Satgas COVID-19 Pacitan: Corona Hanya Bisa Menular Lewat Droplet

oleh -0 Dilihat
Petugas medis di salah satu rumah sakit di Wuhan, China, memeriksa data medik seorang pasien 2019-nCoV. (ANTARA/HO-GT/mii)

Pacitanku.com, PACITAN – Juru bicara satuan tugas percepatan penanganan coronavirus disease 2019 (COVID-19) Pacitan, Rachmad Dwiyanto, meminta agar masyarakat tidak larut oleh artikel ataupun pemberitaan media terkait hasil penelitian terhadap sebaran COVID-19.

Rachmad mengajak masyarakat lebih mempercayai Informasi yang disampaikan Kementerian Kesehatan dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai garda terdepan dalam penanganan wabah COVID-19.

Menurut Rachmad, sebagaimana rilis yang disampaikan Kemenkes bahwa virus SARS-CoV-2 hanya bisa menular melalui droplet, yaitu ingus atau dahak serta cairan lendir si penderita COVID-19.

Untuk itu masyarakat diimbau selalu memakai masker, jaga jarak fisik atau physical distancing dan sesering mungkin cuci tangan pakai sabun (CTPS) terutama sebelum makan atau ketika menyentuh mulut dan mata.

“Jangan percaya dengan penelitian yang belum teruji kebenarannya. Sebab penelitian itu didasarkan pada keilmiahan setempat. Benar atau tidaknya masih diperlukan pengujian,” terang Rachmad, Sabtu (4/4).

Sehingga, lanjut dia, kalaupun ada penelitian yang mengatakan, kalau virus SARS-CoV-2 bisa menular melalui udara yakni ketika orang berbicara atau bernafas, tentu harus dilakukan pengujian yang lebih akurat.

“Lebih baik kita tetap memedomani Informasi dari Kemenkes atau BNPB,” tegasnya.

Sementara itu sebagaimana informasi yang didapat media, bahwa potensi penyebaran virus corona atau COVID-19, tak hanya melalui bersin atau batuk. Namun, riset atau penelitian terbaru mengungkapkan bahwa penyebaran COVID-19 juga bisa saat orang berbicara atau bahkan saat bernapas.Temuan itu diungkap dalam sebuah penelitian yang dilakukan National Academy of Sciences (NAS).

Dikutip dari informasi sebuah media terkemuka, bahwa NAS mengungkapkan kalau virus corona jenis baru SARS-CoV-2 dapat menyebar melalui udara, tidak hanya lewat tetesan (droplet) yang berasal dari batuk atau bersin. Sehingga apabila virus corona bisa tersebar saat mengembuskan napas, perlindungan diri menjadi lebih sulit.

Hal ini memperkuat argumen bahwa semua orang harus memakai masker di depan umum untuk mengurangi penularan virus yang tanpa disadari dari pembawa asimptomatik (tanpa gejala). Pada awal tahun ini, sempat terjadi perdebatan ketika para peneliti melaporkan melalui The New England Journal of Medicine bahwa SARS-CoV-2 dapat berada di tetesan aerosol (kurang dari lima mikron), selama tiga jam dan berpotensi menular.

Dalam ulasan tersebut, Fineberg dan para peneliti NAS merujuk ke penelitian lain termasuk yang baru-baru ini dirilis Joshua Santarpia dan rekan-rekannya di University of Nebraska Medical Center.

Penelitian itu menemukan bukti soal viral load di ruang isolasi pasien yang dirawat karena Covid-19. Viral RNA muncul pada permukaan yang sulit dijangkau, serta dalam sampel udara yang berjarak lebih dari dua meter dari pasien. Kehadiran RNA menunjukkan virus dapat menyebar melalui aerosol.

Meski demikian, Santarpia dan rekannya menyimpulkan bahwa mereka tidak menemukan partikel virus yang menular. Dengan temuan potensi baru penularan ini, Fineberg mengatakan, ia akan mengenakan masker saat berpergian.

Anthony Fauci, anggota gugus tugas virus corona Gedung Putih, mengatakan, pihaknya masih mendiskusikan gagasan merekomendasikan penggunaan masker secara luas di AS untuk mencegah penyebaran virus corona.

Terkait hal ini, Fineberg sudah mengirimkan surat ke Gedung Putih pada 1 April 2020 sebagai tanggapan atas permintaan Kelvin Droegemeier dari Kantor Kebijakan Sains dan Teknologi di Gedung Putih.

Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, virus menyebar dari orang ke orang dalam jarak sekitar enam kaki melalui tetesan yang dihasilkan dari batuk atau bersin orang yang terinfeksi. Fineberg membenarkan hal tersebut. Namun, penelitian itu menunjukkan bahwa tetesan aerosol yang dihasilkan saat berbicara atau bahkan mungkin hanya saat bernapas juga dapat menyebarkan virus.

Penelitian oleh Universitas Nebraska memaparkan, bahan genetik dari virus ditemukan di kamar pasien lebih dari enam kaki jauhnya dari pasien. Fineberg mengatakan, ada kemungkinan bahwa tetesan virus corona aerosol dapat berada di udara dan berpotensi menginfeksi seseorang yang melintas.

Namun, ia menekankan, penularan virus corona tidak seperti campak dan TBC.
Lama bertahan virus corona di udara tergantung pada beberapa faktor, di antaranya berapa banyak virus yang dikeluarkan seseorang saat bernapas atau berbicara, dan bagaimana sirkulasi di udara.

Penelitian lain yang dikutip panel NAS memunculkan kekhawatiran bahwa alat pelindung diri (APD) dapat menjadi sumber kontaminasi di udara. Sementara itu, para peneliti yang dipimpin oleh Yuan Liu di Universitas Wuhan di China menemukan virus corona baru dapat disuspensikan kembali di udara ketika petugas perawatan kesehatan melepaskan APD mereka, membersihkan lantai, dan bergerak melalui area yang terinfeksi. Secara bersama-sama, kehadiran RNA virus dalam tetesan udara dan aerosol menunjukkan kemungkinan penularan virus melalui rute ini.

Mengutippenelitian Nancy Leung dari University of Hong Kong, dilakukan pengumpulan tetesan pernapasan dan aerosol dari pasien dengan penyakit yang disebabkan oleh virus. Saat pengumpulan, beberapa pasien mengenakan masker bedah.

Masker mengurangi deteksi RNA corona virus di kedua tetesan, baik pernapasan dan aerosol. Akan tetapi hanya dari tetesan pernapasan di antara penderita influenza. Meski demikian, tak semua ahli sepakat bahwa rute penularan bisa melalui udara.

Sejauh ini, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat dan lembaga kesehatan lainnya bersikeras bahwa penularan utama terjadi melalui tetesan pernapasan yang lebih besar hingga satu mililiter.

Gravitasi menyebabkan tetesan-tetesan ini jatuh sehingga virus dapat tersimpan pada permukaan. Seseorang bisa menyentuh permukaan benda yang terdapat virus dan menginfeksi diri sendiri saat menyentuh mulut, hidung, atau mata.

Adapun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam ringkasan ilmiah pada 27 Maret 2020 menyatakan bahwa transmisi aerosol mungkin terjadi dalam keadaan dan pengaturan spesifik yang menghasilkan aerosol, seperti saat pasien yang sakit parah diintubasi dengan tabung pernapasan.

Namun, para ahli WHO menyebutkan, analisis yang dilakukan terhadap lebih dari 75.000 kasus virus corona di China tidak mengungkapkan kasus penularan melalui udara. Adapun penelitian seperti Santarpia mencatat bahwa deteksi RNA dalam sampel lingkungan berdasarkan tes berbasis PCR tidak menunjukkan virus dapat ditularkan. Meski demikian, CDC tampaknya bersiap-siap untuk mengubah pendapatnya.

Menurut beberapa laporan berita, lembaga tersebut siap untuk merekomendasikan agar semua orang di Amerika Serikat mengenakan masker di depan umum untuk mengurangi penyebaran virus.

Pewarta: Yuniardi Sutondo
Editor: Dwi Purnawan