Pacitanku.com, JAKARTA – Kepala Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono menyampaikan sejumlah fakta terkait rentetan gempabumi tektonik yang terjadi di wilayah Bawean, Laut Jawa, Jawa Timur sejak Jumat (22/3/2024) hingga Senin (25/3/2024) kemarin.
Tercatat, sejak gempabumi tektonik pertama yang terjadi pada Jumat (22/3/2204) pukul 11.22 WIB, rentetan gempa terus terjadi hingga Senin (25/3/2024) dengan total 262 rangkaian gempa.
Baca juga: BMKG Catat 64 Rentetan Gempa di Laut Jawa, Terkuat Sampai Magnitudo 6,5
BMKG mencatat ratusan guncangan yang muncul dari sebuah titik di 130 km lepas pantai Tuban, Jawa Timur mulai Jumat siang pukul 11.22 WIB menjelang zuhur.
Rentetan gempa tersebut memiliki kekuatan magnitudo yang bervariasi dari yang terendah M2,7 hingga yang tertinggi M6,5. Dari 64 kejadian gempa yang berpusat pada episenter yang berdekatan tersebut, BMKG mencatat 3 gempa dengan guncangan terkuat.
Yang pertama terjadi pada pukul 11.22 WIB dengan kekuatan M6,0 yang kemudian dimutakhirkan menjadi M5,9. Gempa besar kedua terjadi pada pukul 12.31 WIB dengan kekuatan M5.3. Sementara gempa besar yang ketiga dan yang paling kuat terjadi pada pukul 15.52 WIB dengan kekuatan M6,5.
Daryono mengatakan gempa Bawean berkekuatan M5,9 dan M6,5 pada 22 Maret 2024 merupakan jenis gempa kerak dangkal atau shallow crustal earthquake yang dipicu aktivitas sesar aktif dengan mekanisme geser/mendatar (strike-slip) di Laut Jawa.
“Fakta kedua, gempa yang bersifat merusak/destruktif, gempa ini menimbulkan dampak kerusakan bangunan tidak hanya di Pulau Bawean, tetapi kerusakan akibat gempa juga terjadi di Gresik, Tuban, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan, Bojonegoro, Pamekasan Madura, dan Banjarbaru,”jelasnya, Senin siang.
Daryono juga mencatat gempa Bawean memiliki guncangan spektrum luas. Dimana, kata dia, dampak guncangan Gempa Bawean ini dirasakan hingga jauh meliputi daerah Banjarmasin, Banjarbaru, Sampit, Balikpapan, Madiun, Demak, Semarang, Temanggung, Solo. Yogyakarta, Kulon Progo, dan Kebumen,
“Hasil pemodelan tsunami BMKG menunjukan bahwa Gempa Bawean tersebut tidak berpotensi tsunami. Data lapangan hasil monitoring muka laut dengan menggunakan Tide Gauge milik Badan Informasi Geospasial (BIG) di Karimunjawa, Lamongan, dan Tuban menunjukkan muka laut yang normal tanpa ada anomali catatan tsunami,”paparnya.
Sehingga tampaknya gempa magnitudo M6,5 belum dapat menimbulkan deformasi dasar laut yang dapat mengganggu kolom air laut, disamping mekanisme sumber gempanya yang berupa sesar geser/mendatar tidak produktif dalam membangkitkan tsunami.
Lebih lanjut, Daryono mengungkapkan gempa Bawean berpusat di zona aktivitas kegempaan rendah (low seismicity).
Atas hal itu, Daryono mengatakan masyarakat awam menilai Gempa Bawean sebagai “gempa tidak lazim”, karena terjadi di wilayah yang jarang terjadi gempa dangkal.
“Selama ini wilayah Laut Jawa lazimnya menjadi episenter gempa-gempa hiposenter dalam (deep focus) akibat deformasi slab Lempeng Indo-Australia yang tersubduksi di bawah Lempeng Eurasia tepatnya di bawah Laut Jawa dengan kedalaman sekitar 500-600 km,”ujar dia.
Fakta lain yang terungkap, kata Daryono, bahwa gempa Bawean berpusat di zona Sesar Tua Pola Meratus. Menurut dia, wilayah Laut Jawa utara Jawa Timur secara geologi dan tektonik berada pada zona Sesar Tua Pola Meratus yang mengindikasikan keberadaan jejak sesar-sesar/patahan yang berusia tua.
“Gempa Bawean membuktikan bahwa ternyata jalur sesar di Laut Jawa masih aktif, sekaligus menjadi pengingat kita untuk selalu waspada terhadap keberadaan sesar aktif dasar laut yang jalurnya dekat Pulau Bawean yang berpenduduk. Gempa dapat berulang dan terjadi kapan saja,”jelasnya.
Meskipun termasuk dalam zona kegempaan rendah, Daryono mengatakan Laut Jawa utara Jawa Timur tetap memiliki potensi gempa karena secara geologi dan tektonik terdapat jalur Sesar Tua Pola Meratus.
“Sulit untuk mengatakan sebuah zona sesar tua (sutur) disebut stabil dan aman dari gempa, karena sudah banyak bukti aktivitas gempa yang terjadi di zona stabil dimana terdapat sutur, contohnya di Benua Australia, USA. Meskipun masih dalam perdebatan terkait “residual stress” tetapi fakta menunjukkan bahwa bahwa zona stabil masih bisa terjadi gempa dimana energi gempa sangat mungkin terbangun dari super slow stress accumulation,”jelasnya.
Dipicu reaktivasi sesar tua
Fakta lain dari aktivitas kegempaan ini menurut Daryono adalah episenter Gempa Bawean ternyata terletak tepat di jalur sesar yang sudah terpetakan.
“Jika mencermati lokasi pusat Gempa Bawean, tampak episenternya terletak tepat pada jalur Sesar Muria (Laut) menurut paper yang dipublikasikan Peter Lunt (2019). Jalur sesar ini berada di zona Sesar Tua Pola Meratus. Salah satu jalur sesar di zona Pola Meratus ini diduga mengalami reaktivasi dan memicu gempa,”jelasnya.
Fakta lain yang terungkap, kata Daryono, adalah fakta gempa Bawean memiliki “susulan” dengan magnitudo lebih besar (M6,5) dari gempa pertama (M5,9).
Menurut Daryono, hal ini bisa terjadi karena asperity (bidang bakal geser di bidang sesar) yang ukurannya lebih besar (M6,5) mengalami pecah belakangan, salah satunya karena dipicu tekanan dari gempa pertama (M5,9) dengan aspertity yang ukurannya relatif lebih kecil.
Selain itu, bidang sesar yang pecah pertama kali (first rupture) adalah asperity pada struktur batuan yang lebih lemah, sehingga mengalami pecah duluan sebagai gempa pembuka (foreshock).
“Gempa Bawean adalah gempa susulan cukup banyak. Hal ini disebabkan karakteristik gempa kerak dangkal di Bawean terjadi pada batuan kerak bumi permukaan yang batuannya bersifat heterogen sehingga mudah rapuh patah,”jelas dia.
Menurut Daryono, gempa Bawean berbeda dengan gempa kerak samudra yang batuan bersifat homogen dan elastik sehinga biasanya miskin gempa susulan bahkan terkadang tidak diikuti gempa susulan meskipun magnitudo gempanya cukup besar.
“Gempa susulan lazim terjadi pasca terjadi gempa kuat dan bukan untuk ditakuti. Banyaknya gempa susulan justru dapat memberi informasi peluruhan gempa sehingga kita dapat mengestimasi kapan berakhirnya gempa susulan,”tukasnya.
Hingga saat ini, berdasarkan Hasil monitoring BMKG hingga Senin pagi pukul 06.00 WIB tercatat sebanyak 239 kali gempa, dengan frekuensi kejadian yang semakin jarang.
“Jika hari Jumat (22/3) dalam satu jam dapat terjadi 19 kali gempa, maka data terkini Minggu (24/3) menunjukkan dalam 1 jam terjadi 2-3 kali gempa. Semoga kondisi tektonik sumber gempa di Bawean segera stabil dan aman kembali,”papar Daryono.
Menurut dia, gempa Bawean menambah catatan gempa kuat di Laut Jawa. Dimana sejarah gempa kuat di Laut Jawa tidak banyak, hanya 4 kali yaitu pada 1902, 1939, 1950 dan terkini 2024.
“Gempa Bawean memberi pelajaran penting, ancaman gempa merusak di Jawa Timur tidak hanya berasal dari selatan yaitu sumber gempa subduksi lempeng/megathrust dan sesar-sesar aktif di daratan, tetapi ternyata juga dari sumber-sumber gempa di Laut Jawa di utara Jawa Timur,”pungkasnya.