tarian ini ditarikan oleh 13 penari pada tahun 2013. Angka 13 yang sering dianggap sial oleh sebagian orang Jawa, kami maknai sebagai sengkolo telulas, yaitu tolak bala. Kami berdoa agar Pacitan terhindar dari kesialan dan hal-hal negatif,” jelas Deasylina.
Johan Adiyatma Baktiar, komposer dan penata musik Sekar Pace, menambahkan bahwa musik yang mengiringi tarian ini juga mengalami kreasi.
“Secara musikal, kami kadang-kadang sedikit berkreasi sesuai dengan apa yang kami imajinasikan,” tuturnya.
Johan yang merupakan penata music dari LKP Pradapa Loka Bhakti Pelem Pringkuku ini mengatakan terakhir kali tarian ini dipentaskan adalah pada perayaan hari jadi tahun 2015.
“Prosesnya mulai dari tahun 2013, 2014 kita pentas di Cangkringan DI Yogyakarta, dan puncaknya di tahun 2015 untuk hari jadi. Lalu, hari ini kami pentaskan lagi setelah 10 tahun,”pungkas Johan.