Dari Pendopo Pacitan, Mimpi Industri Film Lokal Mulai Dirajut

oleh -124 Dilihat
ANTUSIASME SINEAS PACITAN: Puluhan peserta dari berbagai kalangan, mulai dari pelajar, mahasiswa, hingga budayawan, menyimak dengan saksama paparan dari sutradara Garin Nugroho. Semangat untuk belajar dan berkarya di dunia film terasa kental di Pendopo Kabupaten Pacitan. (Foto: Putro Primanto/Pacitanku)

Pacitanku.com, PACITAN – Di tengah gemerlap industri film yang sering kali fokus pada lampu sorot dan karpet merah, ada sosok yang konsisten memilih peran lain, dia menjadi tanah subur bagi tunas-tunas baru.

Dia adalah Garin Nugroho, seorang maestro yang mahakaryanya bukan hanya film, tetapi juga para sineas yang lahir dari tangan dinginnya.

Pemandangan di pendopo Kabupaten Pacitan pada Minggu malam (8/6/2025) adalah potret paling otentik dari seorang Garin.

Baca juga: Sentuhan Maestro Garin Nugroho Bangkitkan Gairah Perfilman di Pacitan

Di sana, dia tidak sedang menerima penghargaan, melainkan duduk bersama ratusan anak muda, membagikan ilmunya, dan menyalakan api semangat di mata mereka. Baginya, film bukanlah menara gading, melainkan alat komunikasi yang harus dimiliki semua orang

Aura Pendopo Kabupaten Pacitan terasa berbeda. Ruang yang biasanya menjadi saksi acara formal pemerintahan, kini disesaki energi kreatif ratusan anak muda.

Wajah-wajah penuh semangat itu berkumpul, tak sabar menyerap ilmu dalam acara bertajuk “Pacitan Belajar Film” dari Garin.

Kehadiran sutradara legendaris sekaligus pendiri Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) ini bukan sekadar kunjungan biasa.

Malam itu menjadi momen penting, sebuah percikan api yang diharapkan mampu menyalakan gairah sinema di Kota 1001 Gua.

SUTRADARA BERBAGI ILMU: Maestro film Indonesia, Garin Nugroho, saat memberikan materi dalam acara “Pacitan Belajar Film Bersama Garin Nugroho” di Pendopo Kabupaten Pacitan, Minggu (8/6/2025). Garin memotivasi para sineas lokal bahwa setiap orang bisa menjadi sutradara dengan bermodalkan kreativitas dan gawai di tangan. (Foto: Dok. Prokopim Pacitan)

Tuan rumah, Bupati Pacitan, Indrata Nur Bayuaji, tak bisa menyembunyikan kebanggaannya. Dalam sambutannya, dia menaruh harapan besar agar Pacitan tak lagi hanya menjadi penonton, tapi juga pemain utama di panggung perfilman nasional.

“Saya senang malam ini kita bisa belajar langsung dari Mas Garin Nugroho,”ujarnya dengan antusias.

“Gunakan momentum ini sebaik-baiknya. Semoga kelak, lahir sineas-sineas hebat dari putra-putri daerah Pacitan yang karyanya bisa kita banggakan,”imbuh Bupati.

Ketika Garin Nugroho mengambil alih mikrofon, suasana menjadi lebih khidmat. Dia menegaskan bahwa film bukanlah sekadar tontonan pengisi waktu luang, melainkan sebuah medium komunikasi yang dahsyat untuk menyuarakan realitas sosial dan budaya.

“Hari ini kita akan menonton film yang berbasis pada empat kisah nyata dalam sistem hukum Indonesia,” jelas Garin, merujuk pada film yang akan diputar.

“Film ini mengajak kita memahami bagaimana keadilan bisa terdistorsi oleh kekuasaan uang dan politik.”

Lebih dari sekadar teori, Garin mendorong anak-anak muda di hadapannya untuk segera bertindak. Ia meruntuhkan mitos bahwa membuat film itu sulit dan mahal.

“Karakter setiap manusia itu selalu ingin bercerita. Jangan takut, jangan menunggu. Gunakan teknologi yang ada di genggaman kalian. Kamera handphone sekarang sudah sangat canggih. Beranilah berkarya!” tegasnya.

Tak berhenti di situ, Garin kemudian melontarkan sebuah gagasan yang seketika membuat pendopo bergemuruh. Dia berencana menggelar Festival Film Horor pertama di Kabupaten Pacitan.

“Film horor sangat lekat dengan budaya dan cerita mistik yang sudah menjadi tradisi lisan di sini,” ungkapnya. “Kami akan gelar festival dan kompetisi film horor untuk anak-anak muda. Silakan bentuk kelompok, manfaatkan handphone kalian, dan mulailah membuat film!”

Sorak sorai dan tepuk tangan riuh membahana, menyambut janji sang maestro. Mimpi untuk memiliki panggung perfilman sendiri terasa semakin nyata.

Malam itu memuncak dengan pemutaran film “Nyanyi Sunyi Dalam Rantang” (Whispers in The Dabbas), sebuah karya yang terpilih dalam Official Selection International Film Festival Rotterdam 2025. Film yang mengangkat perjuangan seorang pengacara muda melawan ketidakadilan hukum ini sukses menghipnotis penonton.

Setelah film usai, lampu kembali menyala dan diskusi interaktif yang hangat pun dimulai. Para peserta berebut bertanya, menggali proses kreatif di balik layar, dan berdiskusi tentang bagaimana film dapat menjadi alat ampuh untuk perubahan sosial.

Malam “Pacitan Belajar Film” mungkin telah usai, namun malam itu telah meninggalkan warisan berharga: sebuah inspirasi, sebuah rencana konkret, dan keyakinan baru bahwa dari sebuah kota kecil di pesisir selatan Jawa, cerita-cerita besar siap lahir ke layar lebar. Babak baru sinema Pacitan tampaknya baru saja dimulai.

Bagi mereka yang mengikuti jejak Garin Nugroho, dia telah berkarya selama lebih dari tiga dekade di perfilman Indonesia. Jauh sebelum dia menjadi mentor, dia adalah seorang pendobrak.

Namanya pertama kali menggelegar di kancah nasional lewat “Cinta dalam Sepotong Roti” (1990). Film ini bukan hanya memberinya Piala Citra untuk Film Terbaik, tetapi juga memperkenalkan sebuah gaya bertutur yang puitis dan personal, sesuatu yang segar pada masanya.

Tak lama kemudian, “Surat untuk Bidadari” (1992) membawanya melintasi batas negara, mengukuhkan namanya sebagai sutradara dengan visi artistik yang kuat di panggung internasional.

Namun, di balik pencapaian artistiknya, film-film Garin selalu berakar kuat pada tanah tempatnya berpijak. Dia adalah seorang perekam realitas sosial yang ulung. Karya-karyanya sering kali menjadi cermin dari keresahan masyarakat, potret isu sosial, politik, hingga lingkungan.

Melalui film seperti “Under The Tree” (2008), dia menunjukkan bahwa kamera bisa menjadi medium yang kuat untuk menyuarakan kepedulian terhadap alam yang kian tergerus.

Inilah yang membedakan Garin. Dia tidak menyimpan ilmunya untuk diri sendiri. Keresahan dan kepeduliannya terhadap realitas sosial dia tularkan sebagai sebuah misi. Kesadaran inilah yang mendorongnya pada tahun 1987 untuk mendirikan sebuah lembaga yang kelak menjadi inkubator penting bagi sinema Indonesia: LSM SET.

SET bukan sekadar sekolah film. Dia adalah sebuah laboratorium kreatif yang bertujuan melahirkan talenta baru dengan semangat penciptaan yang segar dan otentik. Dari rahim lembaga inilah lahir nama-nama besar yang kini menjadi pilar industri, salah satunya adalah Riri Riza. Garin telah memberikan obor regenerasi itu kepada generasi berikutnya, jauh sebelum banyak orang membicarakannya.

Kini, di usianya yang telah melewati kepala enam, semangat itu tidak sedikit pun padam. Inisiatifnya di Pacitan, menjanjikan sebuah festival film horor berbasis kearifan lokal, adalah bukti bahwa misinya terus berjalan.

Dia berkeliling dari satu daerah ke daerah lain, tidak untuk mencari popularitas, tetapi untuk menemukan cerita-cerita baru dan para pencerita yang tersembunyi.

Perjalanan Garin Nugroho telah melalui satu lingkaran penuh. Dari seorang sutradara muda yang mendobrak, menjadi maestro yang diakui dunia, hingga kini menjadi seorang mentor yang tanpa lelah menanam benih.

Garin membuktikan bahwa warisan terbesar seorang seniman bukanlah karya yang dia ciptakan, melainkan generasi yang dia inspirasikan untuk terus berkarya.

Lihat juga berita-berita Pacitanku di Google News, klik disini.

No More Posts Available.

No more pages to load.