Pacitanku.com, PACITAN – Selama tiga malam berturut-turut, denyut kehidupan kota Pacitan seakan menyatu dalam harmoni tradisi dan kreativitas melalui pergelaran akbar Festival Ronthek 2025.
Ribuan pasang mata, termasuk Hasna Rafida Sari, seorang penikmat budaya yang hadir langsung, menjadi saksi bagaimana sebuah tradisi sederhana mampu bertransformasi menjadi pertunjukan yang megah tanpa kehilangan jiwanya.
Festival ini sukses memikat hati penonton dan membuktikan bahwa Ronthek lebih dari sekadar hiburan tahunan.
Ronthek adalah wujud nyata dari semangat kolektif warga Pacitan dalam merawat dan merayakan warisan budaya leluhur.
“Rasanya ini lebih dari sekadar tontonan, sebuah pengalaman yang jauh melampaui ekspektasi,” ungkap Hasna Rafida Sari saat ditemui di sela-sela kemeriahan acara.
Hasna juga menuturkan kekagumannya pada setiap kelompok yang tampil dengan karakter yang begitu kuat.
“Bukan hanya soal kostum atau properti, tetapi juga tentang bagaimana mereka membawakan energi dan cerita melalui musik dan gerak,” imbuhnya.
Berawal dari alat ronda sederhana berbahan dasar bambu, Ronthek telah berevolusi menjadi sebuah pertunjukan kolosal di ruang publik.
Namun, di tengah kemegahannya, ruh dan akar budaya lokalnya tetap terjaga. Inilah yang menurut Hasna menjadi daya magis utama dari festival tersebut.
“Saya terkesan bagaimana Ronthek yang dulunya alat ronda dari bambu bisa berkembang jadi pertunjukan megah tanpa kehilangan akar tradisinya. Justru ketika nilai lokal tetap dijaga, di situlah magisnya muncul,” tutur Hasna.
Selama tiga malam, jalanan utama kota Pacitan berubah menjadi panggung terbuka yang semarak.
Para peserta menampilkan totalitas dan kreativitas tanpa batas melalui aransemen musik yang memukau, koreografi yang dinamis, kostum yang memanjakan mata, hingga kendaraan hias yang spektakuler. Setiap malam, menurut Hasna, menyajikan ciri khas dan meninggalkan kesan mendalam yang berbeda.
“Malam-malam kemarin tak hanya meriah, tetapi juga hangat karena saya melihat sendiri bagaimana warga Pacitan benar-benar hidup bersama festival ini, bukan sekadar menjadi penonton,” katanya.
Hasna juga merasakan getaran haru yang ia sebut sebagai bentuk cinta tulus terhadap kearifan lokal (local wisdom) yang terus dijaga.
Lebih dari itu, Festival Ronthek berhasil menjadi ruang pemersatu berbagai lapisan masyarakat. Generasi muda hingga orang tua, seniman tradisional hingga inovator lokal, semuanya larut dalam kebersamaan.
“Selama tiga malam, jalanan kota berubah menjadi panggung terbuka yang menyatukan: antara yang muda dan tua, antara tradisi dan kreasi. Saya bersyukur bisa menikmati semua ini secara langsung,” ucap Hasna.
Di akhir perbincangan, ia menitipkan harapan besar agar Festival Ronthek Pacitan terus tumbuh dan berkembang tanpa tercabut dari akarnya.
“Semoga Festival Ronthek terus tumbuh, tetap membumi, tetap milik kita—dan bisa melangkah ke panggung dunia tanpa kehilangan jiwanya,” tutupnya.