Harga Beras Naik Tajam, Afrika Timur Terancam Krisis Pangan

oleh -12 Dilihat

Pacitanku.com – Krisis baru melanda perdagangan pangan global. Setelah Thailand dan Vietnam resmi melarang ekspor beras sejak awal Mei 2025, negara-negara di Afrika Timur kini menghadapi lonjakan harga pangan yang signifikan.

Di Kenya, Uganda, dan Tanzania, harga beras naik hingga 45 persen dalam tiga minggu terakhir. Di pasar tradisional Nairobi, harga beras melonjak dari Ksh 120 menjadi Ksh 175 per kilogram. Stok beras lokal pun semakin menipis.

Pemerintah Kenya menyebut kondisi ini sebagai alarm keras soal ketahanan pangan. “Ini jadi pengingat penting soal ketergantungan kita yang berlebihan pada satu sumber impor,” ujar juru bicara Kementerian Pertanian Kenya, Senin (2/6).

Impor Terhenti, Harga Melambung

Thailand dan Vietnam merupakan dua eksportir beras terbesar dunia. Namun tahun ini, keduanya mengalami gagal panen akibat kekeringan ekstrem. Pemerintah masing-masing negara pun memprioritaskan kebutuhan dalam negeri dan memberlakukan larangan ekspor sementara.

Akibatnya, negara-negara pengimpor seperti Kenya, yang 70 persen pasokan berasnya berasal dari Asia Tenggara langsung terkena dampaknya. Dr. Asmara Mwacharo, ekonom dari Universitas Nairobi, menilai kondisi ini sebagai konsekuensi dari sistem perdagangan global yang terlalu bergantung pada keunggulan komparatif.

“Kalau tidak ada diversifikasi, kita sangat rentan terhadap gejolak global. Larangan ekspor sepihak seperti ini langsung memukul negara-negara seperti kita,” jelasnya.

Langkah Darurat Pemerintah

Sebagai solusi jangka panjang, Pemerintah Kenya meluncurkan program Rice Kenya 2030. Program ini menargetkan peningkatan produksi beras lokal hingga 50 persen dalam lima tahun ke depan. Langkah-langkah yang akan diambil antara lain pemberian subsidi pupuk dan benih, perluasan irigasi berbasis teknologi, serta kerja sama dengan startup agritech lokal. Pemerintah juga akan merevitalisasi daerah Ahero dan Mwea sebagai lumbung beras nasional.

Strategi ini disebut mirip dengan pendekatan substitusi impor yang dulu dipraktikkan negara-negara Amerika Latin. Namun, ekonom dari Bank Dunia mengingatkan agar langkah tersebut dilakukan secara efisien.

“Tanpa kesiapan infrastruktur dan teknologi, produksi lokal bisa jauh lebih mahal dibandingkan impor,” kata analis Bank Dunia, dalam keterangan tertulis.

Dampak Global Mengintai

Organisasi Pangan Dunia (FAO) memperingatkan bahwa krisis ini bisa menyebar dan memicu lonjakan harga pangan secara global. Sementara itu, WTO mendorong negosiasi antarnegara untuk mencegah gelombang proteksionisme baru di sektor pangan.

Dengan kondisi iklim yang semakin ekstrem dan ketidakpastian perdagangan internasional, Afrika kini berada di persimpangan antara efisiensi global dan kedaulatan pangan.

“Ini bisa jadi titik balik. Negara-negara Global South harus mulai membangun sistem pangan yang lebih tangguh dan mandiri,” ujar Dr. Asmara.

Ditulis oleh Callista Nadia Jasmine, mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Sebelas Maret

Lihat juga berita-berita Pacitanku di Google News, klik disini.

No More Posts Available.

No more pages to load.