Pacitanku.com, NGADIROJO — Gelaran Kirab Pusaka CIS Ki Wonopolo dalam Festival Kapyuran di Ngadirojo, Pacitan, pada Sabtu (5/7/2025) menjadi lebih dari sekadar perayaan budaya.
Acara ini juga menjelma momen refleksi atas jejak sejarah panjang yang mengikat wilayah ini dengan kisah-kisah besar Tanah Jawa.
Istini, yang ayahnya adalah keturunan ke-9 dari Ki Wonopolo, berbagi kisah mendalam tentang leluhurnya yang bukan hanya tokoh lokal biasa.
Istini mengawali kisahnya dengan menuturkan bahwa Ki Wonopolo adalah menantu dari Kyai Bandung. Kyai Bandung sendiri merupakan tokoh dari Bandung, Jawa Barat, yang hijrah karena sengketa takhta kerajaan.
Di Jawa Timur, Kyai Bandung bertemu dengan Sanjoyo Rangin, yang juga mengalami kekecewaan atas pewarisan di Kerajaan Mataram. Keduanya kemudian bersepakat untuk mengabdikan diri kepada Batoro Katong, penguasa Ponorogo kala itu.
Batoro Katong menugaskan Kyai Bandung dan Sanjoyo Rangin untuk membuka lahan hutan di daerah Lorok.
“Asalnya dinamakan Lorok karena kayu-kayu di sana dilorokkan (dipindahkan) akibat kondisi rawa-rawa,” jelas Istini.
Karena Kyai Bandung sudah sepuh, ia menikahkan putrinya dengan Putra Kyai Klesem, yang kemudian dikenal sebagai Ki Wonopolo.
Ki Wonopolo selanjutnya ditugaskan untuk meneruskan pembukaan lahan ke wilayah selatan, meliputi Panggul, Hadiwarno, hingga Wiyoro—sebuah nama yang menurut Istini berasal dari pesan Kyai Bandung agar Ki Wonopolo “telaten membabat tanah itu, Joyo Joyo Wiyaru,” berarti berjaya dalam membuka lahan.
Suatu ketika, Ki Wonopolo, yang dikenal cakap dan mampu, kerap mewakili Kyai Bandung menghadap Batoro Katong. Hal ini menimbulkan kesalahpahaman di benak Batoro Katong.
“Apa Mbah Bandung tidak punya anak laki-laki?” tanya Batoro Katong, yang dijawab “tidak” oleh Ki Wonopolo.
Merasa malu karena telah berdusta, Ki Wonopolo tidak kembali ke mertuanya. Ia kemudian singgah di puncak Desa Nogosari, tepatnya di Mukus, yang kemudian dikenal sebagai Kemukus karena kepulan asap (kukus) yang terlihat dari jauh.
Lahirnya Sumber Kapyuran: Simbol Pertobatan dan Pengabdian
Setelah bertemu istrinya, Ki Wonopolo memutuskan mencari tempat yang lebih datar. Mereka mendapati daerah yang masih berupa rawa, tempat tanaman sulit tumbuh subur.
Dalam keputusasaan, Ki Wonopolo mengajak istrinya bertobat kepada Allah SWT di puncak gunung. “Ya Allah, saya bertobat. Mohon berikan keluarga saya hidup sesuai dengan perintah-Mu,” ucapnya kala itu.
Perjuangan mendapatkan air menjadi titik balik penting. Istri Ki Wonopolo harus turun gunung hingga Bedali hanya untuk mengambil air dengan keranjang arang-arangan yang ditutup daun sente.
Melihat penderitaan istrinya, Ki Wonopolo kembali berdoa dan berikhtiar. Ia menusukkan pusaka CIS, yang selalu dibawanya sejak awal pembukaan tanah Lorok, ke tanah.
Setelah beberapa kali mencoba di berbagai titik, akhirnya, pusaka CIS ditusukkan di atas batu, dan air pun memancar deras, mengeluarkan suara “pyur, kapyur-kapyur.” Dari sinilah nama Kapyuran berasal.
“Perjalanan mendapatkan air itu adalah ikhtiar Ki Wonopolo setelah bertobat, demi membahagiakan keluarganya agar bisa berwudu dan memasak dengan tenteram,” imbuh Istini.
Air dari sumber Kapyuran ini masih memancar hingga kini, memberikan manfaat besar bagi masyarakat sekitar.
Warisan Pusaka dan Nilai Luhur Ki Wonopolo
Melalui kirab ini, keturunan Ki Wonopolo berharap masyarakat, khususnya generasi muda, dapat mengingat dan melestarikan sejarah luhur ini, sekaligus meningkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT.
“Semoga anak cucu mengingat apa yang dikehendaki Allah sesuai dengan yang dilakukan Ki Wonopolo, yaitu bertobat sungguh-sungguh untuk kebahagiaan keluarganya,” harap Istini.
Sebagai keturunan langsung, Istini juga menginformasikan bahwa Ki Wonopolo meninggalkan beberapa pusaka berharga.
Di antaranya adalah Cis, senjata yang digunakan untuk menancapkan ke batu hingga keluar air; Tutih, benda berbentuk pisau melengkung yang kemungkinan digunakan untuk membersihkan atau menangkal hal-hal angker; dan Sangkal Putung, alat pengobatan patah tulang yang hanya diolesi minyak kelapa lalu diurutkan, disiapkan untuk mengatasi musibah selama perjalanan membabat tanah.
Selain itu, Ki Wonopolo juga memiliki doa-doa penangkal hujan, sebuah ilmu yang memiliki syarat tertentu.
Keberadaan pusaka-pusaka ini, yang diwariskan kepada keturunan dari garis laki-laki—yaitu kakek Istini—menjadi bukti nyata perjalanan dan perjuangan Ki Wonopolo.
Diperkirakan, periode hidup Ki Wonopolo sejalan dengan masa pemerintahan Hamengkubuwono I hingga Hamengkubuwono IX, mengingat kisah yang disebutkan dalam riwayat.
Kirab Pusaka CIS Ki Wonopolo bukan sekadar perayaan, melainkan pengingat akan nilai-nilai ketabahan, pengabdian, dan pertobatan yang diwariskan oleh leluhur, yang hingga kini masih mengalirkan keberkahan bagi masyarakat Ngadirojo.