Ini Hasil Kajian Penyebab Tanah Gerak di Purworejo Pacitan

oleh -3 Dilihat
Indartato kunjungi bencana purworejo. (Foto: Doc Info Pacitan)
Indartato kunjungi bencana purworejo. (Foto: Doc Info Pacitan)

Pacitanku.com, PACITAN – Bencana alam tanah gerak di Dusun Krajan, Desa Purworejo, Kecamatan Pacitan Kota, terjadi karena kondisi geografis desa setempat yang didominasi batu kapur. Batuan kapur membuat banyak rongga di dalam tanah yang setiap saat bisa bergerak secara perlahan (rayapan) jika dipicu hujan dengan intensitas tinggi.

Warga diminta untuk tetap waspada terutama saat turun hujan. Soal relokasi, tim peneliti dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung belum bisa memberi rekomendasi. ‘’Kami masih perlu menganalisa hasil penelitiannya dulu,’’ kata Kepala Tim Peneliti PVMBG Bandung, Iqbal Eras Putra, sebagaimana dikutip dari Radar Madiun, Sabtu (4/2/2017).

Iqbal menuturkan, pergerakan tanah di Purworejo berjenis rayapan. Gerakan tanah seperti itu cenderung lambat. Namun, kewaspadaan tidak boleh berkurang. Warga diminta untuk menutup rekahan tanah dengan material seperti tanah lempung. Tujuannya, agar air hujan tidak masuk melalui celah rekahan tanah. Sebab jika masuk, ditakutkan semakin menyebabkan perkembangan rayapan. ‘’Nanti lebih cepat merekah jika tidak ditutup,’’ ujarnya.

Terkait penyebabnya, Iqbal menyebut karena kondisi geografis tanah di Purworejo didominasi oleh batu kapur. Banyaknya rongga di dalam tanah menyebabkan tanah menjadi bergerak kala air hujan merembes masuk.

Disamping itu, kebetulan banyak rumah warga setempat yang dibangun di lereng yang miring. Hal itu semakin mempercepat dampak kerusakan pada rumah. Pun, retakan itu juga berkesinambungan. Memanjang dari lereng atas ke bawah bukit. ‘’Fenomena gerakan tanah di daerah batu kapur umum terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia,’’ kata Iqbal.

Soal relokasi, Iqbal belum dapat memberi rekomendasi. Pihaknya masih perlu melakukan analisa dari hasil penelitian yang dilakukan kemarin. Disamping itu, dia juga merasa perlu memantau perkembangan lebih lanjut fenomena tersebut.

Bukan tidak mungkin beberapa bulan ke depan timnya akan turun gunung lagi mengecek perkembangan di Purworejo. ‘’Selain waspada, setiap perkembangan juga harus dikoordinasikan dengan pemkab setempat,’’ ujarnya.

Kentongan Jadi Penanda Bahaya




Kemungkinan kejadian pergerakan tanah di Dusun Krajan, Desa Purworejo, Kecamatan Pacitan Kota terus mengintai warga setempat. Ini selama curah hujan masih tinggi. Di tengah ancaman yang bisa menghantui saban hari itu, warga rupanya masih melestarikan kearifan lokal masyarakat Jawa.

Yakni, kentongan sebagai pemberi tanda atau informasi diantara masyarakat. ‘’Terus kami imbau untuk memaksimalkan keberadaan kentongan untuk memberi informasi soal perkembangan retakan,’’ ujar Kepala Desa Purworejo, Rosid Subianto.

Sejak Desember tahun lalu, perkembangan pergerakan tanah di Purworejo terus meluas. Tiga rumah terdampak pertama milik Sunarto, Jaswadi, dan Surono kini semakin parah. Ketiganya kini menurut Rosid mengungsi ketika malam hari.

Dari awalnya tiga rumah, terus berkembang menjadi sembilan rumah terdampak. Dari sembilan rumah, korban terus bertambah hingga tercatat terakhir ada 17 rumah terdampak di Purworejo. ‘’Karena terus meluas perkembangannya, warga harus terus waspada dan berkoordinasi,’’ ujarnya.

Koordinasi pun dilakukan lewat cara sederhana, yakni menggunakan kentongan. Cara tersebut dinilai efektif karena warga sudah turun temurun melestarikannya. Begitu perkembangan pergerakan tanah diketahui, warga langsung membunyikan kentongan tanda adanya bencana.

Begitu dibunyikan, warga datang ke lokasi kentongan itu dibunyikan serta melapor kepada perangkat desa, aparat keamanan, dan tim reaksi cepat (TRC). ‘’Itu terus dilakukan. Karena masyarakat berbagai usia lebih tanggap dengan kentongan dibanding menggunakan handphone,’’ terangnya.

Selain terus berupaya mengkoordinasi kewaspadaan warga, desa juga sudah mulai memikirkan langkah selanjutnya. Kemungkinan terburuk yang bisa terjadi, warga terdampak harus meninggalkan rumah alias relokasi.

Rosid mengaku juga sudah memikirkan hal itu. Dia berkaca pada fenomena yang sama 2012 lalu di dusun Demeling, Purworejo. Kala itu, ada lima rumah yang harus relokasi. Empat warga, di antaranya memiliki tanah dan rumah untuk boyongan.

Sementara, satu warga yang tidak tahu hendak kemana dibantu lahan tanah oleh pemerintah desa. ‘’Wacananya, nanti juga akan dilakukan hal yang sama jika harus relokasi. Namun harapannya ya jangan sampai terjadi,’’ ujar Rosid. (RAPP002)