302 Siswa di Pacitan Putus Sekolah, Program Wajar 12 Tahun Belum Memuaskan

oleh -0 Dilihat
Anak - anak SD di Pacitan. (Foto : Dok.Pacitanku)
Anak - anak SD di Pacitan. (Foto : Dok.Pacitanku)
Anak - anak SD di Pacitan. (Foto : Dok.Pacitanku)
Anak – anak SD di Pacitan. (Foto : Dok.Pacitanku)

Pacitanku.com, PACITAN – Setelah peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) baru usai Jumat lalu, pendidikan di Pacitan kembali dihadapkan pada berbagai persoalan mendasar. Setelah sebelumnya muncul persoalan guru, kini muncul persoalan baru, yakni angka siswa putus sekolah masih sangat tinggi.

Diketahui, menurut data dari dinas pendidikan (dindik) setempat terdapat 302 siswa yang tidak melanjutkan pendidikannya di tahun pelajaran 2013/2014 ini. Tentu hal ini memantik keprihatinan sejumlah kalangan, salah satunya anggota DPRD Pacitan, sekaligus menjadi kesimpulan bahwa program Wajib Belajar 12 Tahun belum memuaskan.

 ‘’Jika ini benar, sungguh sangat disayangkan. Sebab, anggaran sektor pendidikan di Kabupaten Pacitan sangat besar,’’ kata Ronny Wahyono, Ketua Komisi B DPRD Pacitan seperti dialansir dari Jawa Pos Radar Pacitan kemarin (4/5/2014)

Dikatakan politisi Partai Demokrat ini, jika melihat alokasi anggaran tersebut, sulit diterima bila masih ada siswa di Pacitan yang putus sekolah. Apalagi persentasenya di atas 10 persen. Disebutkan, jika data dindik itu benar, maka DPRD Kabupaten Pacitan sangat prihatin dengan kondisi pendidikan di daerah berjuluk 1001 Goa saat ini.

Di tengah besarnya dana pendidikan yang dialokasikan dalam APBD bersama program Grindulu Mapan, ternyata angka siswa putus sekolah masih tinggi. Pihaknya berharap dindik segera mengklarifikasi data tersebut. Jika benar, kata dia, DPRD berharap penggunaan dana pendidikan ke depan harus fokus pada siswa putus sekolah.

‘’Nanti jika perlu kami akan menggelar hearing atau rapat dengan pendapat (RDP) dengan dindik dan kemenag untuk memecahkan masalah ini,’’ tuturnya.

Sementara itu, Kepala Dindik Pacitan Sugeng Basuki menuturkan penyebab tingginya angka siswa putus sekolah itu terkait minimnya kesadaran pentingnya pendidikan, terutama pada keluarga miskin. Selama ini mereka hanya berpikir pendek untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kemudian kondisi geografis juga menjadi kendala anak-anak bersekolah.

Kondisi geografis yang tak menguntungkan membuat sebagian anak lebih senang berdiam di rumah daripada menimba ilmu di sekolah. ‘’Utamanya di daerah pelosok. Mereka lebih memilih bekerja dibandingkan melanjutkan pendidikannya. Selain itu, faktor pernikahan dini juga menjadi faktor lain yang menyebabkan angka anak putus sekolah di Pacitan tinggi,’’ ungkapnya.

Terpisah, Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kabupaten Pacitan Wisnu Riyatmoko mengungkapkan ada beberapa persoalan yang membuat angka siswa putus sekolah masih tinggi. Pertama, kemiskinan yang hingga kini belum sepenuhnya teratasi. Kemiskinan menjadi momok dalam dunia pendidikan.

Selain itu program sekolah gratis untuk tingkat SD dan SMP yang didengungkan pemerintah belum sepenuhnya terealisasi. Di sana-sini masih terdengar kabar maraknya pungutan liar (pungli) terhadap siswa baru. Demikian juga saat kenaikan kelas, masih saja ada sekolah yang memungut sejumlah uang dari siswa.

Belum lagi untuk pembelian buku dan lembar kerja siswa (LKS), meski pemerintah menyediakan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) buku dan buku sekolah elektronik (BSE). ‘’Semua itu butuh biaya tak sedikit dan pasti sulit dipenuhi keluarga miskin,’’ pungkasnya.

Redaktur : Robby Agustav