Pantai Watukarung Dikuasai Asing

oleh -5 Dilihat
Surfing di Pantai Watukarung
Surfing di Pantai Watukarung

Pacitanku.com, PACITAN – Sejumlah aset yang berada di Pantai Watu Karung di Kecamatan Pringkuku, Pacitan, kini dinikmati perorangan. Mayoritas tanah di lokasi itu lebih dulu dikelola pendatang dari luar daerah.

Bahkan, beberapa dari mereka merupakan orang asing yang hendak mengembangkan usaha di pantai yang terkenal dengan ombaknya tersebut. “Kebanyakan, orang-orang luar negeri itu juga punya usaha wisata di Bali,” kata Iput, salah seorang warga setempat, belum lama ini.

Dia menjelaskan, kira-kira sejak 2005, sejumlah orang asing dari berbagai negara seperti Australia, Austria, Jepang, dan Swiss itu mulai melakukan ekspansi. Yakni, dengan cara membeli tanah milik warga setempat.

Hasilnya, sekarang hampir seluruh tanah di tepi pantai tersebut dikelola menjadi tempat usaha. Misalnya, digunakan sebagai resor dan homestay. “Yang sering menyewa ya orang-orang yang hendak berolahraga selancar di pantai (Watu Karung, Red) itu,” terangnya.

Pernyataan tersebut diamini Kepala Desa Watu Karung Wiwid Peni Dwi Antari. Dia menyatakan, ada beberapa lokasi yang memang sejak lama berpindah kepemilikan ke tangan orang asing.

Menurutnya, seluruh pengusaha itu sudah memenuhi syarat administrasi yang ditentukan. Bahkan, beberapa kesepakatan antara kedua pihak sengaja dibuat agar nanti tidak ada yang merasa dirugikan. “Mereka memiliki sertifikat tanah yang legalitasnya bisa dipertanggungjawabkan,” jelasnya.

Wiwid mengungkapkan, ada tiga tempat usaha yang tercatat sudah mengantongi izin resmi dari pemerintah desa setempat. Yakni, Istana Ombak, Watu Hutan, dan Lestari. Semua merupakan jasa wisata sejenis resor dan tempat menginap bagi pengunjung. Lebih lanjut, tiga tempat usaha itu memasang tarif mulai Rp 150 hingga Rp 350 ribu per malam. ”Bahkan, sebentar lagi ada yang akan buka. Tarifnya Rp 1 juta per malam,” imbuhnya.

Kendati demikian, resor dan homestay yang didirikan tersebut tidak serta-merta banyak berkontribusi terhadap pendapatan desa setempat. Wiwid menambahkan, dalam sebulan, hanya Istana Ombak Resor yang rutin membayar retribusi ke desa. Yakni, Rp 250 ribu per bulan.

Resor lain kerap absen dengan dalih sepi pengunjung atau minim pendapatan. “Hanya itu pendapatan desa kami, dari resor dan homestay di pantai itu,” ungkapnya