Perempuan Menyemai Perubahan dari Desa; Sebuah Refleksi

oleh -126 Dilihat
Foto ilustrasi kartini masa kini. (Foto: Dok. Freepik)

Oleh : Sulis Styorini,S.Pd.,M.Si.*

Setiap tanggal 21 April, Indonesia memperingati Hari Kartini, sebuah momen refleksi atas perjuangan Raden Ajeng Kartini dalam memperjuangkan emansipasi perempuan. Di tengah gemerlap modernitas dan tantangan zaman, semangat Kartini tetap relevan, terutama bagi perempuan pedesaan yang menjadi tulang punggung komunitas mereka. Di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, perempuan pedesaan menghadapi peluang besar untuk menggerakkan pembangunan, namun juga berhadapan dengan berbagai hambatan. Bagaimana peluang dan tantangan yang mereka hadapi? Apa makna Hari Kartini bagi perempuan perdesaan? Tulisan ini mengeksplorasi inisiatif pemberdayaan dalam konteks lokal Pacitan, sambil merangkai narasi tentang bagaimana perempuan desa dapat menyemai perubahan.

Warisan Kartini: Inspirasi untuk Perdesaan

Raden Ajeng Kartini, yang lahir pada 1879 di Jepara, Jawa Tengah, adalah pelopor emansipasi perempuan Indonesia. Melalui surat-suratnya yang termuat dalam Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini menyuarakan pentingnya pendidikan, kesetaraan gender, dan kebebasan perempuan dari belenggu tradisi, seperti pernikahan dini. Ia memimpikan dunia di mana perempuan dapat berkarya setara dengan laki-laki, sebuah visi yang tetap relevan hingga kini. Hari Kartini, yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden No. 108 Tahun 1964, menjadi simbol perjuangan ini.

Bagi perempuan perdesaan, semangat Kartini adalah panggilan untuk memperjuangkan hak mereka dan berkontribusi pada pembangunan. Seperti disampaikan dalam artikel dari Universitas Ahmad Dahlan, Hari Kartini adalah momentum untuk “menyusun kembali makna” emansipasi dalam konteks modern, termasuk di desa-desa (Menyusun Kembali Makna Hari Kartini). Di perdesaan, ini berarti melawan stereotip gender, meningkatkan keterampilan, dan memanfaatkan peluang yang ada untuk mengangkat martabat perempuan lain.

Potret Tenaga Kerja di Pacitan: Peluang dan Realitas

Kabupaten Pacitan, dengan mayoritas penduduknya tinggal di perdesaan, mencerminkan dinamika perempuan di desa. Data Badan Statistik Agustus 2024, jumlah angkatan kerja di Pacitan mencapai 419,72 ribu orang, meningkat 25,01 ribu orang dibandingkan Agustus 2023. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) mencapai 86,62%, naik 4,98% dari tahun sebelumnya, menunjukkan keterlibatan masyarakat, termasuk perempuan, dalam dunia kerja yang semakin meningkat.

Dari total tenaga kerja, 413,19 ribu orang bekerja, dengan distribusi sektor pertanian 50,81%, sector jasa 33,26% dan sector manufaktur 15,93% tenaga kerja.

Namun, realitas menunjukkan bahwa 78,14% pekerja berada di sektor informal, yang seringkali minim jaminan sosial, upah layak, atau perlindungan hukum. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 1,56%, dengan lulusan perguruan tinggi memiliki TPT tertinggi (3,38%), diikuti lulusan SMA (2,74%). Data ini mencerminkan tantangan besar bagi perempuan pedesaan, yang banyak terlibat di sektor informal, untuk mengakses pekerjaan formal dan memanfaatkan pendidikan tinggi. Di sisi lain, peningkatan TPAK menunjukkan adanya peluang bagi perempuan untuk terlibat lebih aktif dalam ekonomi lokal.

Peluang bagi Perempuan Perdesaan: Menyemai Harapan

Perempuan perdesaan di Pacitan memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan. Beberapa bidang utama di mana mereka dapat berkontribusi diantaranya adalah

1. Ekonomi dan Kewirausahaan

Sektor pertanian, yang menyerap 50,81% tenaga kerja, adalah tulang punggung ekonomi Pacitan. Perempuan dapat berinovasi melalui agribisnis, seperti mengolah produk pangan lokal menjadi makanan kemasan atau kerajinan berbasis bahan pertanian. Selain itu, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta Koperasi Desa menawarkan peluang bagi perempuan untuk menjadi pengusaha. Program Dana Desa, yang dialokasikan untuk pembangunan lokal, dapat dimanfaatkan untuk mendanai pelatihan kewirausahaan atau modal usaha perempuan (KUR).

2. Pendidikan dan Pencerahan

Perempuan dapat berperan dalam mencerdaskan anak-anak melalui pendidikan formal, informal, dan nonformal. Program nasional seperti Makanan Bergizi Gratis (MBG) membuka peluang bagi perempuan untuk terlibat dalam distribusi makanan dan edukasi gizi, sekaligus mendukung sekolah rakyat. Di desa, perempuan juga dapat menjadi fasilitator kelompok belajar atau tutor bagi sebayanya dan anak-anak yang membutuhkan bimbingan.

3. Pemerintahan Desa

Semakin banyak perempuan yang menjabat sebagai aparatur desa di Pacitan, mencerminkan peningkatan kepemimpinan perempuan. Peran ini memungkinkan mereka memengaruhi kebijakan lokal, seperti alokasi anggaran untuk program pemberdayaan perempuan atau perlindungan anak. Keberadaan perempuan dalam pemerintahan desa juga menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk melihat kepemimpinan tanpa batas gender.

4. Sosial dan Kesehatan

Perempuan pedesaan dapat menjadi fasilitator pemberdayaan masyarakat, pendamping Program Keluarga Harapan (PKH), atau penyuluh kesehatan. Peran ini krusial dalam mengurangi angka stunting, yang masih menjadi tantangan di Pacitan. Sebagai penyuluh kesehatan, perempuan dapat meningkatkan kesadaran tentang kesehatan reproduksi, gizi anak, dan pencegahan penyakit.

Inisiatif pemerintah, seperti Pelayanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak (PATBM) dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), mendukung pemberdayaan perempuan di tingkat desa (Program Unggulan KemenPPPA). Program Pusat Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak (PUSPA) juga memberikan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas perempuan. Selain itu, program lokal di Pacitan, seperti pelatihan keterampilan oleh dinas terkait, dapat menjadi jembatan bagi perempuan untuk mengakses peluang ekonomi.

Tantangan yang Menghadang

Meskipun peluang ada, perempuan perdesaan menghadapi sejumlah tantangan yang kompleks, yang jika tidak diatasi, dapat menghambat potensi mereka:

1. Akses Terbatas ke Pendidikan dan Pelatihan

Banyak perempuan perdesaan hanya memiliki pendidikan dasar baik SD maupun SMP, dan akses ke pelatihan keterampilan, terutama di bidang teknologi dan kewirausahaan, masih terbatas. Hal ini membuat mereka sulit bersaing di pasar kerja formal atau mengembangkan usaha yang inovatif.

2. Dominasi Sektor Informal

Dengan 78,14% tenaga kerja berada di sektor informal, perempuan sering bekerja sebagai buruh tani, pedagang kecil, atau pekerja rumahan tanpa jaminan sosial. Kondisi ini memperparah kerentanan ekonomi mereka, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi dewasa ini.

3. Beban Ganda dan Norma Budaya

Perempuan perdesaan sering menanggung beban ganda, yakni tanggung jawab rumah tangga dan pekerjaan. Norma budaya yang masih kental di desa, seperti anggapan bahwa perempuan harus fokus pada urusan domestik, membatasi mobilitas dan partisipasi mereka di ruang publik. Seperti disoroti dalam artikel Kompas, diskriminasi terhadap perempuan pedesaan masih terjadi dalam akses pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi (3 Masalah Diskriminasi Perempuan Pedesaan).

4. Kesenjangan Pendidikan dan Pekerjaan

Tingkat pengangguran yang lebih tinggi di kalangan lulusan perguruan tinggi (3,38%) menunjukkan kesenjangan antara pendidikan dan peluang kerja di desa. Banyak lulusan terdidik kesulitan menemukan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka, sehingga memilih migrasi ke kota atau bekerja di sektor informal.

5. Akses Informasi dan Teknologi

Perempuan pedesaan sering kali tidak memiliki akses memadai ke informasi tentang program pemberdayaan atau teknologi digital. Dalam era digital, keterbatasan ini menghambat mereka untuk memasarkan produk UMKM secara online atau mengikuti pelatihan daring.

Makna Hari Kartini: Panggilan untuk Bertindak

Hari Kartini bukan sekadar peringatan seremonial, melainkan panggilan untuk bertindak. Bagi perempuan perdesaan, Hari Kartini memiliki makna mendalam yang dapat diterjemahkan dalam beberapa aspek:

1. Pemberdayaan Diri melalui Pendidikan

Kartini menekankan pendidikan sebagai kunci emansipasi. Perempuan perdesaan harus memanfaatkan peluang pelatihan dan pendidikan, seperti yang ditawarkan oleh program PUSPA atau inisiatif lokal, untuk meningkatkan keterampilan mereka. Dengan keterampilan yang memadai, mereka dapat mengakses peluang ekonomi yang lebih baik, seperti mengelola UMKM atau menjadi fasilitator pemberdayaan masyarakat.

2. Solidaritas Perempuan

Hari Kartini mengajak perempuan untuk saling mendukung. Di desa, ini dapat diwujudkan melalui pembentukan kelompok UMKM, komunitas belajar, atau forum diskusi untuk berbagi pengalaman dan solusi. Solidaritas ini penting untuk mengatasi tantangan bersama, seperti diskriminasi gender atau beban ganda. Seperti kata Kartini, “Banyak hal yang bisa menjatuhkanmu, tetapi satu-satunya yang benar-benar menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri.” Solidaritas dapat menjadi kekuatan untuk bangkit bersama.

3. Kontribusi pada Pembangunan Desa

Perempuan pedesaan harus melihat diri mereka sebagai agen perubahan. Baik melalui peran di UMKM, pendidikan, kesehatan, atau pemerintahan desa, mereka dapat mendorong kemajuan komunitas. Seperti disampaikan dalam artikel Indonesia Baik, Kartini menginspirasi perempuan untuk berani bermimpi dan berkarya (Makna Perjuangan Kartini). Di Pacitan, ini berarti memanfaatkan Dana Desa untuk program pemberdayaan perempuan atau mendukung inisiatif seperti MBG untuk meningkatkan gizi anak.

4. Melawan Stereotip Gender

Hari Kartini adalah pengingat untuk melawan stereotip yang membatasi perempuan. Di pedesaan, ini berarti menantang anggapan bahwa perempuan hanya cocok untuk urusan domestik. Dengan mengambil peran kepemimpinan atau berwirausaha, perempuan dapat membuktikan bahwa mereka mampu berkontribusi setara dengan laki-laki.

Hari Kartini juga mengingatkan perempuan pedesaan untuk memanfaatkan program pemerintah dan inisiatif lokal. Dana Desa, misalnya, dapat digunakan untuk mendanai pelatihan kewirausahaan perempuan, sementara program MBG membuka ruang untuk edukasi gizi. Dengan semangat Kartini, perempuan perdesaan dapat melangkah lebih jauh, tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk komunitas mereka.

Langkah ke Depan: Membangun Masa Depan yang Inklusif

Untuk mewujudkan potensi perempuan perdesaan, sejumlah langkah strategis perlu diambil:

1. Pelatihan Keterampilan Digital; Dalam era digital, perempuan perdesaan perlu dilatih dalam keterampilan digital, seperti pemasaran online atau penggunaan aplikasi keuangan. Pelatihan ini dapat membantu mereka memasarkan produk UMKM secara lebih luas atau mengakses informasi tentang peluang kerja.

2. Peningkatan Akses Pendidikan; Beasiswa, program pendidikan nonformal, dan kelompok belajar dapat membantu perempuan muda di desa melanjutkan pendidikan mereka. Pendidikan adalah kunci untuk memutus siklus kemiskinan dan meningkatkan daya saing.

3. Dukungan untuk Pekerjaan Formal; Insentif bagi perusahaan lokal untuk mempekerjakan perempuan dalam posisi formal dapat mengurangi dominasi sektor informal. Selain itu, pemerintah dapat mendorong koperasi desa untuk memberikan jaminan sosial bagi anggotanya.

4. Kampanye Kesetaraan Gender; Sosialisasi di tingkat desa, melalui tokoh agama atau komunitas, dapat mengubah norma budaya yang membatasi perempuan. Kampanye ini harus melibatkan laki-laki untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kesetaraan.

5. Peningkatan Akses Informasi; Pemerintah daerah dapat memanfaatkan teknologi, seperti radio komunitas atau grup WhatsApp, untuk menyebarkan informasi tentang program pemberdayaan. Pusat informasi di desa juga dapat menjadi solusi untuk menjangkau perempuan di daerah terpencil.

Penutup; Menyemai Perubahan dari Desa

Hari Kartini adalah pengingat bahwa perjuangan untuk kesetaraan gender belum usai, terutama di pedesaan. Di Pacitan, perempuan memiliki peluang besar untuk berkontribusi pada ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan pemerintahan desa. Namun, tantangan seperti akses pendidikan terbatas, dominasi pekerjaan informal, beban ganda, dan norma budaya harus diatasi melalui kerja sama antara pemerintah, komunitas, dan perempuan itu sendiri.

Bagi perempuan pedesaan, Hari Kartini seharusnya dimaknai sebagai panggilan untuk pemberdayaan diri, solidaritas, dan kontribusi aktif dalam pembangunan. Dengan semangat Kartini, mereka dapat menjadi pendorong perubahan, menyemai harapan di desa-desa mereka. Seperti kata Kartini, “Habis gelap terbitlah terang” – dan perempuan pedesaan adalah cahaya yang siap menerangi masa depan Indonesia.

*Penulis adalah Ketua KPU Pacitan periode 2019-2024 serta pemerhati masalah sosial, Pendidikan, perempuan dan anak.

Lihat juga berita-berita Pacitanku di Google News, klik disini.

No More Posts Available.

No more pages to load.