Cerita Unik Indartato dengan Mbah Karyo, Kasun Sugihwaras Pringkuku

oleh -788677 Dilihat
Indartato saat dilantik jadi camat Pringkuku. (Foto: Dok Buku Indartato Sang Pengabdi)

INI adalah cerita nyata yang terjadi jauh sebelum ada kecanggihan teknologi. Kala itu belum ada grup-grup whatsapp, belum ada transportasi yang memadai. Belum ada hal-hal yang bisa dinikmati di zaman modern saat ini. Namun saat itu, inspirasi dari kisah ini adalah tentang semangat dan keteladanan seorang pemimpin. Redaksi Pacitanku.com mengutip langsung dari kisah manis yang dituliskan Subiyanto Munir, penulis buku dalam buku Indartato sang pengabdi. Selamat menikmati.

Hari itu adalah hari pertama Camat Pringkuku Indartato ngantor secara resmi, sebelumnya sudah tunjuk muka di tempat kerja baru sebagai pemangku jabatan tertinggi di kecamatan setempat. Pekerjaan pertama yang ia lakukan adalah perkenalan dengan unsur Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) dan semua elemen masyarakat yang berada di Kecamatan Pringkuku.

Ia bersilaturahim ke Danramil, Kapolsek, Kepala Puskesmas, Kepala Depdikbudcam dan Kepala KUA setempat. Sebelumnya diawali dengan acara pisah kenal camat lama dan baru. Karena terbatasanya dana, pihak panitia tidak bisa menghadirkan seluruh perangkat desa. Apalagi ketika itu yang namanya rapat (apapun) di kecamatan tidak bisa memobilisasi peserta yang banyak.

Selain jarang ada angkutan umum dari seluruh desa menuju kota kecamatan, rapat di kecamatan umumnya dihadiri oleh carik saja. Lantas setelah carik mengikuti rapat di kecamatan hasilnya disampaikan kepada perangkat desa dalam kumpulan rebon. Yaitu acara perteman rutin tingkat desa yang diadakan setiap hari Rabu.

Satu bulan sudah, Indartato menjadi camat di Pringkuku. Dirinya sudah merasa bisa beradaptasi dengan kantor baru, jabatan baru dan suasana kejiwaan anak buah baru. Kebiasaan dan gaya Indartato tetap sama, seperti ketika masih di Punung. Nylondhoh, macak sopir dan berpenampilan sederhana masih ia lakukan. Kepada siapa saja ia selalu menyapa terlebih dahulu dan dengan bahasa Jawa halus. Bagi orang yang belum pernah kenal, siapa dia dan apa jabatannya, memang tidak mengira kalau dia seorang camat.

Ada cerita unik ketika suatu hari seseorang bertamu di kantornya. Hari itu masuk pagi, karena hari Jumat. Karyawan kantor kebanyakan nglaju dari Pacitan belum datang. Indartato tidak mau ikut arus karyawannya. Pasti dia datang duluan. Selain sudah terbiasa disiplin saat kuliah di APDN, ia sendiri ingin memberi contoh terlebih dahulu.

Indartato saat menjadi Camat Pringkuku (Sumber Foto: Buku Indartato sang pengabdi)

Meminjam istilah Jawa kuna yang dipopulerkan guru besar Universitas Negeri Semarang (Unnes) Prof Sudijono Sastroatmodjo. Nglakoni apa sing diomongke, ngomongke apas ing dilakoni, aja ngomong yen durung nglakokne. Camat Indartato sangat paham dengan filosofi kepemimpinan Jawa ini. dengan demikian diharapkan tidak satupun karyawan di kecamatan Pringkuku yang sakit hati atas perubahan pola kerja yang sedang dan akan dilakukannya. Akan tetapi tujuan utama untuk mendisiplinkan karyawan tercapai.

Cerita unik tadi adalah datangnya tamu kantor dari desa Sugihwaras. Dia diutus oleh carik untuk meminta tapak asma surat kependudukan warga desanya kepada camat. Ia adalah perangkat desa Sugihwaras. Jauh ke kecamatan kurang lebih perjalanan dua jam dengan jalan kaki. Pria separuh baya itu adalah salah satu kepala dusun di desa itu. Ia kebetulan mendapat giliran untuk nyentana (cadhong dhawuh utusan lurah) pergi ke kaonderan (kecamatan).

Hari itu karyawan kantor kecamatan belum ada yang datang. Kasun Sugihwaras sudah datang pagi-pagi untuk segera mendapat pelayanan dari bagian administrasi. Ketika itu Indar berpakaian premasn, kaos lengan pendek dan celana training. Ia, sedang kerja bakti memotong tanaman pagar kantor yang tumbuh sudah tidak teratur.

Seperti biasa ia ditemani tukang kebun membersihkan ruut di gapura depan, sambil mencabuti rumput-rumput liar. Begitu ada tamu, Indar menyapa terlebih dahulu. Apalagi tamunya nampak lebih tua dan kelihatan datang dari jauh. Baju potong gulon hitam dengan kaos lorek sudah agak kusam, ditambah udheng yang menyelut kepalanya membuat tamu itu di mata Indartato nampak berwibawa.

“Badhe kersa napa mbah?” sapa Indar dengan senyuman khasnya. “Arep sowan pak camat! Apa piyantune wis teka?” Demikian jawab sang tamu dengan tenang, sambil menyeka keringat di wajah yang penuh peluh dengan tangan kirinya.

Oooh… mangga mbah, pinarak rumiyen!! Pak camat nggih sampun rawuh kok. Panjenengan tengga wonten rung tamu pendhapa sawetawis,” sahut Indartato sambil mempercepat pekerjaan mencabut rumput yang tinggal sedikit.

Jam dinding di ruang tunggu kecamatan sudah menunjukkan pukul 07.15 WIB. Baru ada dua orang anak buahnya yang datang. Itupun karyawan bagian umum yang biasa menyiapkan minum pegawai dan membersihkan kantor. Satu lagi staf bagian yang menangani masalah sosial.

Melihat para pembantunya belum datang, sementara Mbah Kasun Sugihwaras sudah cukup waktu menunggu, pantangan bagi Indar kalau sampai membuat masyarakat terlalu lama ditelantarkan. Setelah berganti pakaian dinas dan merapikan rambut cepaknya, Indar menemui sendiri sang tamu di ruang tunggu kecamatan.

Dalam suasana agak cair, karena tadi pagi sudah ketemu di gapura, Indartato kembali menyapa tamunya. “Badhe ngersakaken punapa mbah?” Ia mengulangi pertanyaan tadi pagi untuk sekedar basa-basi. “Badhe panggih Pak Camat nak, napa sampu saged menghadap piyambakipun?” seperti tersambar sesuatu, tubuh Indar bergetaran.

Sambil memperbaiki duduknya Indar mencoba berkomunikasi dengan sang tamu. Dengan beragam perasaan, geli, malu, minder dan perasaan kurang percaya diri, Indar bertanya lagi kepada tamunya yang tampak nikmat menghisap rokok Grendo sebagai kesukaan khas orang tua di desa.

Nyuwun sewu, simbah daleme pundi?” tanya Indar. “Kulo Sugihwaras nak,” jawab sang tamu,”simbah asmaniupun sinten?,” dia bertanya lagi. “Kulo Karyo Rejo. Sowan mriki dipun dhawuh mbah lurah nyuwunaken leges pak Camat. Gek pak camat napa sampun rawuh?” tanya mbah Karso lagi.

Sampun mbah, nggih kulo niki camat Pringkuku sakniki.” Dengan perasaan agak terpaksa Indar membuka jati diri di hadapan tamu yang masih belum yakin bahwa anak muda berambut cepak, berkulit hitam dan berperawakan kecil itu ternyata camat Pringkuku.

Seketika itu mbah Kasun Karyo Rejo terhenyak, salah tingkah dan uluk pangapura. Kalau tidak dicegah Indartato mbah Karyo hampir laku dhodok untuk bersimpuh di hadapan Ndoro Camat. Pembicaraan akhirnya cair kembali, setelah mereka berdua saling bercerita sambil menunggu leges yang diperlukan mbah Karyo diselesaikan oleh staf kecamatan yang saat itu sudah datang.

Tak berapa keperluan mbah Karyo sudah selesai. Diapun pulang dengan berjalan kaki ke Sugihwaras. Suasana kantor kembali normal, semua bekerja pada posisi masing-masing. Indartato sendiri kembali ke ruang kerja untuk memeriksa surat-surat baru yang masuk di meja kerjanya.

Sambil membuka lembar surat satu dem satu dihadapannya, Indar menerawan ke depan. “Apa memang potongan seperti ini saya tidak pantas jadi camat ya? Kok Mbah Karyo tadi tidak yakin, setelah saya beri tahu bahwa camat Pringkuku sekarang adalah saya,” gumamnya.

Kejadian serupa juga dialami lagi oleh Indar pada sore hari waktu ia menyapu halaman kantor camat bersama Tukijo. Agar kejadian tadi tidak berulang, perlu segera ada acara di desa-desa yang dapat memfasilitasi dirinya berkenalan dengan seluruh warga. Minimal para perangkat desa sebagai mitra terdepan camat di tengah masyarakat. Indartato merencanakan lomba administrasi tingkat RT. Pada saat penilaian, warga RT diundang. Acara secara resmi dibuka langsung oleh camat dan ketua tim penggerak PKK Kecamatan yang tak lain adalah istrinya sendiri. Hadiah disiapkan pihak kecamatan sebagai daya tarik lomba.

Saat itu hari kerja dalam sepekan masih enam hari, Sabtu tetap masuk seperti biasa. Indar tidak sranta menunggu hari Senin. Hari itu juga ia kumpulkan seluruh pembantunya, untuk diajak musyawarah dengan tema seperti yang ia rencanakan.

Setelah ada usul-saran dari staf, diputuskan lomba diadakan dengan sistem berjenjang. Kejuaraan diambil pada tingkat desa, dri juara satu sampai harapan dua. Kemudian juara satu di desa berhak mengikuti lomba di tingkat kecamatan. Keputusan ini segera disebar-luaskan pak mantri polisi. Lomba pun berlangsung meriah karena mendapat dukungan penuh dari aparat desa. Dalam waktu tiga bulan, Indartato tepung mengunjungi seluruh desa di Pringkuku yang membentang dari pantai Watukarung sampai ke Dusun Tumpak, Tamanasri di utara perbatasan Arjosari. Tidak hanya itu, akhirnya Indartato dapat mengikuti lomba desa sampai tingkat provinsi.

Sisi lain dari kegiatan lomba ini adalah terbangunnya hubungan emosional yang akrab antara camat dengan waga selam akegiatan berlangsung. Seluruh perangkat ia temui satu persatu setia selesai membuka acara secara resmi.

Para kawula alit heran, kok ada camat yang bergaya seperti rakyat jelata begini. Tidak nyungkani, tidak mriyayeni dan loman. Menurut kebanyakan warga setempat, dulu-dulu belum pernah mereka temui ada camat bersedia dlusupan di rumah-rumah warga. Nyambangi orang sakit, apapalagi  ngantar orang dengan mobil dinas ke rumah. Itu nyidham mas namanya. Begitu ungkap seorang warga mengenang kebaikan camat barunya.

Ada lagi kisah yang pantas diteladani ara camat sekarang dan istri-istri mereka. Seperti ditutukan oleh Jumin, seorang pensiunan kepala SD di Pringkuku. Suatu hari desa Jlubang tempat tinggal Jumin ditunjuk mewakili kecamatan Pringkuku untuk mengikuti lomba PKK tingkat kabupaten. Ketika itu Luki baru melahirkan Yanu, putra keduanya beberapa bulan.

Akan tetapi demi untuk mendukung persiapan lomba, bu Luki rela menginap selama tiga hari di rumah ini. selama tiga hari pula pak In mondar-mandir dari Jlubang ke kantor kecamatan memakai mobil kodok. Demikian dituturkan oleh Jumin mengenang semangat kerja dan pengorbanan sepasang suami istri yang saat itu menjadi ibu dan bapaknya masyarakat Pringkuku.

Indartato saat menjadi Camat Pringkuku (Sumber Foto: Buku Indartato sang pengabdi)

Masih bayak catatan yang dituturkan oleh para tokoh Pringkuku tentang keunikan, kelebihan dan pengorbanan Indar berdua selama menjadi camat di Pringkuku. Gara-gar menerima tamu kasun Sugihwaras Indartato menemukan ide cerdas yang memperkokoh jati dirinya. Mbah Karyo Rejo, saat sebelum meninggal dunia, Indartato sempat besuk, meski sudah tidak jadi camat Pringkuku. Tidak lupa ia bawakan rokok. Mbah Karyo berpesan kepada Indartato saat besuk ke beliau.

Mas In, wong kuwi yen gelem andhap ashor lan ngalah, suk ing tembe mburi bakal dhuwur wekasane gampang ginayuh apa sing dikarepake merga kang jinangka sinengkuyung dongane wong akeh. Muga-muga ora mung dadi songsong madyaning kawula alit ing Pringkuku wae. Nanging dadia songsong agung ing jagat bumi Wengker kidul iki,”demikian pesan Mbah Karyo kepada Indartato.