Pacitanku.com, PACITAN – Kasus dugaan rudapaksa yang terkuak dari balik jeruji Rumah Tahanan (Rutan) Polres Pacitan menggemparkan publik dan memantik tanya besar.
Aksi yang diduga dilakukan oleh oknum anggota Polres Pacitan berinisial Aiptu LC ini tak hanya menyisakan luka mendalam bagi korban, tetapi juga memunculkan pertanyaan yang terus mengganjal di benak masyarakat: Mengapa korban tidak segera melapor sejak insiden pertama, justru baru berani bersuara setelah berkali-kali mengalami kekerasan itu?
Fenomena kompleks ini sayangnya sering kali disalahpahami, memunculkan narasi yang justru menyudutkan korban dan mengarah pada stigma ‘mau sama mau’.
Untuk meredam spekulasi dan memberikan pencerahan, Psikolog Pacitan, Ni Made Diah Rina Wardani, M.Psi., Psikolog, angkat bicara, menjelaskan akar masalah ini dari perspektif keilmuan.
Menurut Ni Made, kunci utama yang membungkam korban di awal kejadian adalah adanya “relasi kuasa” yang sangat timpang antara pelaku dan korban.
“Bayangkan, korban berada dalam posisi yang teramat rentan, tidak berdaya, dan sama sekali tidak bebas. Apalagi ini terjadi di lingkungan tahanan yang terisolasi, di mana tidak ada siapa pun yang bisa dimintai pertolongan. Korban benar-benar dalam situasi tertekan dan minim pilihan untuk melawan,”jelas Ni Made saat dikonfirmasi Pacitanku.com pada Minggu (27/4/2025).
Kondisi serba “terjepit” inilah yang membuat korban, secara psikologis, merasa terpaksa menuruti atau setidaknya membeku dan tidak berdaya untuk melawan.
Perasaan ini muncul bukan karena ada persetujuan, melainkan akibat ketiadaan daya untuk mempertahankan diri di bawah ancaman atau tekanan.
“Itu sebabnya mengapa korban pada akhirnya memilih diam, meskipun kejadian yang dialaminya sangatlah menyakitkan dan meninggalkan luka mendalam,” imbuhnya.
Diam dalam konteks ini adalah respons bertahan hidup (survival mechanism) di tengah situasi yang tidak memungkinkan perlawanan.
Apa Pemicu Keberanian Korban untuk ‘Speak Up’?
Meski terperangkap dalam jerat relasi kuasa dan ketidakberdayaan, bukan berarti korban akan selamanya diam.
Ni Made memaparkan, ada sejumlah faktor psikologis yang pada akhirnya menumbuhkan keberanian korban untuk ‘speak up’ atau melaporkan apa yang ia alami.
Pertama, hadirnya dukungan sosial.
“Ketika korban mulai merasa tidak sendirian lagi, ada orang-orang terdekat, keluarga, teman, atau bahkan komunitas yang siap mendengarkan, percaya, dan mendampingi tanpa menghakimi, beban psikologisnya akan sangat berkurang dan rasa kesendirian yang membelenggu akan terkikis,” jelas Ni Made.
Kedua, tumbuhnya kepercayaan pada sistem hukum.
Keyakinan bahwa ada peluang untuk mendapatkan keadilan melalui proses hukum menjadi energi pendorong yang signifikan untuk melangkah maju. Ketiga, titik baliknya pengalaman pribadi yang sudah tak tertahankan, atau melihat contoh orang lain yang berhasil mendapatkan keadilan atas kasus serupa, bisa menjadi percikan motivasi internal yang kuat.
Terakhir, pendampingan profesional dari lembaga atau organisasi anti-kekerasan juga sangat krusial dalam memberikan rasa aman dan panduan yang dibutuhkan korban dalam proses pelaporan.
Bukan “Mau Sama Mau”: Stop Stigma pada Korban!
Dari sudut pandang psikologis yang diuraikan Ni Made, menjadi sangat jelas bahwa sangat keliru jika menafsirkan keterlambatan pelaporan korban rudapaksa sebagai persetujuan atau ‘mau sama mau’.
Situasi kompleks dengan relasi kuasa yang dominan, isolasi di lingkungan tahanan, dan minimnya pilihan di awal kejadian adalah penyebab utama korban terpaksa membungkam penderitaannya.
Kasus ini menjadi pengingat penting bagi kita semua. Daripada menghakimi atau meragukan, masyarakat seharusnya memberikan empati, dukungan moral, dan ruang aman bagi korban untuk pulih dan mencari keadilan. Keberanian korban untuk bersuara adalah perjuangan luar biasa yang patut diapresiasi, bukan diragukan.
Kronologi peristiwa
Diberitakan sebelumnya di Pacitanku.com, ulah bejat Aiptu LC kini harus menanggung konsekuensi terberat: menanggalkan seragam kepolisiannya secara tidak hormat (PTDH) setelah terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap seorang tahanan wanita berinisial PW di Rutan Polres Pacitan.
Keputusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) ini dijatuhkan usai sidang komisi kode etik Polri yang digelar Bidang Profesi dan Pengamanan (Bid Propam) Polda Jatim dengan cepat pada Rabu (23/4/2025).
Perjalanan kasus ini menuju pemecatan terbilang sigap. Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Jules Abraham Abast, didampingi Kabid Propam Kombes Pol Iman Setiawan, dalam konferensi pers pada Kamis (24/4/2025), memaparkan kronologi lengkapnya.
“Untuk saudara LC, sejak Senin, 21 April 2025, telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pidana dugaan pelanggaran Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS),” ungkap Kombes Jules.
Penetapan tersangka ini menyusul laporan polisi (LP) yang berani dibuat korban di Polres Pacitan pada 12 April 2025.
Tak butuh waktu lama, penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jatim langsung bergerak cepat. Pada 23 April 2025, Aiptu LC resmi ditahan di Rutan Polda Jatim berdasarkan surat perintah penahanan nomor 103.
Mirisnya, aksi bejat Aiptu LC terjadi di lokasi yang seharusnya aman bagi para tahanan wanita, yakni ruang berjemur khusus di Rutan Polres Pacitan. Peristiwa kelam ini berlangsung beberapa kali sekitar bulan Maret dan puncaknya pada 2 April 2025.
“Modus tersangka LC adalah melakukan pelecehan seksual atau perbuatan cabul, bahkan hingga persetubuhan, terhadap korban PW yang merupakan tahanan di Mapolres Pacitan,” jelas Kombes Jules.
“Tersangka LC melakukan pelecehan seksual atau perbuatan cabul sebanyak empat kali, dan yang terakhir berlanjut hingga persetubuhan di ruang berjemur wanita tersebut,”imbuhnya.
Penyidikan intensif pun dilakukan, melibatkan pemeriksaan setidaknya 13 saksi, termasuk empat orang tahanan lain, korban PW sendiri, dan sembilan saksi lainnya untuk melengkapi berkas penyidikan. Ironisnya lagi, korban PW sendiri merupakan tahanan Sat Reskrim Polres Pacitan atas kasus tindak pidana terkait eksploitasi seksual (mucikari), menambah lapisan kerentanan pada posisinya.
Selain proses pidana yang terus berjalan, sidang kode etik profesi Polri juga menjatuhkan sanksi tegas yang tak main-main.
“Hasil sidang kode etik menetapkan beberapa hal, pertama, perbuatan LC dinyatakan sebagai perbuatan tercela. Kedua, penempatan dalam tempat khusus selama 20 hari. Dan ketiga, sanksi terberat berupa pemberhentian tidak dengan hormat sebagai anggota Polri,”tegas Kombes Jules.
Pelanggaran etik yang dilakukan Aiptu LC mencakup beberapa pasal krusial dalam peraturan kepolisian, di antaranya terkait perbuatan tercela, penyalahgunaan wewenang, dan pelanggaran norma kesusilaan yang sangat fatal.
Meskipun menghadapi ancaman pemecatan, Aiptu LC tidak tinggal diam. Dia akan mengajukan banding.
“Disinggung mengenai upaya banding, yang bersangkutan menyatakan akan mengajukan banding terhadap sanksi PTDH ini,”pungkasnya.
Proses banding tersebut, lanjutnya, akan ditangani lebih lanjut sesuai prosedur oleh penyidik Bid Propam Polda Jatim.
Video Mengungkap Kasus Bundir dari Kacamata Psikolog “Kalau Ada Masalah, Bicaralah..”