Pacitanku.com, KEBONAGUNG – Di balik keindahan bentuk dan keunikan warna produk gerabahnya, Arum Gerabah Mbak Ning Kebonagung, Pacitan menyimpan cerita tentang perjuangan tak kenal lelah, inovasi, dan semangat melestarikan warisan budaya leluhur.
Rining Astuti, atau yang akrab disapa Mbak Ning, sang pemilik, tak hanya sekadar berbisnis, melainkan sedang memahat asa di tengah berbagai tantangan, mulai dari ketergantungan pada alam hingga upaya regenerasi sumber daya manusia.
Dia memastikan roda produksi gerabah khas Pacitan ini terus berputar, menjaga kualitas, dan merangkul masa depan.
Proses pembuatan gerabah di Arum Gerabah Mbak Ning dimulai dari esensi paling murni: tanah liat. Bahan baku utama ini diambil langsung dari sawah, dicampur dengan sedikit pasir untuk memperkuat struktur.
Setelah melewati proses penggilingan dan penghalusan, tanah liat siap bertransformasi di tangan-tangan terampil.
“Kami menggunakan teknik putar, teknik piling untuk pembentukan manual dengan tangan, serta teknik cetak atau pahat,” jelas Mbak Ning.
Khusus untuk produk seperti patung, teknik pahat menjadi pilihan utama, memungkinkan detail dan ekspresi yang lebih kaya.
Durasi produksi menjadi penanda seberapa rumit sebuah karya. Untuk produk sederhana, dua hingga tiga hari cukup untuk pembentukan, diikuti beberapa hari pengeringan sempurna.
Namun, patung bisa memakan waktu satu hingga sepuluh hari untuk pembentukan awal, dengan tahapan penguatan, penambahan ornamen, dan penghalusan yang dilakukan secara telaten.
Tak heran, dalam sekali produksi, Arum Gerabah mampu menghasilkan ratusan produk, menunjukkan kapasitas dan efisiensi yang mumpuni.
Baca juga: Arum Gerabah Mbak Ning: Menyulap Tanah Jadi ‘Emas’, Membangkitkan Jiwa Industri Tradisional Pacitan
Namun, seperti karya seni yang lahir dari alam, Arum Gerabah tak luput dari tantangan yang bersumber dari alam itu sendiri.
Proses pengeringan sepenuhnya mengandalkan sinar matahari dan angin, tanpa paparan langsung untuk menghindari retak yang fatal. Pembakaran baru dilakukan setelah gerabah benar-benar kering.
Di sinilah cuaca menjadi penentu utama kuantitas dan kualitas produksi.
“Kalau cuaca hujan, pengeringan bisa sampai dua minggu karena kami mengandalkan alam. Dampaknya, ada potensi retak dan kuantitas produksi menurun, dari 100 buah sehari bisa jadi 50,” terang Mbak Ning, Senin (23/6/2025).
Untuk menyiasati ketidakpastian ini, Arum Gerabah memiliki strategi adaptif. Produksi diperbanyak saat musim panas untuk menumpuk stok dan memenuhi kebutuhan pasar.
Selain itu, lokasi pengeringan diperluas saat musim hujan agar proses tetap berjalan optimal, meskipun lebih lambat.
Tantangan lain yang tak kalah krusial adalah ketersediaan bahan baku dan sumber daya manusia.
Musim kemarau seringkali memicu persaingan ketat dalam berebut tanah di sawah, sementara di musim hujan, sawah yang ditanami mempersulit pengambilan tanah liat. Ini menuntut manajemen bahan baku yang cermat dan antisipatif.
Kualitas gerabah adalah prioritas utama bagi Mbak Ning. Ia menjelaskan, gerabah yang berkualitas harus aman dari percikan air, stabil saat pembakaran, dan suhu pembakaran harus tepat.

“Terlalu panas bisa meleleh, tapi kalau kurang, hasilnya kurang bagus baik dari warna maupun suaranya,” imbuhnya.
Di balik tangan-tangan terampil yang membentuk gerabah, ada semangat dan motivasi para pengrajin. Mayoritas adalah ibu-ibu, dan tak sedikit yang menjadi tulang punggung keluarga. Mbak Ning menjaga semangat mereka dengan menawarkan harga terbaik untuk kesejahteraan para pekerja.
“Perempuan di sini bukan hanya tulang rusuk, tapi juga tulang punggung,”ujar Mbak Ning.
Lebih jauh, Arum Gerabah juga aktif memperkenalkan gerabah kepada anak-anak muda sebagai upaya regenerasi.
Tujuannya mulia: agar mereka peduli, tidak menyepelekan, dan mau terjun sebagai generasi penerus yang memahami seluk-beluk gerabah. Ini adalah investasi jangka panjang untuk melestarikan keahlian yang diwarisi turun-temurun.
Mbak Ning berharap Arum Gerabah dapat terus eksis dan mempertahankan warisan budaya ini. Ia juga menyerukan kepada anak-anak muda untuk lebih peduli terhadap lingkungan dan potensi lokal.
“Mari melek apa saja yang ada di sekitar kita, industri apa yang bisa kita kembangkan, kita hidupkan kembali, apalagi kalau itu tidak hanya tentang industri tetapi budaya yang memang harus tetap kita jaga. Karena bagaimanapun, adat atau budaya adalah pondasi awal kita di zaman-zaman berikutnya,”tutupnya.