Simak Serunya Komunitas Seni PLB Tour di Negeri Kanguru

oleh -1 Dilihat
World premiere performance. Photo credit: Yumi Umiumare/ButohOut.

Pacitanku.com, MELBOURNE – Pradapa Loka Bhakti atau yang saat ini dikembangkan menjadi Sampang Agung Center for Performing Art (SACPA) telah berada di Australia sejak tanggal 14 April yang lalu. Selama 17 hari, pegiat budaya tersebut tour show di Melbourne dan Rainbow.

Sebagaimana siaran pers yang diterima Pacitanku.com dari Melbourne pada Sabtu (21/4/2018), di kota pertama, Melbourne, mereka diundang ke festival BUTOHOUT!, yang telah digelar sejak seminggu yang lalu, dan diikuti oleh seniman-seniman dari berbagai negara.

World premiere performance. Photo credit: Yumi Umiumare/ButohOut.

Menurut asisten koreografer dan musisi SACPA Deasylina da Ary, SACPA membawa 17 personil yang terdiri dari 8 penari yang tergabung dalam group Breathing Forest Dance theater yaitu Anes Ayu Pratiwik, Yasinta Wenda Mulasari, Ariesta Maharani, May Widhiyastuti, Umi Royani, Windiasari, Yuliani Tri Kusuma Ningsih dan Fitria Dania Julianti.

Selain itu, tujuh musisi yang tergabung dalam Whiffling of The Forest Gamelan Ensemble (Johan Adiyatma Baktiar (komposer dan musisi), Aryasa Yusuf Pratama, Anang Setiawan, Adif Jamil Pradana, Ridwan Akhrin Nurun Naim, Diana Nur Hayati, Deasylina da Ary (asisten koreografer dan musisi); 1 orang administrasi dan manajemen (Anik Puji Rahayu) dan seorang pimpinan sekaligus koreografer dan sutradara dari karya ‘Dry Leaf’ karya utama dalam tour show ini yakni Agung Gunawan.
“Karya ‘Dry Leaf’ ini akan ditampilkan 4 hari berturut-turut, mulai tadi malam di Abbotsford Convent, Melbourne, Victoria, Australia. Dan pertunjukan perdana rupanya mampu membius para penonton yang hadir sehingga mendapat standing applause,”ungkapnya.

Dia mengatakan, usai sukses menggelar performance di hari pertama, di hari kedua kedatangan SACPA di Melbourne, Whiffling of The Forest Gamelan Ensemble diundang untuk mementaskan karya musik mereka di Cross Street Hall, Melbourne.

Pementasan ini mendapat tanggapan bagus dari penonton. Penonton mengatakan bahwa karya-karya mereka berbeda, karena mengolah gamelan secara kreatif dan membawa ‘rasa’ lingkungan Pacitan di dalamnya.
“Selain pertunjukan, para personil SACPA juga mendapat kesempatan untuk jalan-jalan mengeksplorasi kota Melbourne. Federation Square, State Library of Victoria, National Galery of Victoria, dan Swanston Street menjadi tempat penjelajahan,”jelasnya.

Di kota kedua, Rainbow, SACPA diundang ke OASIS RAINBOW The Embodied Landscape, sebuah festival pertukaran budaya yang juga melibatkan berbagai negara. Selama seminggu di Rainbow, SACPA tidak hanya mempertunjukkan karya ‘Dry Leaf’, juga karya-karya pendek seperti Ruung Sarung, ‘Songkrek’, ‘Mubeng Beteng’, ‘Ngremo’, ‘Jejer’, ‘Doremidosal’; tetapi juga akan memberikan Workshop Tari Eklek, workshop masakan Indonesia, dan juga terlibat di dalam forum-forum diskusi.

Tak hanya performance, SACPA juga menggelar workshop dan forum diskusi untuk karya ‘Pacitanian (Model Pendidikan Seni Berorientasi Lingkungan)’ bersama anak-anak sekaligus orang tua warga masyarakat Rainbow, yang dipimpin oleh Deasylina da Ary.

World premiere performance. Photo credit: Yumi Umiumare/ButohOut.

“Workshop ini secara khusus diminta oleh direktur Rainbow, Dianne Dickson, untuk memberikan pengalaman langsung tentang kehidupan masyarakat Pacitan kepada masyarakat Rainbow,”kata Deasylina.

Selain itu, di Rainbow nanti SACPA juga mempunyai kesempatan untuk berinteraksi dengan komunitas Aborigin. Mereka akan berkolaborasi membuat sebuah karya yang bisa dikembangkan dikemudian hari (work in progress).

Sementara, Agung Gunawan, pimpinan sekaligus koreografer dan sutradara SACPA mengatakan, tour show ini adalah hasil kerja keras selama dua tahun.

Agung menjelaskan bahwa project ini tak lepas dari Bantuan dari banyak pihak. Terima kasih kepada Adelle Rohrsheim, Dianne Dickson, Tony Yap, Yumi Umiumare, Kien Faye, Adam Forbes, Holly Huon, Helen Soemardjo, Ria Sumardjo, dan Kiea Kuan Nam.
“Dedikasi, disiplin, tanggung jawab, dan profesionalitas dari tiap individu personil sangat dituntut. Ini bukan pekerjaan yang mudah mengingat mereka bukanlah seniman profesional, dan umur mereka yang masih muda (9-19 tahun),”katanya.

Penyunting: Dwi Purnawan