Kisah Sejarah Syekh Subakir di Pacitan

oleh -86 Dilihat
Petilasan Syek Subakir di Sentono Genthong, Pacitan. (Foto: Dok Pacitanku.com)

Pacitanku.com, PRINGKUKU – Obyek wisata alam Sentono Genthong yang terletak di Desa Dadapan, Kecamatan Pringkuku, Pacitan rupanya kini menjadi primadona masyarakat.

Panorama yang indah ditambah suasana sejuk menambah keelokan kawasan ini. Apalagi, berbagai fasilitas serta beberapa event penunjang obyek wisata ini telah diselenggarakan oleh pengelola setempat, sehingga semakin menambah keindahan dan ramainya Sentono Genthong.

Namun siapa sangka, ternyata kawasan ini memiliki nilai sejarah yang kuat, terutama di Pacitan pada khususnya dan pulau Jawa. Mengapa demikian? Karena berdasarkan penuturan para narasumber, kawasan ini pernah menjadi petilasan oleh ulama masyhur bernama Syekh Subakir dalam menyebarkan Agama Islam di Nusantara.

Sebagai informasi, Syekh Subakir dikenal sebagai ulama besar yang berperan penting dalam penyebaran agama Islam di Nusantara sebelum hadirnya Wali Songo. Wali Songo dulu berjuang menyebarkan agama Islam di tengah agama yang sudah ada lebih dulu, yakni Hindu dan Budha. Peran Syekh Subakir yang lebih dulu ada sebelum Wali Songo, mestinya memiliki perjuangan yang sama besarnya dalam menegakkan ajaran Islam.

Secara turun temurun, masyarakat Jawa di sana percaya bahwa Syekh Subakir merupakan pensyiar Islam pertama di Pulau Jawa.

Nah, Syekh Subakir sendiri adalah salah seorang ulama yang dikirim khalifah dari Kesultanan Turki Utsmaniyah Sultan Muhammad I untuk menyebarkan agama Islam di Nusantara. Ulama asal Persia ini, adalah sosok yang ahli dalam merukyah, ekologi, meteorologi dan geofisika. Beliau diutus secara khusus menangani masalah-masalah ghaib dan spiritual yang dinilai telah menjadi penghalang diterimanya Islam oleh masyarakat Jawa ketika itu.

Berdasarkan Babad Tanah Jawi, setelah sampai ke Nusantara, Syekh Subakir yang menguasai ilmu gaib dan dapat menerawang makhluk halus, mengetahui penyebab utama kegagalan para ulama pendahulu dalam menyebarkan ajaran Islam adalah karena dihalangi para jin dan dedemit penunggu Tanah Jawa.

Diceritakan, para jin, dedemit, dan lelembut tersebut bisa mengubah wujud menjadi ombak besar yang mampu menenggelamkan kapal berikut penumpangnya, dan menjadi angin puting beliung yang mampu memorakporandakan apa saja yang berada di depannya.

Lalu, bagaimana ceritanya bisa sampai di Pacitan, teruatama di Sentono Genthong? Rupanya di kawasan Sentono Genthong ini, diduga ditancapkan paku bumi yang pernah ditancapkan sejumlah ulama kondang dari Kalingga Selatan.

Makna dari Sentono Genthong sendiri ada dua, dimana Sentono artinya abdi kerajaan, dan Genthong merupakan tempat menampung air. Pada zaman dahulu kala, air di dalam gentong itu tak pernah habis meskipun tiap hari digunakan untuk mandi dan berwudlu.

Berdasarkan beberapa referensi yang dikutip Pacitanku.com, salah satunya tulisan dari budayawan muda Muhammad Nurichwan, Sentono Gentong merupakan salah satu situs sejarah Islam di Pulau Jawa.

Dalam buku kuno sebagai sumber rujukan, kala itu rombongan Syekh Subakir sempat berlayar menuju pantai selatan. Mereka sempat singgah di sebuah yang disebut Wengker Kidul. Di kawasan Sentono Genthong, pada kisaran 1.500 tahun yang lalu, pernah terjadi sebuah prosesi sakral yang dilakukan Syeh Subakir.

Sebagaimana fakta sejarah yang dituturkan sejumlah ulama besar, bahwa di obyek wisata yang berjarak sekitar 10 Km dari pusat kota itu konon merupakan tonggak sejarah berdirinya Pulau Jawa. Sebab kala itu, diceritakan Syeh Subakir pernah menancapkan satu paku gaib persis di tanah Sentono Genthong. Diceritakan, selain di Sentono Genthong, dua paku lainnya berada di Gunung Tidar dan Tasikmalaya. Paku tersebut konon berusia 600 tahun lebih.

Dikisahkan, setelah melintasi hutan belantara pesisir selatan sampailah Syekh Subakir di pegunungan kapur yang membentang panjang bagaikan seribu gunung. Dia berhenti di tepi gunung ada lembah yang menyatu dengan teluk Samudera Selatan.

Dua bukit kapur sebelah barat, dan timur dalam pandangannya terpampang bumi yang terbelah. Dalam pandangannya dia juga melihat adanya peradaban yang terkubur zaman. Tempat yang sangat sepi nyaris tidak berpenghuni. Selain itu ia menemukan beberapa bekas pemujaan orang-orang kuno, pekuburan, lalu ia doakan.

Ia terkejut tanah yang diinjaknya kadangkala bergetar dan bergerak gerak, dia merasakan ada gempa kecil saling menyusul berpusat jauh dari dalam tanah.

Di tempat itu rombongan Syekh Subakir bertemu dengan sekelompok orang tempatan. Berpakaian setengah telanjang berambut kumal agak gimbal sedang membakar hewan buruan. Orang-orang itu tampak perasa terhadap pendatang. Menatap dengan curiga bisa jadi khawatir atau takut terganggu.

Syekh Subakir menyampaikan maksud tidak ingin menggangu, tujuannya ingin meruwat tanah yang kosong agar dapat dihuni. Akhirnya rombongan Syekh Subakir diterima dengan baik. Dalam percakapan diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang tersisa dan masih hidup dari bencana alam.

Asal usul pendahulu mereka adalah penjaga tempat pemujaan di bukit kapur. Mereka menunjukkan apa yang selama ini mereka jaga. Sebuah petilasan leluhur agung berupa tempayan dari tembikar yang kemudian disebut Sentono Genhtong.

Mereka berpesan agar Syekh tidak merusak petilasan itu. Dalam sebuah kesepakatan rombongan diperbolehkan melakukan ritual. Syekh Subakir taqarrub kepada Allah SWT agar tanah ini dijauhkan dari bencana, lalu ia menyembelih hewan qurban dan dibagikan kepada orang-orang tempatan itu.

Dalam legenda ini sebagian dari mereka menaruh potongan kaki binatang qurban itu ke dalam tempayan sebagai penghormatan pada leluhur mereka, sebagai sajen. Sesuai dengan kesepakatan bahwa pendatang harus menghormati yang didatangi.

Selesai melakukan ritual, lembah yang bergerak itu berangsur-angsur menjadi tenang. Bumi yang dipijak sudah aman untuk didirikan bangunan kembali. Syekh Subakir melanjutkan doa diikuti oleh orang-orang tempatan sebagai wujud terimakasih atas maksud dan tujuan mulia para pendatang. Dari situ mereka mengenal ajaran Islam.

Rombongan Syekh Subakir sembahyang diatas batu karang sementara air didapatkan dari Sendang Towo. Untuk memudahkan wudhu, beliau dibuatkan padasan (gentong yang ada pancurannya) diletakkan di sekitar petilasan Sentana Gentong.

Syekh Subakir memberi tahu kepada orang-orang tempatan bahwa kelak lembah ini akan ramai menjadi pemukiman. Setelah ini akan dibangun peradaban baru lagi. Orang tidak akan melupakan tempat ini sebagai persinggahan.

Setelah Syekh Subakir meninggalkan Bukit Karang untuk melanjutkan perjalanan, orang-orang tempatan membuat aling-aling dan cungkup Sentana Genthong dari ijuk. Hal ini dilakukan sebagai bentuk “pengeling-eling duk nalika semana” yang artinya pengingat peristiwa-peristiwa masa lalu, agar menjadi pelajaran dan kewaspadaan.

Sebagai salah satu penanda, di kawasan wisata Sentono Genthong ada satu bangunan khusus yang dimana pengunjung atau wisatawan tak boleh masuk ke dalamnya. Itu adalah petilasan Syekh Subakir saat berada di kawasan tersebut.

Beberapa waktu kemudian, Raden Mas Mudzakir yang tak lain masih keturunan ke IX dari Hamengkubuwono ke VII juga pernah meramalkan adanya patahan lempeng bumi yang melintas di kawasan Pacitan. Dan bukti tersebut sepertinya jika merujuk dari ahli geologi di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika seperti gayung bersambut. Sebab di kawasan tersebut ada sesar atau lempeng bumi yang merupakan patahan Pulau Jawa, yang kemudian disebut dengan sesar Grindulu.

Referensi: Jejak Sejarah di Pacitan dari Abad 12-15

[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=Sq1bk69gTfQ[/embedyt]