Disperpusip Pacitan dan Pengusaha Dorong Pelestarian dan Literasi Makanan Tradisional

oleh -161 Dilihat
Festival Kuliner "Jan Enak E" di Pacitan, kolaborasi Komunitas Janenake dan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, menyoroti kekayaan dan sejarah kuliner tradisional lokal. Turut diluncurkan buku ensiklopedia kuliner "Situs Makan-makan Bikin Ketagihan". (Dok Disperpusip Pacitan for Pacitanku)

Pacitanku.com, PACITAN – Kekayaan kuliner tradisional Pacitan kembali dirayakan dalam sebuah inisiatif kolaboratif yang unik.

Festival Kuliner “Jan Enak E”, buah kerja sama antara komunitas Janenake dan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Pacitan, sukses menyorot potensi kuliner lokal yang kaya nilai sejarah dan budaya.

Mengusung tema “Kuliner Unik dan Enak Pacitan”, festival ini memiliki misi mulia untuk melestarikan warisan kuliner dari rentang waktu abad ke-13 hingga abad ke-19.

Sebagai puncak acara festival yang digelar baru-baru ini, diluncurkan pula sebuah ensiklopedia kuliner berjudul “Situs Makan-makan Bikin Ketagihan”.

Buku ini bukan sekadar daftar resep, melainkan merangkum berbagai artefak sejarah, cerita rakyat, serta ragam makanan khas Pacitan yang kian langka.

Kehadiran buku ini diharapkan menjadi referensi vital dalam pengembangan pariwisata kuliner lokal sekaligus memperkaya literasi sejarah dan budaya masyarakat.

Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Pacitan, Amat Taufan, menekankan pentingnya sinergi antara lembaga pemerintah dan sektor swasta, khususnya pengusaha kuliner, dalam menjaga pusaka budaya ini.

“Kuliner itu bukan hanya soal rasa, tapi ini aset martabat bangsa. Lewat buku literasi ini, kami mendorong dunia usaha untuk berperan aktif mengangkat kembali makanan khas Pacitan agar gaungnya terdengar hingga mancanegara. Ini adalah bagian dari tanggung jawab kolektif kita dalam mengamankan warisan leluhur,”ujar Amat Taufan.

Festival “Jan Enak E” sendiri menyajikan lebih dari sekadar pameran makanan; ia menawarkan pengalaman kuliner autentik yang tak hanya menggugah selera, tetapi juga menyentuh sisi historis dari setiap hidangan yang disajikan.

Muhammad Rofiqin, narasumber utama sekaligus penggagas buku “Situs Makan-makan Bikin Ketagihan”, menjelaskan bahwa kuliner lokal adalah gerbang utama untuk memahami kearifan lokal Pacitan secara lebih mendalam.

Kolaborasi erat antara literasi dan promosi budaya melalui festival ini menjadi momentum krusial untuk memantapkan posisi Pacitan sebagai destinasi wisata kuliner yang menawarkan paket lengkap: rasa, kisah, dan nilai luhur.

Diharapkan, upaya bersama ini dapat meningkatkan kesejahteraan para pelaku usaha kuliner lokal serta mengukuhkan Pacitan di kancah nasional maupun internasional sebagai “Surga Wisata Rasa”.

“Melestarikan kuliner tradisional berarti menjaga identitas kita. Melalui festival ini, kami mengajak generasi muda dan para wisatawan untuk menyelami filosofi di balik setiap makanan khas Pacitan. Jangan sampai kekayaan yang luar biasa ini lenyap begitu saja karena tidak dipahami dan dihargai,”jelas Rofiqin.

Jejak Rasa dan Filosofi Kuno dalam Situs Sesaji Sukerto Pacitan

Pacitan, Kota Seribu Goa, menyimpan kekayaan sejarah dan budaya yang mengagumkan. Di antara jejak masa lalu, terungkap warisan luhur sarat makna: Situs Sesaji Sukerto.

Kepala DIsperpusip Pacitan Amat Taufan dalam unggahannya di instagram mengungkapkan tradisi ini diperkirakan berasal dari Abad ke-13 hingga ke-14 Masehi, masa kejayaan Kerajaan Wiranti.

Kala itu, wilayah selatan Jawa dikuasai kerajaan yang beribukota di Kota Kalak (kini Kalak/Donorojo, Pacitan), dipimpin Raja R. Prawiro Yudho atau Pangeran Kalak.

Meskipun permaisuri beliau, Dewi Sekartaji (juga dikenal Shri Ratu Purbo, Shri Ratu Kencono Wungu, atau Dadung Mlati), serta sebagian besar rakyat masih menganut Hindu, tradisi ini menyatu dalam kehidupan spiritual mereka.

Pada masa itu, Situs Sesaji Sukerto adalah ritual pensucian lokasi keramat. Tujuannya sebagai ikhtiar kolektif masyarakat untuk menolak “balak” atau bencana.

Persembahan dalam ritual ini beraneka ragam, mencerminkan hasil bumi dan kuliner tradisional, meliputi Jenang Sengkolo (bubur merah dari gula kelapa dan bubur putih), Ayam lancur panggang, Jenang jadah dan jenang gula jawa, Aneka lauk-pauk, Kelapa muda (degan hijau).

Kemudian Seikat Damiyati (gagang padi), Kopi pahit (tanpa gula) dan teh pahit (tanpa gula), Polo pendem (berbagai umbi-umbian yang dikukus) dan Aneka bunga pewangi.

“Semua persembahan ini ditata di atas Encek, tempat sesaji khas dari pelepah daun pisang Raja. Biasanya dilaksanakan pada bulan Jawa Longkang dan Asyuro, atau hari lain sesuai niat hajat,”jelasnya.

Seiring perkembangan Islam di selatan Jawa (Abad 14-15 Masehi), tradisi ini mengalami akulturasi. Nuansa Islam menyatu, seringkali mengundang tokoh agama atau alim ulama memimpin doa “tolak balak” atau mohon perlindungan.

Menurut seorang sejarawan dan pemerhati budaya Pacitan, tradisi seperti Situs Sesaji Sukerto ini adalah bukti otentik peradaban lokal.

“Ini bukan sekadar ritual lama. Ini cerminan adab luhur nenek moyang, pengakuan akan kekuasaan Sang Pencipta yang terwujud dalam bentuk syukur atas hasil bumi. Memahami ini berarti memahami akar identitas Pacitan,” ujarnya.

Filosofi mendalam Situs Sesaji Sukerto mengajarkan bahwa segala takdir, termasuk hasil panen, adalah karunia Gusti Allah SWT semata. Manusia diajak berpasrah, bersyukur, dan berdoa untuk kebaikan hidup di dunia.

Situs Sesaji Sukerto bukan sekadar ritual; ia bukti sejarah adat dan adab tinggi nenek moyang. Pengakuan tulus akan kebesaran Gusti Allah SWT, Sang Maha Pemberi Kehidupan.

“Warisan tak benda seperti Situs Sesaji Sukerto adalah aset berharga. Tugas kami di Dinas Perpustakaan dan Arsip adalah mendokumentasikannya agar tidak lekang dimakan zaman,” kata Amat Taufan.

“Melalui literasi sejarah, kita pastikan generasi muda mengenal dan menghargai kearifan lokal ini,”pungkas Amat.

Lihat juga berita-berita Pacitanku di Google News, klik disini.

No More Posts Available.

No more pages to load.