MK Kabulkan Sebagian Gugatan UU ITE, Batasan Pidana di Ruang Digital Diperjelas

oleh -131 Dilihat
Gedung MK. (Foto: Istimewa)

Pacitanku.com, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari ini membacakan dua putusan penting terkait uji materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) beserta perubahannya.

Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan judicial review yang diajukan, membawa angin segar dalam upaya memperjelas batasan pidana di dunia siber, khususnya terkait penyebaran informasi yang dianggap menimbulkan ‘kerusuhan’ dan ‘ujaran kebencian’.

Dua permohonan uji materi tersebut diajukan oleh pemohon yang berbeda, yakni Jovi Andrea Bachtiar dengan nomor perkara 155/PUU-XXII/2024, dan Daniel Frits Maurits Tangkilisan dengan nomor perkara 105/PUU-XXII/2024.

Jovi Andrea Bachtiar, yang diketahui merupakan mantan jaksa, sebelumnya menjadi perhatian publik terkait kasus unggahan di media sosialnya. Ia dituntut pidana lantaran mengunggah narasi yang menuduh rekan kerjanya menggunakan mobil dinas untuk perbuatan asusila, sebuah kasus yang membuatnya diancam dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE tentang muatan melanggar kesusilaan. Dalam permohonannya ke MK, Jovi mengajukan pengujian terhadap sejumlah pasal dalam UU ITE dan KUHP.

Dalam putusannya terkait permohonan Jovi, MK mengabulkan sebagian pengujian terhadap Pasal 28 Ayat (3) dan Pasal 45A Ayat (3) UU ITE. MK menyatakan bahwa frasa “kerusuhan” dalam kedua pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.

Frasa tersebut dinyatakan konstitusional hanya sepanjang tidak dimaknai “kerusuhan adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber.” Artinya, penyebaran informasi bohong hanya dapat dipidana jika menimbulkan kerusuhan yang secara nyata mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan sekadar hiruk-pikuk di dunia maya. MK beralasan, penafsiran ini penting untuk memastikan kejelasan dalam penegakan hukum.

Meski demikian, permohonan Jovi terkait frasa “dilakukan demi kepentingan umum” dalam Pasal 45 Ayat 2 Huruf a serta frasa “melanggar kesusilaan” dalam Pasal 27 Ayat 1 dan Pasal 45 Ayat 1 UU ITE dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK.

Sementara itu, terkait permohonan Daniel Frits Maurits Tangkilisan, MK juga mengabulkan sebagian pengujian terhadap sejumlah pasal krusial lainnya. Salah satunya adalah terkait Pasal 27A jo. Pasal 45 Ayat 4 UU ITE yang mengatur perbuatan pencemaran nama baik.

MK menyatakan frasa “orang lain” dalam pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai “kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan”. Dengan demikian, pasal ini tidak bisa serta merta diterapkan untuk menyerang entitas-entitas tersebut. Frasa “suatu hal” dalam pasal yang sama juga dinyatakan bertentangan jika tidak dimaknai “suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang”, memberikan batasan jelas mengenai objek pencemaran.

Tak hanya itu, MK juga memberikan penafsiran bersyarat terhadap frasa panjang mengenai penyebaran informasi yang menimbulkan “rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu” dalam Pasal 28 Ayat 2 jo. Pasal 45A Ayat 2 UU ITE, yang seringkali diidentikkan dengan “ujaran kebencian”.

Menurut MK, frasa tersebut bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai “hanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang secara substantif memuat tindakan/penyebaran kebencian berdasar identitas tertentu yang dilakukan secara sengaja dan di depan umum, yang menimbulkan risiko nyata terhadap diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan”. Putusan ini secara signifikan mempersempit cakupan pidana ujaran kebencian, hanya berlaku untuk konten yang memenuhi unsur spesifik tersebut.

Dalam pertimbangannya, MK menekankan pentingnya kejelasan hukum dan kepastian dalam penerapan ketentuan pidana di ruang digital agar tidak multitafsir dan berpotensi membatasi kebebasan berekspresi secara berlebihan.

Keputusan MK ini diharapkan dapat memberikan panduan yang lebih jelas bagi penegak hukum dan masyarakat terkait batas-batas berinteraksi serta berekspresi di ruang digital, sekaligus melindungi hak-hak konstitusional warga negara dari potensi kriminalisasi yang tidak proporsional di bawah UU ITE.

Lihat juga berita-berita Pacitanku di Google News, klik disini.

No More Posts Available.

No more pages to load.