Redesain Pilkada Partisipatif di Era COVID-19

oleh -0 Dilihat
Ilustrasi Pilkada

Oleh: Dr. Idham Holik (Anggota KPU Provinsi Jawa Barat)

Akhirnya, Rabu, 9 Desember 2020 disetujui sebagai hari pemungutan suara Pilkada/Pemilihan Serentak. Keputusan tersebut disepakati oleh Komisi II DPR RI pada tanggal 14 April 2020 atas usulan Pemerintah terhadap penundaan pelaksanaan pemungutan suara Pemilihan Serentak. Jadi di antara tiga Opsi yang diusulkan oleh KPU RI, Opsi A yang disetujui. Penundaan pemungutan suara selama tiga bulan dengan catatan masa tanggap darurat pendemi Covid-19 dapat berakhir.

Jika tidak berakhir, DPR dan Pemerintah tak menutup opsi jadwal Pemilihan lainnya yaitu Opsi B atau Opsi C, apabila pandemi tersebut belum bisa dihentikan pada bulan Mei. Dalam Opsi B, pemilihan ditunda 6 bulan atau hari pemungutan suara diusulkan tanggal 17 Maret 2021 dan dalam Opsi C, Pemilihan ditunda 12 bulan  atau 29 September sebagai usulan hari pemungutan suaranya.

Jadi kepastian atas persetujuan usulan Opsi A atau 9 Desember 2020 baru bisa dipastikan dalam Rapat Kerja Komisi II DPR RI dengan Pemerintah RI dan Penyelenggara Pemilihan (KPU, Bawaslu, dan DKPP) pasca masa tanggap darurat pandemi tersebut berakhir sekaligus memperhatikan kesiapan pelaksanaan tahapan lanjutan Pemilihan Serentak tersebut.

Di tengah keyakinan publik optimis dan pesimis atas penyelesaian penyebaran pandemi Covid-19, persetujuan politik tersebut telah menstimulasi kita semua untuk semakin bersatu dan lebih serius dalam melawan pandemi tersebut dengan cara memutus mata rantai penyebarannya. Persetujuan politik tersebut juga menyampaikan pesan bahwa kita semua harus optimis dimana Indonesia diyakini mampu segera menangani penyelesaikan pandemi tersebut. Inilah sebuah keputusan politik optimis yang patut diapreasi.

Sebenarnya tidak hanya Indonesia, pemilihan yang ditunda akibat pandemi global Covid-19 tersebut, tetapi ada puluhan negara lainnya di dunia yang juga menunda pemilunya. Sampai dengan 13 April 2020, International IDEA mencatat setidaknya ada 49 negara dan wilayah di seluruh dunia memutuskan untuk menunda pemilu nasional dan subnasional.

Dengan rincian, ada 7 negara di wilayah Afrika, 13 negara wilayah Amerika (khusus di Amerika Serikat ada 15 negara bagian), 17 negara di wilayah Eropa, 4 negara di wilayah Oseania; dan 8 negara di wilayah Asia (termasuk Indonesia, yang kini rencananya akan dilanjutkan kembali).

Sebaliknya, di tengah kekhawatiran pandemi tersebut, setidaknya ada 16 negara dan wilayah yang tetap mengadakan pemilu nasional atau subnasional seperti yang direncanakan semula –mulai 2 Maret hingga 14 April 2020. Selain ke-16 negara tersebut, pada 15 April 2020, Korea Selatan juga tetap mengadakan pemungutan suara pemilu parlemen (parliamentary elections). Jadi totalnya ada 17 negara yang tetap menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi Covid-19.

Dalam rangka mempersiapkan kelanjutan tahapan Pemilihan Serentak berdasarkan Opsi A dimana 9 Desember 2020 sebagai hari pemungutan suara, penting bagi kita semua untuk mengkaji penyelenggaraan pemilu yang sukses di tengah ancaman pandemi Covid-19.

Pemilu di Tengah Pandemi Covid-19

Pada tulisan ini, ada dua pemilu yang telah diselenggarakan dengan sukses pada masa pendemi Covid-19 yang akan dijadikan bahan diskusi yaitu pemilu lokal di Queensland, Australia dan pemilu parlemen Korea Selatan.

Pertama, pemilu lokal di Queensland. Pada Sabtu 28 Maret 2020, Queensland telah menyelenggarakan pemungutan suara untuk Pemilu Empat Tahunan Pemerintahan Lokal (Local Government Quadrennial Elections) untuk memilih walikota dan 77 anggota dewan Queensland. Sehari sebelum pemungutan suara (27 Maret 2020) tersebut, terdapat 62 kasus baru Covid-19 yang terkonfirmasi di Queensland. Jadi, sampai tanggal tersebut, Queensland memiliki total 555 kasus Covid-19 terkonfirmasi –sejak kasus pertama pada tanggal 21 Januari 2020. 

Untuk melindungi pemilih terinfeksi virus tersebut, Komisi Pemilihan Queensland (Electoral Commission Queensland/ECQ) menerapkan berbagai tindakan perlindungan di tempat (protection measures in place). Protokol kesehatan tersebut diberlakukan berdasarkan atas saran dari otoritas dan ahli kesehatan Queensland mengenai dampak Covid-19.

Pada saat pemberian suara, pemilih harus menjaga kesehatan diri, menjaga jarak sosial (social distancing) 1,5 meter, dan sebisa mungkin menghindari bersalaman dengan yang lain. Pemilih juga wajib membawa sendiri alat pemberian suaranya yaitu pulpen atau pencil.

Bagi pemilih yang tidak bisa datang ke TPS (polling booths), mereka diberikan kesempatan untuk menggunakan pemilihan lewat post (postal voting). Selain kebijakan tersebut, ECQ juga menerapkan kebijakan memilih melalui telepon (voting telephone) bagi mereka yang disarankan oleh praktisi kesehatan.

Di tengah aturan memilih bersifat wajib (voting is compulsory) dalam pemilu tersebut, pandemi Covid-19 berdampak negatif terhadap tingkat partisipasi pemilih pengguna hak suara. Berdasarkan hasil pemungutan suara, partisipasi pemilih hanya 78%. Ini artinya ada sedikit penurunan yaitu sebesar 5%, karena tingkat partisipasi Pemilu Lokal sebelumnya di Queensland tahun 2016 sebesar 83%.

Dan kedua, pelaksanaan pemilu parlemen di Korea Selatan. Sampai dengan sehari sebelum pemungutan suara (14 April 2020), kasus Covid-19 di Korea Selatan yang terkonfirmasi tercatat sebanyak 10.564 kasus, termasuk sebanyak 222 orang meninggal sejak kasus pertama di negara tersebut yaitu pada 20 Januari 2020. Grafik puncak penyebaran pandemi tersebut di Korea Selatan terjadi pada tanggal 29 Februari 2020 sebanyak 909 kasus baru terkonfirmasi. Pasca tanggal tersebut, grafik penyebarannya terus menurun dan pada tanggal 14 April 2020, hanya terdapat 27 kasus baru terkonfirmasi.

Di tengah pandemi tersebut, Korea Selatan tetap optimis dapat melangsungkan pemilu parlemen pada 15 April 2020 dengan jumlah pemilih terdaftar sebanyak 43,9 juta. Untuk mengantisipasi penyebaran pandemi tersebut pada saat pemberian suara berlangsung, atas saran medis Otoritas Kesehatan, NEC (National Elections Commision, 중앙선거관리위원회) Korea Selatan telah memberlakukan protokol kesehatan yang ketat bagi pemilih yang akan menggunakan hak pilihnya di lebih dari 14.000 Tempat Pemungutan Suara/TPS (polling stations) di seluruh Korea Selatan.

Pada saat berada di TPS dan sebelum pemilih memberikan suaranya, pemilih diwajibkan menggunakan masker pelindung (protective masks) dan menjaga jarak antrian (physical distancing) di antara pemilih lainnya minimal 1 meter atau dengan interval 3-kaki (three-foot intervals) –sesuai standar WHO. Selain itu, pemilih juga diwajibkan membersihkan tangan dengan cairan pembersih (hand sanitizer) dan menggunakan sarung tangan plastic (plastic glove).

Jika didapati ada pemilih yang mengalami demam dengan suhu badan yang tinggi (di atas 37,5˚ c) atau gejala klinis infeksi Covid-19 lainnya, mereka langsung dipisahkan dan tetap dilayani untuk memberikan hak suaranya di TPS khusus atau terpisah yang selalu disemprot cairan disinfektan pasca setiap kali pemilih menggunakannya.

Lebih dari 13.000 pemilih yang sedang menjalani karantina wajib (mandatory quarantine) juga telah memberikan suaranya. Mereka didiberikan kesempatan untuk memilih satu jam pasca TPS ditutup untuk pemilih lainnya. Petugas pemungutan suara yang melayani mereka berada di ruang terpisah dengan memakai APD (Alat Pelindung Diri/Personal Protective Equipments) yaitu kecamata (google), masker, dan jas pelindung putih (yang menutupi seluruh tubuh, dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Akhirnya, partisipasi kehadiran pemilih yang memberikan suara (voter turnout) dalam Pemilu Parlemen Korea Selatan tersebut dikategorikan sukses di tengah ancaman pandemi Covid-19 yaitu mencapai angka 66,2%. Ini merupakan angka tertinggi selama 28 tahun terakhir atau sejak pemilu tahun 1992. Dengan suksesnya penyelenggaran pemilu tersebut, Korea Selatan mendapatkan apresiasi dari Sekretaris Negara Amerika Serikat Michael R. Pompeo yang disampaikan melalui akun Tiwtternya. Bagi Pompeo, ini merupakan dedikasi Korea Selatan pada nilai-nilai dan kebebasan demokrasi serta masyarakat terbuka (open society) yang dunia butuhkan untuk melawan Covid-19.

Dari kedua pemilu tersebut, setidaknya ada empat hal yang mesti kita perhatikan yaitu antusiasme partisipasi elektoral pemilih, protokol kesehatan yang ketat, dan inovasi mekanisme pemberian suara serta pelayanan sepenuhnya (total service) bagi pemilih dalam memberikan suaranya. 

Optimis Indonesia Dapat Terbebas dari Covid-19

Analisa komparatif penyebaran pandemi Covid-19 di Indonesia dengan di Australia dan Korea Selatan tentunya berbeda. Apalagi jika dilihat dari sisi waktu pemungutan suara (voting day) Pemilihan Serentak di Indonesia juga berbeda dengan pemilu di negara/negara bagian tersebut. Sejak pertengahan April 2020 ini, Indonesia masih memiliki waktu panjang ke 9 Desember 2020 yaitu sekitar lebih dari 7 bulan. Waktu yang cukup untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19.

Tentunya situasi pandemi Covid-19 di Indonesia pada bulan Maret dan April ini akan jauh berbeda dengan bulan Desember 2020 nanti. Apalagi dengan terbitnya PP No. 21 Tahun 2020 tentang PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 pada tanggal 31 Maret 2020 menandakan Indonesia sangat serius untuk segera mengakhiri pandemi tersebut.

Kini kebijakan PSBB tersebut (selama 14 hari) sedang diterapkan di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat (5 daerah dan akan terus bertambah). Selanjutnya segera menyusul Provinsi Jawa Timur (beberapa daerah akan mengajukan) dan bisa jadi beberapa provinsi atau daerah lainnya juga segera menyusul. Selain itu, dari sisi medis, pada pertengahan April 2020 ini, holding BUMN farmasi “pelat merah” Indonesia telah siap memproduksi obat oseltamivir dan chloroquine untuk membantu memulihkan pasien Covid-19.

Indonesia sangat optimis dapat menyelesaikan pandemi tersebut. Apalagi seluruh elemen bangsa Indonesia kini semakin bersatu melawan pandemi Covid-19, termasuk KPU di seluruh Indonesia juga melakukan sosialisasi dan edukasi pencegahan penyebaran Covid-19 –sebagai bentuk komitmen humanisme dalam melindung pemilih.

Redesain Regulasi Teknis

Tentunya protokol kesehatan menjadi kunci utama suksesnya penyelenggaraan Pemilihan Serentak 2020. Protokol tersebut menjadi pedoman untuk pelaksanaan beragam tahapan Pemilihan yaitu seperti pemutakhiran daftar pemilih, sosialisasi dan pendidikan pemilih, verifikasi faktual dukungan bakal calon perseorangan, kampanye pemilihan, distribusi logistik pemungutan suara, pelaksanaan pemungutan suara dan rekapitulasi hasil pemilihan serta kegiatan-kegiatan lainnya dalam penyelenggaraan pemilihan.

Sebagai regulator pemilihan, selain merubah beberapa peraturan teknis penyelenggaraan, KPU RI tentunya telah sedang menyiapkan desain terbaik protokol tersebut yang mengacu pada prinsip hukum “Salus populi suprema lex esto” (keselamatan rakyat harus jadi hukum tertinggi) dan kebijakan penanganan pandemi Covid-19 yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.

KPU RI juga sedang mendesain TPS yang sesuai protokol kesehatan atau keselamatan pemilih dan KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) dari Covid-19. Luas dan tata letak TPS harus berubah dengan memperhatikan ketentuan jaga jarak fisik (physical distancing) 1 meter di antara pemilih atau anggota KPPS. Penggunaan masker wajah dan keharusan menjaga kebersihan dengan hand sanitizer serta pemakaian sarung tangan plastik bagi pemilih dan KPPS dapat diberlakukan. Pemilih juga bisa membawa sendiri alat pemberian suara (alat coblos surat suara) seperti di Pemilu Lokal Queensland.

Selain itu, redesain TPS harus memperhatikan ODP (Orang Dalam Pengawasan) dan PDP (Pasien Dalam Pengawasan) termasuk suspek dan positif corona. Selain itu, anggota KPPS dapat menggunakan APD seperti dalam pemungutan suara Pemilu Parlemen Korea Selatan, jika diperlukan. Tentunya, situasi pandemi Covid-19 ini dapat melahirkan kebijakan perlindungan kesehatan bagi KPPS dalam bentuk asuransi.

Selanjutnya untuk memastikan pemutusan mata rantai Covid-19, pengunaan ICT (Information Communication Technology) dalam penyelenggaran pemilihan menjadi sebuah tuntutan yang mendesak (an urgent demand) dalam redesain regulasi teknis penyelenggaraan pemilihan. Tuntutan tersebut didukung tidak hanya oleh infrastruktur ICT yang baik, tetapi juga populasi pengguna internet (network society) yang besar yang terus tumbuh. Jadi, penyelengaraan tahapan pemilihan berbasiskan internet (internet based-electoral management) atau e-elections sangat mungkin untuk diaplikasikan.

Sebagai pemantik diskusi, ada beberapa hal penting yang ingin dideskripsikan dalam artikel ini, yaitu: pertama, proses pemutakhiran daftar pemilih berbasiskan internet. Semoga aplikasi e-Coklit yang telah direncanakan oleh KPU RI dapat terrealisasi dengan baik serta didukung oleh kebiasaan digital (digital habit) pemilih untuk menggunakan fitur Cek Pemilih yang tersemat dalam aplikasi KPU RI (untuk telepon cerdas ber-OS/Operating System Android).

Kedua, verifikasi faktual dukungan bakal pasangan calon (bapaslon) perseorangan berbasiskan internet. Dengan pendekatan pertemuan tatap muka termediasi internet seperti teknologi panggilan atau konferensi video (video calling/conference technology), verifikator dapat memverifikasi faktual dokumen dukungan yang telah diberikan oleh para pendukung bapaslon tersebut.

Praktek sensus tatap muka konvensional atau langsung seminimal mungkin dilakukan, kecuali bagi para pendukung yang tidak memiliki atau akses teknologi komputasi/telepon pintar yang terkoneksi internet seperti PC, notebook, smartphone, tablet, dan lain sebagainya. Praktek sensus konvensional tersebut tentunya harus memenuhi protokol kesehatan.

Ketiga, sosialisasi dan edukasi elektoral berbasiskan internet (e-socialization atau e-education). Oleh karena itu, KPU Penyelenggara Pemilihan dituntut untuk lebih kreatif dalam membuat konten (more creative content) agar kegiatan tersebut menjadi lebih efektif. Hal ini tentunya akan berdampak positif tidak hanya pada peningkatan digital engagement (partisipasi digital) pemilih, tetapi juga online news engagement (keaktifan dalam membaca berita daring) yang positif terhadap peningkatan literasi elektoral.

Dan keempat, kampanye berbasiskan internet (e-campaign). Praktek kampanye ini sangat positif terhadap aktualisasi semangat efisiensi dalam pembiayaan kampanye kandidat sebagaimana telah diatur dalam regulasi teknis kampanye untuk Pemilihan yang sebelumnya. Teknologi internet seperti siaran langsung (live streaming), pertemuan daring (cloud meeting), dialog interaktif (interactive dialogue), dan lain sebagainya sangat memungkinkan bagi kandidat beserta tim pemenangannya untuk mempersuasi pemilih dengan pendekatan kampanye programatik (programmatic campaign approach).

Penggunaan e-campaign dapat meminimalisir beragam bentuk kampanye konvensional dengan basis tatap muka langsung. Gagasan ini juga dapat mendorong kandidat untuk meninggalkan kampanye konvensional dengan metode langsung (canvassing method) atau metode pengumpulan masa dalam jumlah sangat besar (rally method).

Tidak hanya menghilangkan batasan ruang dan waktu (timeless and placeless), internet juga menghadirkan dengan fasilitas ruang publik digital (digital public sphere) yang sangat penting bagi demokrasi deliberatif. Ruang publik digital tersebut tidak sekedar menstimulasi pemilih untuk merasionalisasi dukungan politiknya, tetapi juga memungkinkan mereka untuk menyuarakan secara langsung kepentingan dan harapan politiknya terhadap kepemimpinan dan kebijakan pemerintahan daerah periode mendatang kepada kandidat Pemilihan. 

Gagasan e-elections tersebut sejalan dengan rencana KPU RI yang akan menerapkan kebijakan e-rekap (rekapitulasi elektronik) dalam Pemilihan Serentak 2020 nanti. Dengan e-rekap tersebut, KPPS tingal mengirim foto C-1 Plano ke aplikasi atau server rekapitulasi perolehan suara yang disiapkan dengan proteksi digital security (keamanan digital).

Mari kita songsong kemajuan (advancing) demokrasi elektoral berbasiskan orientasi keselamatan pemilih dan penyelenggara pemilihan dan internet (e-electoral democracy) dalam Pemilihan Serentak 2020. Inilah portal baru (a new portal) bagi demokrasi di Indonesia.