Saksi Ahli: Korupsi Gedung Among Warga tak Dilakukan Sendirian

oleh -1 Dilihat

Pacitanku.com, PACITAN – Dugaan keterlibatan pihak lain selain Mawardi dalam kasus dugaan korupsi pembangunan gedung serbaguna Among Warga di Desa Gendaran Kecamatan Donorojo makin menguat. Hal itu mengacu pada keterangan saksi ahli dari Universitas Brawijaya (UB), Malang Dr Lucky Endrawati ketika memberikan kesaksian di Pengadilan Negeri (PN) Pacitan dalam sidang praperadilan Mawardi, kemarin (21/12).

Menurut dosen hukum pidana tersebut, perbuatan tindak pidana korupsi itu merupakan sebuah maladministrasi. Dengan kata lain, tindakan tersebut tidak mungkin dilakukan satu orang. Patut diduga ada rentetan orang lain yang terlibat dalam sebuah tindak pidana korupsi. ‘’Pasti ada orang yang menentukan kebijakan. Nggak mungkin kebijakan dibuat oleh satu orang. Terutama, kalau tindak pidana korupsi itu terkait dengan lembaga pemerintah atau lembaga swasta yang menggunakan dana pemerintah,’’ jelas Lucky.

Dia juga mengatakan bahwa pasal 55 KUHP yang dijadikan untuk menjerat tersangka tidak benar. Sebagaimana diketahui, Mawardi dijerat pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor juncto pasal 55 KUHP. Pasal yang disangkakan kepada tersangka Mawardi tersebut sama persis dengan perkara yang dihadapi Dahlan Iskan. ‘’Kalau misalnya kasus Dahlan Iskan itu menggunakan pasal 55 KUHP, berarti ada beberapa orang yang ada disitu. Tapi, kenapa harus satu orang (tersangka),’’ katanya.




Keterangan saksi ahli tersebut seolah membuka pandangan publik soal keterkaitaan wakil ketua DPRD Mardiyanto dan Kepala Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Kebersihan (DCKTRK) Pacitan Edy Junan Ahmady yang disebut Mawardi dalam berkas materi permohonan gugatan praperadilan. Kedua nama tersebut selama ini memang dikaitkan dengan kasus pembangunan gedung serbaguna Among Warga.

Hanya saja, keduanya seolah cuci tangan. Alasannya, Mardiyanto mengaku tidak terlibat dalam kasus tersebut. Sebaliknya, legislator asal PDI Perjuangan itu berdalih ikut menyumbangkan tanah dan membiayai sewa alat berat untuk menunjang proses pengerjaan gedung serbaguna tersebut. Sedangkan, Junan berkelit hanya melakukan monitoring. Dan menepis terlibat langsung dalam pelaksanaan pembangunan gedung serbaguna senilai Rp 350 juta tersebut.

Dalam persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli itu juga terungkap bahwa alat bukti yang dijadikan oleh pihak kejaksaan untuk menjerat Mawardi sebagai tersangka tidak sesuai dengan yang dimaksud dalam pasal 184 KUHAP. Penyidik kejaksaan menjadikan keterangan para saksi dan audit atau hasil pemeriksaan forensik bangunan oleh tim ahli dari UB untuk menetapkan Mawardi sebagai tersangka.

Lucky menambahkan, sepatutnya dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka tindak pidana korupsi penyidik tidak gegabah. Minimal harus mengantongi bukti permulaan dan dua alat bukti yang cukup sesuai dengan ketentuan pasal 184 KUHAP. Baru kemudian menjatuhkan sangkaan pasal kepada pelaku atau tersangka. ‘’Jadi sangat sederhana. Kalau alat buktinya tidak terpenuhi kenapa harus ada tersangka. Apabila dipaksakan ada tersangka, nanti akan menjadi perseden buruk dunia peradilan,’’ ujar perempuan yang meraih gelar doktor ilmu hukum di Universitas Diponegero (Undip) Semarang itu.

Ketua tim kuasa hukum Mawardi, Yusuf Wibisono menerangkan, audit forensik dari tim ahli tersebut hanya merupakan petunjuk. Sehingga, tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti. Apalagi saat Mawardi ditetapkan sebagai tersangka, penyidik kejaksaan juga belum mengantongi besaran kerugian negara yang timbul. Kerugian negara baru diungkap setelah Mawardi ditetapkan sebagai tersangka tunggal. Yaitu, sekitar Rp 80 juta. ‘’Kerugian negaranya saat itu belum ada. Di situ (alat bukti) tidak ada sama sekali,’’ tutur Yusuf.

Yusuf menegaskan, posisi Mawardi berada di luar kepengurusan panitia pembangunan gedung serbaguna tersebut. Dia dimintai tolong atau disuruh untuk membelanjakan material bangunan. ‘’Jadi, orang ini (Mawardi) di luar sistem. Dan, tidak ada penyertaan laporan pertanggungjawaban. Jadi, hanya sekedar disuruh-suruh,’’ ungkap pengacara asal Nganjuk tersebut.

Terpisah, Kasi Pidsus Kejari Pacitan Marvelous menyerahkan sepenuhnya kepada putusan majelis hakim terkait perkara praperadilan yang diajukan oleh Mawardi. Dia juga enggan berpolemik dan menanggapi panjang lebar keterangan saksi ahli yang dihadirkan pihak pemohon. ‘’Yang jelas kami ikuti hukumnya. Serta aturannya seperti apa, kami jalani saja,’’ ujarnya.

Mantan Kasi Pidsus Kejari Pemalang itu juga enggan mengomentari lebih jauh soal anggapan penetapan tersangka melanggar hukum acara pidana. Sekali lagi, dia menyerahkan masalah itu kepada majelis hakim untuk melakukan penilaian. ‘’Biarkan hakim yang menentukan. Karena memang putusan bukan ada pada lawyer maupun penyidik, tapi ada di hakim. Kita hormati. Kita tidak perlu emosi,’’ ujarnya. (her/yup/RAPP002)

Sumber: Radar Madiun