Kajian Yuridis dan Langkah Politis untuk Menanggulangi Banjir di Kabupaten Pacitan

oleh -1 Dilihat
Kondisi TKIT AL Izzah kedungbendo terdampak banjir. (Foto: IST)

Oleh: Guntur Seto Prabandaru

Banjir besar yang tahun 2017 lalu terjadi yang melanda Pacitan terasa masih menimbulkan trauma di hati kita masyarakat Pacitan, masih perih terasa saat mengingat harta benda  harus hilang atau rusak tertelan air bah. Trauma itu terasa menyembul begitu keras ketika hujan turun dengan intensitas yang tinggi  terutama untuk wilayah Kecamatan Arjosari, Kecamatan Tegalombo, Kecamatan Kebonagung, Kecamatan Ngadirojo dan Kecamatan Pacitan.

Tanpa mengurangi rasa duka terhadap korban banjir yang berulang, tanpa mengurangi rasa hormat kepada jajaran  pemerintah daerah yang bersiaga menangani korban  banjir, para relawan yang telah membantu pula, melalui tulisan ini saya ingin mencoba menguraikan apa yang sesungguhnya terjadi secara mengakar apa yang  kita alami dalam perpektif yang berbeda, serta mengambil tindakan strategis guna menangani banjir.

Elemen masyarakat Pacitan termasuk mahasiswa telah menyerukan adanya  normalisasi sungai melihat pada kondisi kerusakan sungai sungai dipacitan yang sudah parah, kerusakan tersebut terjadi karena : (1) Menyempitnya aliran air karena digunakannya bahu sungai untuk tanaman rumput gajah dan lain-lain. (2) Menumpuknya sendimen pada dasar sungai.

Hal tersebut telah begitu parah sehingga air laut pasang saat ini sudah tidak bisa kita lihat sampai pada jembatan Arjowingangun, sebagai akibat menumpuknya sendimen yang luar biasa, 30 tahun lalu kita bisa berenang dibawah jembatan Arjowinangun pada saat puncak kemarau sekalipun jika air laut sedang pasang, sekaligus ini mematahkan pendapat bahwa banjir itu salah satunya terjadi pada saat air laut pasang sehingga air sungai terhambat masuk ke laut.

(3) Menumpuknya sendimen di dalam sungai jelas menjadikan daya tampung sungai menjadi mengecil akibatnya potensi meluapnya air sungai menjadi lebih besar, otomatis potensi kerusakan tanggul pun juga menjadi lebih besar. Adanya gundukan sendimen yang melintang pada muara sungai  yang seharusnya  selebar 100 an kini menyempit hanya  kisaran 25 m saja, sehingga menghambat masuknya air sungai ke laut.

(4) Terlalu tajamnya tekukan atau tikungan arus air sungai, sehingga menghambat aliran air dan meningkatkan resiko kerusakan air karena aliran air yang tidak lurus.

Setidaknya 4  hal tersebut yang secara kasat mata menjadi sebab daya tampung sungai terhadap air hujan menjadi berkurang secara drastis, air hujan yang semestinya masih tertampung disungai akibat kerusakan tersebut menjadi meluber menghantam tanggul dan terjadilah kerusakan tanggul yang pada intinya menyebabkan banjir terjadi.

Desakan masyarakat untuk menuntut normalisasi terbentur sikap Pemda yang menyatakan bahwa normalisasi adalah bukan wewenangnya, dan menunjuk Kementrian Pekerjaan Umum cg Balai Besar bengawan Solo BBWS lah pihak yang berwenang untuk melakukan normalisasi.

Sementara itu surat dari masyarakat, dialog dll ditanggapi dingin oleh pejabat BBWS sebagai mana tanggapan yang diberikan atas surat permohonan yang dilakukan sebagaian elemen masyarakat. Nyatanya satu tahun berlalu nihil upaya penanganan sungai untuk mencegah terjadinya banjir dari kedua intansi tersebut.

Lalu dimana hak rakyat untuk mendapatkan perlindungan atas harta benda dan bahkan nyawanya dari bahaya banjir yang  nyata mengancam jika pemerintah daerah dan BBWS mengambil sikap yang demikian? Bukankah konstitusi menyatakan negara atau pemerintahan dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah dari segala ancaman termasuk ancaman banjir?

Bukankah pasal 65 UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah mengamanahkan kepada Kepala daerah  memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. Pemerintah pusat dalam hal ini BBWS atau kementrian PU  jelas punya tugas dan tanggung jawab untuk melakukan kegiatan pengelolaan sungai, namun melihat sikapnya yang demikian agak sulit mengharapkan adanya sebuah tindakan untuk mencegah banjir terjadi, masyarakat sudah berupaya untuk mendapat upaya pencegahan banjir dari BBWS namun ditanggapi dingin.

Situasi sudah sangat mendesak ancaman begitu menggelayut dibenak masyarakat manakala hujan turun khawatir banjir terjadi lagi. Harus segera diambil tindakan nyata demi menghindarkan jatuhnya korban. Karena sekali lagi menurut kami “satu nyawa terlalu banyak dan satu rupiah terlalu dholim untuk dikorbankan banjir”.

Menurut kami cara yang cepat mengingat kondisi yang sudah sedemikian mendesak adalah dengan cara menerbitkan Perda tentang normalisi sungai  atau perda tentang perlindungan sungai atau perda tentang pencegahan banjir, sesuai dengan amanah UUD 1945, Pasal 65 UU No 23 tahun 2014  dan pasal 236  UU no 23 tahun 2014 yang menyatakan bahwa Peraturan daerah dapat dibuat memuat muatan lokal,  yang didalamnya memuat materi tentang:

A. Pengerukan badan badan sungai yang digunakan sebagai lahan pertanian rumput gajah dll untuk menambah daya tampung sungai, Melarang aktifitas pertanian di wilayah sungai disertai ancaman pidana, Melarang pembuangan limbah urugan proyek ke sungai disertai ancaman pidana.

B. Pengerukan sendimen pada bagian sungai yang menumpuk termasuk gundukan yang ada di muara sungai. Jelas ini tidak sama dengan aktifitas penambangan pasir karena dilakukan berdasarkan perda atas  dasar kebutuhan yang bersifat khusus sesuai keadaan wilayah Pacitan.

Ini  menjadi hukum yang bersifat  khusus  yang mengalahkan hukum yang bersifat umum ( UU Pertambangan) sesuai asas hukum Lex specially derogat legi generali (hukum yang khusus mengalahkan hukum yang berifat umum.

Selain itu saya tidak melihat pertentangan antara UU minerba dengan rencana pembuatan perda sebagaimana tersebut diatas, karena kedua peraturan tersebut sama di buat untuk mensejahterkan masyarakat.

Jika menggunakan cara pandang yang berbeda misalkan bahwa untuk melakukan pengerukan sendimen sungai diperlukan ijin tambang agar tidak berbenturan dengan UU pertambangan minerba, maka pertanyaannya mengapa Pemerintah Daerah Pacitan tidak mengajukan ijin tambang pasir yang tentu bisa jadi menggunakan tangan perusda yang sudah ada atau perusahaan daerah yang baru yang bisa digunakan untuk keperluan tersebut.

jika ijin tambang pasir bisa diberikan kepada Perusahaan daerah pada titik titik yang penting untuk dilakukan pengerukan maka persoalan legalitas pengerukan sendimen sebenarnya bisa diselesaikan dan masyarakat dapat terhindar dari  resiko kebanjiran yang jelas menghancurkan pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat.

C. Melakukan pelurusan aliran air di sungai sehingga tikungan air bisa diminimalisir.

Upaya pelurusan sungai mungkin dilakukan jika ada kesadaran bersama khususnya masyarakat pemilik lahan karena jelas mereka yang akan terdampak atas upaya pelurusan aliran sungai tersebut. namun jika kesadaran itu ada mengingat upaya pelurusan aliran sungai pasti akan mengakibatkan sisa lahan maka jika disetujui oleh pemilik lahan bisa dilakukan dengan cara tukar menukar tanah dari yang diperlukan untuk pelurusan aliran air dengan bekas sungai yang melingkar.

Pemilik lahan yang tanahnya digunakan untuk pelurusan aliran sungai akan ditukar dengan bekas aliran sungai tentu perbandingannya lebih luas tanah pengganti  dengan tanah yang digunakan untuk meluruskan aliran air sungai. Mengingat luas lahan yang digunakan untuk aliran air yang melingkar pasti lebih luas jika dibandingkan dengan aliran sungai yang lurus.

Upaya ini meskipun penting tidak terlalu prioritas namun jika semua ada niat baik maka hal tersebut inshaalloh akan terealisasi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pula. Jika upaya pelurusan secara total tidak terealisasi setidaknya dapat diilakukan upaya pengurangan tikungan air misalkan ditentukan maksimal 30  derajat.

D. Dan lain lain, sesuai dengan aspirasi yang berkembang didalam masyarakat.

Dari upaya yang ditawarkan dalam huruf a sampai dengan d tersebut  dapat dipilih priorotas pekerjaan yang dapat dilakukan disesuaikan dengan sumberdaya dan sumber dana yang ada. Huruf a tentu lebih mudah dilakukan mengingat singgungan dengan peraturan perundangan lain akan lebih minim dibandingkan dengan upaya pada huruf b, c dan d.

Selain itu persoalan menjadikan larangan badan sungai atau selokan sebagai tempat bercocok tanam sudah menjadi kearifan lokal yang hidup dimasyarakat Pacitan tinggal memformalisasikannya dalam bentuk Perda. Selain itu pula jika mengharapkan aturan pelarangan badan sungai untuk kegiatan pertanian agak sulit diharapkan dalam bentuk undang undang atau peraturan lain, sebab kondisi masing masing sungai di Indonensia sangat berbeda beda.

Jika hanya ini pun yang dijalankan untuk meminimalisir terjadinya banjir, sangat mungkin dapat meminimalisir resiko banjir mengingat begitu banyaknya badan sungai yang digunakan untuk areal pertanian. 

Upaya ini harus dijalankan justru demi menjalankan tiga tujuan hukum itu sendiri yaitu untuk memberikan perlindungan/keadilan, memberikan manfaat (maslahat) dan memberikan kepastian hukum.  Adil dan melindungi rakyat jelas karena rakyat bisa terhindar dari banjir, segelitir orang yang menangguk untung dari rumput gajah misalkan harus dikalahkan demi  perlindungan terhadap mayoritas rakyat.

Memberi maslahat, jelas  karena rakyat terhindar dari kerugian kerugian, kebangkrutan, pemerintah daerah bisa mengalihkan dana dan tenaga untuk penanggulangan banjir untuk kegiatan yang lain. Memberikan kepastian bahwa perda tersebut bersumber dari perintah undang undang dasar 1945 untuk melindungi rakyat, bersumber dari UU pemerintah daerah  dan kehendak dari mayoritas rakyat pacitan berdasarkan kebutuhan yang strategis dan mendesak, dan sudah sesuai dengan asas hukum tersebut diatas.

Tentu akan ada diskusi lagi kemampuan daerah untuk mendanai kegiatan tersebut, sudah barang tentu hal tersebut harus difikirkan bersama, salah satunya adalah dengan cara mengangarkannya melalui APBD. Jika sekian banyak taman dibangun, maka jauh lebih penting menghindarkan banjir dari pada membangun taman, karena  dari itu semua adalah soal rasa aman dan perlindungan terhadap harta dan nyawa setiap warga daerah.

Pendanaan yang mungkin digunakan adalah jika proses normalisasi menggunakan menggunakan ijin tambang pasir oleh perusahaan daerah maka adalah sah menjual hasil tambang tersebut untuk kemudian digunakan kembali untuk mendanai kegiatan normalisasi, jika menggunakan perda tanpa ijin tambang maka penetapan hasil pengerukan material sungai sebagai sumber penghasilan daerah yang sah melalui perda tersebut.

Sudah barang tentu jika yang dibayangkan adalah proyek dengan termin waktu tertentu akan dibutuhkan banyak biaya dan kesulitan penjualan material sendimen, namun jika dilakukan secara konsiten sepanjang waktu selama masih dibutuhkan normalisasi sungai maka pendanaan dari APBD maupun pemasukan dari penjualan material akan sangat mungkin mencukupi kebutuhan dana untuk keperluan kegiatan ini.

Adalah lebih baik dilakukan secara terus menerus supaya meningkatkan kesadaran bersama akan pentingnya menjaga sungai.

Untuk merelisasikan Perda sebagaimana tersebut diatas maka saya sebagai calon anggota legislatif jika terpilih maka akan berusaha merealisasikan perda tersebut dengan cara meyakinkan pihak esekutif dan rekan legislatif yang lainnya agar perda tersebut direalisasikan secepatnya.

Apabila tidak terealisasi dengan alasan apapun  maka kami akan melakukan upaya untuk meyakinkan pemerintah pusat agar kegiatan normalisasi sungani grindulu dan sungai sungai lain di Pacitan dapat dilakukan melalu berbagai cara lobying, maupun upaya sosiologis lainnya agar normalisasi sungai dapat di realisasikan, demi menghindarkan warga masyarakat pacitan dapat terhindar dari bencana banjir.