Ketika PKI Menghabisi KH Hamid Dimyathi Tremas Pacitan

oleh -4600690 Dilihat
Agenda MaulidurRasul di Pondok Tremas. (Foto : Pondok Tremas)
Foto ilustrasi Pondok Tremas. (Foto : Pondok Tremas)
Agenda MaulidurRasul di Pondok Tremas. (Foto : Pondok Tremas)
Foto ilustrasi Pondok Tremas. (Foto : Pondok Tremas)

Pacitanku.com, PACITAN – Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1948 tak bisa dihapuskan dari sejarah negeri ini. Korban yang jatuh akibat kekejaman PKI sangat banyak, termasuk pemimpin Pondok Pesantren Tremas, Pacitan KH Hamid Dimyathi.

Peristiwa ini bermula saat 18 September 1948, PKI/Front Demokrasi Rakyat (FDR) melakukan pemberontakan terhadap Republik Indonesia RI. Peristiwa ini dikenal dengan Pemberontakan PKI 1948 di Madiun.

Pemberontakan tersebut juga merembet ke Pacitan. Kala itu, Pacitan adalah salah satu yang masuk dalam kesatuan wilayah Karesidenan Madiun. Daerah lainnya adalah Kabupaten dan Kota Madiun, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Magetan, dan Kabupaten Ngawi.

Di Pacitan, terdapat Pondok Pesantren Tremas yang kala itu dipimpin KH Hamid Dimyathi. KH Hamid Dimyathi merupakan putra dari KH Dimyathi, dan cucu dari KH Abdullah. KH Abdullah merupakan salah satu anak dari pendiri Pesantren Tremas, KH Abdul Manan.




KH Hamid Dimyathi juga merupakan ketua Partai Masyumi di Kabupaten Pacitan. Pada 24 September 1948, Partai Masyumi mengeluarkan pernyataan mendukung pemerintah dan membantu menindas pemberontak PKI Muso dan FDR serta membasmi pemberontak dan pengkhianat negara.

Sebelum munculnya Pemberontakan PKI di Madiun, suasana kacau begitu terasa di Pacitan. Pondok Tremas pun termasuk salah satu sasaran tentara-tentara PKI yang mengganas, membabi buta dan menghancurkan apa saja yang mereka kehendaki. Keamanan Pondok Tremas semakin terancam.

Kondisi tersebut membuat KH Hamid Dimyathi yang juga ketua penghulu di Pacitan prihatin. Dia mencoba melakukan kontak dengan pemerintah pusat di Yogyakarta, untuk melaporkan kondisi Pacitan.

Lantaran laporan gagal disampaikan via telepon, KH Hamid Dimyathi memutuskan berangkat ke Yogyakata. Sebanyak 14 orang, ikut bersamanya. Di antara mereka adalah Djoko, Abu Naim, Yusuf, dan Qosim. Mereka adalah para kakak dan adik ipar KH Hamid Dimyathi. Ada juga Soimun.

Dengan berjalan kaki, mereka menyusuri jalan pintas. Agar tak diketahui PKI, mereka menyamar. Nahas, saat rombongan ini berhenti di sebuah warung di wilayah Pracimantoro (selatan Wonogiri), Jawa Tengah, penyamaran mereka terbongkar oleh gerombolan PKI yang telah menguasai daerah ini. Pracimantoro merupakan rute perjalanan yang harus ditempuh dari Pacitan menuju Yogyakarta.

Mereka ditangkap, disekap, dan disiksa di Baturetno, wilayah yang cukup tersembunyi di Wonogiri dan memiliki jalur yang cukup strategis karena dekat dengan Madiun dan Ponorogo.

Satu minggu kemudian, mereka dipindah ke Tirtomoyo, Wonogiri. Di daerah ini, KH Hamid Dimyathi dan rombongan dihabisi. Tak cuma itu, jasad mereka dimasukkan ke dalam satu lubang semacam sumur.

Satu orang yang ada dalam rombongan ini, Soimun, dibiarkan hidup. Soimun sengaja dibiarkan hidup karena PKI berharap peristiwa itu dikabarkan ke keluarga, dengan harapan umat Islam yang kontra PKI lebih merasa ketakutan.

Setelah situasi aman, pelacakan dilakukan berdasarkan petunjuk yang disampaikan Soimun. Kuburan massal di bekas sumur tua akhirnya ditemukan. Namun, ketika dilakukan evakuasi dari dalam lubang sumur tersebut hanya ada 13 mayat yang kondisinya mengenaskan dan sangat sulit dikenali. Jenazah para syuhada ini lalu dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Jurug Surakarta.

Sumber: Sindonews.com