Pacitanku.com, JAKARTA – Fenomena menarik terungkap dari kebiasaan masyarakat Indonesia dalam menggunakan nomor telepon seluler.
Lembaga Survei KedaiKOPI dalam rilis hasil survei bertajuk “Survei Penggunaan Internet di Indonesia” pada Senin (26/5/2025), menemukan bahwa selain alasan klasik seperti kehilangan perangkat atau kerusakan kartu SIM, keinginan untuk mengubah identitas digital turut mendorong sebagian warga mengganti nomor telepon mereka. Temuan ini juga menyoroti adanya potensi penyalahgunaan identitas yang berisiko hukum.
Survei yang dilakukan secara daring pada 14–16 Mei 2025 terhadap 1.545 responden nasional ini menunjukkan bahwa 36,6% responden pernah mengganti nomor telepon dalam lima tahun terakhir. Survei ini menggunakan metode Computer Assisted Self Interview (CASI) dalam pengumpulan datanya.
Dari angka tersebut, alasan kehilangan perangkat menjadi yang tertinggi (39,1%), disusul kartu SIM rusak (35,8%). Namun, yang cukup signifikan adalah 5,5% responden mengganti nomor dengan niat mengubah identitas digital mereka.
Direktur Riset dan Komunikasi KedaiKOPI, Ibnu Dwi Cahyo, menilai temuan terkait perubahan identitas digital ini sangat menggelitik.
“Identitas digital ini beragam, bisa email, media sosial, atau akun platform seperti WhatsApp. Alasannya pun bermacam-macam, mulai dari isu privasi, keamanan, hingga keinginan mengubah citra online,” jelas Ibnu, dalam keterangan tertulisnya kepada Pacitanku.com.
Ironisnya, meski 99% pengguna mengaku tetap menggunakan identitas asli saat registrasi nomor baru, survei ini mengendus adanya potensi penyalahgunaan.
“Ada temuan 1% responden yang memakai identitas orang lain saat melakukan registrasi nomor baru. Ini tidak hanya melanggar UU Kependudukan, tetapi juga UU ITE, apalagi jika nomor baru tersebut digunakan di berbagai platform digital,”tegas Ibnu.
Sementara itu, dari sisi penggunaan internet sehari-hari, Peneliti Lembaga Survei KedaiKOPI, Taufan Anindita Pradana, menjelaskan bahwa mayoritas masyarakat masih mengandalkan WiFi umum untuk berhemat.
“Sebanyak 83,3% responden memilih WiFi umum karena alasan penghematan kuota, diikuti kemudahan akses dan bebas biaya (69,6%),”papar Taufan.
Berbeda dengan penggunaan WiFi umum, pemanfaatan WiFi di rumah lebih difokuskan pada akses informasi dan aktivitas digital produktif.
“Pencarian berita (86,3%), mengakses media sosial (86%), menonton film atau drama (72,7%), hingga bekerja (71,4%) menjadi aktivitas utama saat menggunakan WiFi rumah,” tambahnya.
Dalam memilih penyedia layanan internet (provider), kestabilan jaringan (42,7%) dan harga paket yang sesuai kebutuhan (28,8%) menjadi pertimbangan utama.
Menariknya, survei ini juga menunjukkan loyalitas pelanggan yang tinggi. Sebanyak 65,8% responden mengaku menggunakan provider yang sama selama lebih dari empat tahun, bahkan 26,6% di antaranya setia menggunakan satu provider selama lebih dari satu dekade.
“Hal ini menunjukkan loyalitas yang tinggi terhadap provider yang menawarkan kualitas layanan konsisten,” terang Taufan.
Terkait pengeluaran, mayoritas responden (61,3%) menghabiskan antara Rp50.000 hingga Rp100.000 per bulan untuk paket data.
Pembelian paket ini paling banyak dilakukan melalui Gopay (25,4%), diikuti konter pulsa (20,8%), dan mobile banking (17,5%). Paket berlangganan bulanan menjadi pilihan favorit (83%), dengan kuota ideal yang paling banyak diminati berkisar antara 11–30 GB per bulan (29,6%).
Survei ini juga menangkap tren rendahnya minat masyarakat terhadap “handphone jadul”. Hanya 36% responden yang menyatakan tertarik, umumnya dengan alasan ingin rehat dari media sosial (55%) dan menjaga keamanan data (54,9%). Sebaliknya, 64% responden tetap memilih smartphone karena dianggap lebih mendukung kebutuhan kerja dan aktivitas sehari-hari.
Taufan menyimpulkan, temuan-temuan ini mencerminkan sikap rasional masyarakat Indonesia.
“Mereka cermat dalam memilih layanan internet, dengan mempertimbangkan efisiensi biaya, kualitas jaringan, dan pengalaman penggunaan jangka panjang,”pungkasnya.