Pacitanku.com, NGADIROJO – Ratusan warga tumpah ruah di Desa Ngadirojo, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan, pada Sabtu (5/7/2025) memadati puncak Festival Kapyuran.
Perhelatan akbar dua tahunan yang menjadi bagian dari agenda bersih desa ini dimeriahkan dengan gelaran Kirab Pusaka CIS Ki Wonopolo, sebuah tradisi sarat makna yang berupaya melestarikan sejarah dan budaya leluhur, khususnya mengenang jasa besar Ki Wonopolo.
Tri, salah seorang panitia pelaksana, menjelaskan bahwa kirab ini bukan sekadar perayaan biasa, melainkan sebuah ikhtiar untuk melestarikan “babat leluhur” Ki Wonopolo.
Baca juga: Lomba Tembang Jawa Meriahkan Festival Kapyuran di Ngadirojo
Sosok Ki Wonopolo dikenal memiliki pusaka CIS, sumber air, dan makam yang tersebar di wilayah tersebut.
“Rangkaian kirab didesain berupa festival yang sebelumnya didahului dengan berbagai macam lomba sehingga lebih banyak masyarakat yang terlibat,” ujar Tri.

Prosesi kirab dimulai dengan khidmat dari makam Ki Wonopolo. Pusaka CIS yang disakralkan diserahkan dari juru kunci kepada keturunan Ki Wonopolo, kemudian kembali diserahkan kepada Kepala Desa Ngadirojo.
Dari sana, pusaka tersebut dikirab menuju Balai Desa Ngadirojo. Antusiasme warga begitu meluap, baik dari dalam maupun luar desa, yang berbondong-bondong menyambut dan mengikuti prosesi penuh makna ini sepanjang rute.
Dalam barisan kirab, terlihat para keturunan (trah) Ki Wonopolo membawa aneka jajanan dan buah-buahan.
Sesampainya di balai desa, makanan tersebut dibagikan kepada masyarakat sebagai wujud terima kasih atas dukungan mereka dalam melestarikan budaya lokal.
Tak hanya itu, hadir pula “Panjang Ilang,” sebuah simbol tradisi yang melambangkan syarat dalam menghormati dan memelihara warisan leluhur.
Kepala Desa Ngadirojo, Aris, menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan upaya vital untuk mengenang kembali sejarah perjuangan Ki Wonopolo, seorang pelaku sejarah besar dalam “babat Lorok,” khususnya di Desa Ngadirojo.

“Kami berharap anak-anak dan remaja di Desa Ngadirojo bisa mengenang kembali sejarah perjuangan Ki Wonopolo dan menumbuhkan semangat luar biasa seperti semangat perjuangan beliau,” tutur Aris.
Ki Wonopolo adalah menantu dari Mbah Bandung, yang makamnya berada di Hadiluwih. Kisah perjuangannya dimulai saat ia mendirikan rumah di wilayah Kapyuran, menghadapi ketiadaan air.
Berbekal laku tirakat yang mendalam, ia menancapkan pusaka CIS ke tanah, dan dari situlah air menyembur, menciptakan sumber air Kapyuran yang kini menjadi urat nadi kehidupan bagi masyarakat.
Makna mendalam di balik kirab ini adalah pelestarian sumber air Kapyuran dan mengenang Ki Wonopolo dari sisi kesatria serta semangat perjuangannya yang tak kenal menyerah.
Kegigihannya mengeluarkan air dari tanah demi menghidupi istrinya kini masih dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas.
Sumber air ini dianggap sangat penting karena merupakan hasil tirakat mendalam Ki Wonopolo demi keluarganya dan kesejahteraan masyarakat.
Peserta kirab tampil dengan dua corak pakaian utama yang penuh makna. Para trah Ki Wonopolo mengenakan pakaian berwarna cokelat kehitaman, melambangkan keanggunan, kewibawaan, dan identitas sebagai keturunan langsung.
Sementara itu, sebagian masyarakat lainnya mengenakan pakaian berwarna putih. Pakaian putih ini merefleksikan masa lampau Ki Wonopolo yang juga memiliki pondok untuk mengaji dan kegiatan keagamaan, sehingga masyarakat umum mengenakan pakaian putih sebagai bentuk penghormatan.
“Harapan kami, kegiatan ini terus dilanjutkan sebagai aset desa, aset kabupaten, dan agar anak cucu kita dapat terus melestarikannya,”pungkas Tri.