Tetaken, Upacara Bersih Desa Khas Kebonagung

oleh -0 Dilihat
upacara adat tetaken (foto by doc humas Pemkab Pacitan)
upacara adat tetaken (foto by doc humas Pemkab Pacitan)

Pacitanku.com, KEBONAGUNG—Upacara tetaken ini adalah satu bentuk upacara tradisional, dimana masyarakat sekitar Gunung Limo masih menganggap memiliki nilai magis, sehingga diwujudkan dengan bentuk upacara atau ritual di daerah tersebut. Upacara ini dilaksaakan masyarakat Gunung Limo setiap tanggal 15 Muharram/Suro.

Tetaken adalah tradisi khas masyarakat kaki Gunung Lima yang masih terpelihara sampai sekarang. Tetaken berasal dari bahasa Sansekerta: teteki. Artinya: pertapaan. Tak heran, suasana religius yang kental namun sederhana menandai rangkaian ritual ini.

Ritual ini merupakan upacara “bersih desa” yang kini dijadikan agenda tahunan wisata budaya di daerah ini. Upacara berbentuk ritual ini sudah turun temurun dilaksanakan masyarakat di lereng Gunung Limo, tepatnya berada di Desa Mantren Kecamatan Kebonagung, Pacitan. Ritual upacara Tetaken ini merupakan upacara bersih desa atau sedekah bumi.

Model dari ritual ini adalah ketika sang juru kunci Gunung Lima, Somo Sogimun, turun gunung. Bersama 16 anak buahnya, yang sekaligus murid-muridnya. Mereka baru selesai menjalani tapa di puncak gunung dan akan kembali ke tengah masyarakat.

Namun, tetaken adalah acara pembuka rangkaian acara berikutnya. Sebab, tak lama setelah itu, iring-iringan besar warga muncul, memasuki areal upacara. Mereka mengenakan pakaian adat Jawa. Barisan paling depan adalah pembawa panji dan pusaka Tunggul Wulung: dua keris, satu tombak, dan Kotang Ontokusumo. Selain membawa berbagai hasil bumi dan keperluan ritual (tumpeng dan ingkung, misalnya), di baris terakhir beberapa orang tampak membawa bumbung (wadah air dari bambu) berisi legen atau nira.

Selanjutnya, secara bergilir, para murid tersebut menghadapi tes mental dengan penguasaan ilmu bela diri, serta kadang – kadang mendapatkan cambukan. Prosesi tersebut  bermakna bahwa tantangan bagi pembawa ajaran kebaikan tidaklah ringan, harus menghadapi ujian dan rintangan yang berat. Namun semua akhirnya dapat diatasi, dan pada akhirnya kebaikan mampu mengalahkan kejahatan.

Pada akhir acara, semua warga melakukan tarian bersama Langen Bekso dengan cara berpasangan. Tua muda. Laki-laki dan perempuan larut dalam kegembiraan. Gending-gending Jawa mengiringi setiap gerak langkah mereka. Kegembiraan masyarakat bertambah karena hasil panen di bumi Desa Mantren yang melimpah untuk kesejahteraan masyarakatnya. (Dep/Pct)

Sumber : sastra-Indonesia