Pacitanku.com, PACITAN — Kecamatan Tegalombo sukses tampil apik dalam Festival Ronthek Pacitan 2025 dengan mengusung tema “Murwokolo” pada Minggu (6/7/2025) atau hari ke-2 Festival Ronthek Pacitan.
Partisipasi ini bukan sekadar ajang unjuk kebolehan seni, melainkan wujud tradisi tahunan masyarakat setempat untuk membersihkan diri dari “sengkala” atau hal-hal negatif yang diyakini mengganggu kehidupan desa.
Camat Tegalombo, Edi Wasono, menjelaskan bahwa “Murwokolo” secara harfiah bermakna menghilangkan “sengkala” atau kotoran-kotoran yang melekat.
Pemilihan tema ini dinilai sangat relevan karena bertepatan dengan momen bersih desa dan bulan Suro, yang merupakan waktu sakral untuk penyucian diri dan lingkungan.
Pertunjukan yang akan disajikan oleh Kecamatan Tegalombo menggambarkan narasi pembersihan desa yang mendalam.

Kisah dimulai ketika desa dihadapkan pada suatu halangan atau “sengkala”, yang kemudian secara simbolis dibersihkan melalui serangkaian ritual. Prosesi ini adalah bentuk permohonan agar desa terhindar dari marabahaya, diwujudkan melalui ikhtiar sedekah bumi.
Puncaknya, setelah proses pembersihan selesai, suasana berubah menjadi “Suka Pari Suka” —penuh kebahagiaan dan kegembiraan— yang direpresentasikan dengan tarian Gambyong sebagai wujud syukur atas kembalinya kehidupan normal.
Tahun ini, penampilan Tegalombo memiliki daya tarik tersendiri berkat kolaborasi unik antara siswa SMA dan warga Desa Gemaharjo.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang didominasi oleh anak sekolah, perpaduan generasi muda dan masyarakat desa ini menciptakan sinergi apik dalam melestarikan budaya. Sinergi ini terjalin erat karena lokasi SMA yang berada di Desa Gemaharjo.
Tim Tegalombo telah menjalani latihan padat selama tiga minggu untuk menampilkan yang terbaik. Meski menghadapi kendala dalam mencari individu yang berjiwa seni dan waktu persiapan yang singkat, semangat pantang menyerah tetap membara.
“Kendala banyak yang jelas waktunya terlalu cepat. Kemudian kita juga mencari orang yang berjiwa seni memang sulit karena tiap tahun selalu nol, pemainnya kan berganti-ganti. Tiap tahun selalu nol lagi, nol lagi. Kalau sudah bergilir ke desa lain kan nol, inilah yang menyulitkan kita,” papar Edi.
Properti utama yang digunakan dalam pertunjukan adalah replika gunung, sebuah simbol kuat bagi identitas Tegalombo.
Properti ini tidak hanya menggambarkan kondisi geografis daerah yang didominasi pegunungan, tetapi juga merepresentasikan setiap “sengkala” atau kesulitan yang mungkin dihadapi masyarakat di daerah tersebut.
“Ini menggambarkan sebuah gunung. Kita kan daerah pegunungan, karena kita itu memang tinggal di daerah gunung-gunung dengan sengkolo masing-masing, kesulitan masing-masing. Kita ambil secara keseluruhan karena di daerah Tegalombo itu semuanya gunung-gunung, jadi kita gambarkan dengan gunung ini,” jelas Edi.
Edi berharap kolaborasi ini dapat menjadi tradisi positif yang berkelanjutan.
“Ini jadi budaya yang baik, dan kemudian ini sudah membudaya yang namanya bersih desa tiap tahun diadakan oleh desa,” pungkasnya.
Dia menambahkan bahwa pemilihan nama “Murwokolo” yang unik, meski setiap desa memiliki tradisi bersih desa atau sedekah buminya sendiri, semakin memperkuat identitas dan harapan agar tradisi ini terus lestari serta dikenal luas.