Jabatan strategis ini menjadi bukti bahwa beliau, selain sebagai pejabat penghulu sekaligus memiliki jabatan politik sebagai pembela negara, sosok Kiai Hamid juga bergabung dengan pasukan Hizbullah bersama adiknya yaitu Kiai Habib, dan sejumlah pemuda Islam Pacitan kala itu. Termasuk para santri pilihan dari PP Tremas. Kiyai Hamid juga masuk sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dibawah koordinasi Bung Tomo Surabaya.
Dalam posisi strategis itulah Kiai Hamid memiliki tanggung jawab besar mengayomi umat membela negara dan sekaligus sebagai wali Umat dibawah pemerintahan pusat Yogyakarta saat itu.
Sebagai kepala penghulu, pada tahun 1948 tersebut, Kiai Hamid menjalankan misi pemerintahan untuk melaporkan kondisi umat di bawah kendalinya di Pacitan kepada Sultan Yogjakarta Hadiningrat. Dimana saat itu rakyat Pacitan mengalami situasi yang tidak menentu karena tekanan dan ancaman Komunis pimpinan Muso Madiun.
Ketika melakukan perjalanan misi suci untuk menghadap sultan Yogya, Kiai Hamid berangkat dari kediaman di Tremas bersama 14 pendamping. 4 dari saudara ipar (Joko, Qosim, Abu Nangim dan Yusuf ) serta 10 santri Tremas yang ditugasi sebagai pengawal dalam misi penyelamatan umat dari keganasan PKI.
Mengingat kerawanan keamanan daerah yang akan dilewatinya, atas nasehat sesepuh pondok, kiai muda ini dibuatkan nama samaran Kamidin Jadi. Turut mengawal perjalanan Kiyai menuju Jogja adalah abdi dalem kepercayaan pondok, yaitu Soimun.
Ketika dalam perjalanan dari Pacitan menuju Yogjakarta sampai di daerah antara Baturetno dan Pracimantoro, kiaiHamid yang menyamar dengan nama Kamidin Jadi, ditangkap gerombolan PKI setempat setelah mata-mata mereka mengendus perjalanan sang kiai.
Meskipun sudah menyamar dengan nama lain, pimpinan gerombolan tetap menangkap beliau bersama pengawalnya, kemudian dengan paksa menggiring kiai Kamidin Jadi ke tempat tawanan di Baturetno, kemudian setelah beberapa hari mereka dibawa ke kawasan hutan di Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri, tepatnya di desa Hargorejo.
Beliau dan pengawalnya sejumlah 14 orang disekap di sebuah rumah tahanan PKI di sekitar balai desa Hargorejo beberapa hari, bersama puluhan pejabat pemerintah dan tokoh seperti bupati Sukoharjo, Kepala Polisi Wonogiri, kepala Jawatan Pos dan pejabat pemerintah Tirtomoyo dan sekitarnya serta beberapa tokoh lokal, jumlah semuanya antara 55-65 orang.
Menurut penuturan tokoh lokal (mbah M) yang saat ini berusia 89 tahun, sebelum akhirnya dibunuh secara keji kemudian dimasukkan ke dalam luweng, para tawanan ini disekap di dua tempat. Mereka diberi makan nasi dan sayur dicampur gabah.
Menurutnya makanan rangsum yang diberikan kepada tawanan itu tak pantas dimakan orang karena mirip makanan binatang piaraan. Para tawanan selama disekap di dua lokasi ini menurut Soimun (santri yang selamat) antara pejabat-pejabat pemerintah dan para pemimpin dipisahkan dengan tahanan rakyat biasa, menurut kisah Soimun, sebelum para tawanan dibunuh oleh PKI, sempat tidak diberi makan beberapa hari.
Secara bergilir para tawanan digiring naik keatas hutan dan disekap diruang tahanan di Loji dinamit. Saat penggiringan kelokasi Loji Dinamit dibawa secara bergelombang, yang pertama diberangkatkan ke tempat pembantaian diatas tebing itu adalah rombongan Bupati Sukoharjo dan kiai Kamidin Jadi. Sampai di Loji Dinamit inilah mereka dieksekusi dengan keji oleh dua algojo, Bernama Suhodo (tentara merah dari Madiun) dan algojo kedua, yaitu Amad Godang.
Bersambung ke halaman 3…