Kata Bule Swiss: Watukarung Hari ini Mirip Bali 35 Tahun Lalu, Damai dan Indah

oleh -6 Dilihat
Keindahan Pantai Watukarung menginspirasi surfer membuat video. (FOto: MySUrfTV)
Keindahan Pantai Watukarung menginspirasi surfer membuat video. (FOto: MySUrfTV)
Keindahan Pantai Watukarung menginspirasi surfer membuat video. (FOto: MySUrfTV)
Keindahan Pantai Watukarung menginspirasi surfer membuat video. (FOto: MySUrfTV)

Pacitanku.com, PRINGKUKU – Siang itu, terik matahari bercampur udara tropis menyengat kulit beberapa wisatawan dari Eropa dan Asia Timur yang sengaja memilih berjemur di atas pasir putih Pantai Watukarung Pacitabn, Jawa Timur yang lembut.

Mengenakan setelan bikini minim, para pelancong asing itu seolah membiarkan kulitnya terbakar hingga berwarna kemerahan.

Suasananya begitu nyaman dan menenangkan. Hamparan pasir putih sepanjang tiga kilometer, air laut biru kehijauan, serta gulungan ombak berpadu menjadi panorama alam yang sangat indah.

Sensasi Pantai Watukarung kini terletak pada kondisi alamnya yang masih orisinal.

Dipadu pengembangan properti seperti “cottage”/rumah singgah (homestay) dengan sentuhan modern, namun dengan konsep menyatu dengan alam sekitarnya.

Rasanya saat pertama kali menginjakkan kaki di pantai ini, sensasinya seperti tengah berwisata di Pulau Dewata.

Ada beberapa cottage pinggir pantai dibangun dengan posisi langsung menghadap laut, serta sejumlah turis asing yang berjemur menikmati udara tropis.

Tidak ramai, akan tetapi justru itu yang menjadi kelebihan Pantai Watukarung yang terletak di kawasan pesisir Desa Watukarung, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur ini.

Nuansa orisinal budaya pesisir selatan Jawa yang toleran terhadap budaya baru dari daratan Eropa (Barat), membuat banyak turis asing betah berlama-lama tinggal di sini.

Apalagi Watukarung memiliki wahana wisata selancar berkelas dunia yang banyak diburu peselancar dari berbagai negara.

Gulungan ombak setinggi empat hingga enam meter di antara dua batuan karang di lepas perairan Pantai Watukarung menjadi magnet peselancar asing dari berbagai belahan dunia untuk datang.

Di kawasan pesisir Dusun Ketro, Desa Watukarung yang berjarak sekitar 40 kilometer dari pusat Kota Pacitan ini, para peselancar profesional adu adrenalin menaklukkan ombak Pantai Selatan Jawa yang dikenal ganas.

“Nomor satu pemandangan, terus masyarakat Watukarung bagus baik, saya ingat Bali 35 tahun yang lalu, persis seperti ini,” ungkap Roman Gerper, ekspatriat asal Swiss bertutur tentang Watukarung.

Roman Gerper hanyalah satu dari sekian warga asing atau ekspatriat yang telah menanamkan investasinya di Watukarung sejak lima tahun silam.

Membeli puluhan hektare lahan penduduk lokal lalu mendirikan cottage ataupun rumah singgah (homestay) bagi para pelancong untuk berwisata “surfing” alias selancar.

Ada sedikitnya 21 homestay saat ini berdiri lahan pesisir atau bukit karang Pantai Watukarung. Sebagian milik ekspatriat yang diatasnamakan istrinya yang pribumi, ataupun milik warga lokal.

Naluri bisnis Roman yang melihat potensi wisata Pantai Watukarung saat masih benar-benar “perawan”, sekitar 2010-2011 itu nyatanya terbukti. Mayoritas wisatawan yang datang, apalagi peselancar, mengaku senang dan betah berlama-lama di Pantai Watukarung.

Steve dan kekasihnya Gabriel yang sama-sama asal Prancis, mengaku telah sepekan menginap di Pantai Watukarung.

Steve siang itu menemani sang pacar yang asyik membaca buku bertema “Story All About Indonesia” sambil berjemur di tepi pantai.

Keduanya rebahan di atas pasir dengan satu siku menopang sebagian tubuh agar kepala tetap tegak menghadap pemandangan laut.

Sementara beberapa turis lain memilih berteduh di bawah perdu yang tumbuh alami di pinggir pantai. Ada juga yang berjemur sambil bermain kamera DSLR lengkap dengan lensa teleskop panjang, memotret rekannya yang sedang berselancar.

“Kami menikmati ketenangan dan keindahan panorama alam di sini, masyarakat Watukarung ramah. Membuat kami betah berlama-lama di sini,” tutur Steve dalam Bahasa Inggris dialek Prancis.

Steve sendiri tidak bisa berselancar, juga tidak pandai berenang. Sesekali ia hanya bermain air di pinggir pantai menemani Gabriel, atau melihat sang kekasih bermain selancar dengan beberapa peselancar asing lain.

Uniknya, Steve mengaku belum pernah ke objek wisata lain di Indonesia, termasuk Bali.

Saat memilih destinasi wisata di kawasan tropis Asia Tenggara, Steve dan Gabriel langsung memilih Watukarung yang informasinya diperoleh dari sesama pecinta wisata “backpacker” lalu menelusurinya di internet hingga mendapat informasi lengkap di layanan android “Go Pacitan”.

“Lagian Bali sekarang sudah terlalu ‘crowded’ (ramai). Teman-teman peselancar lebih suka di Watukarung karena ombaknya yang bagus, dan pemandangan alam pesisirnya yang masih alami,” timpal Van Dick, peselancar asal negeri Kincir Angin, Belanda.

Van dick maupun Steve menyatakan jatuh cinta dengan nuansa Pantai Watukarung. Bukan saja karena pemandangan alam dan gulungan ombaknya yang eksotis, namun juga terpikat oleh keramahan penduduk lokal.

“Sometime when i back to my country, i must plan to visit Watukarung anymore and more (Suatu saat jika pulang nanti, aku pasti akan kembali),” ucap spontan Steve sebelum kembali rebahan di pinggir pantai, tak jauh dari posisi Gabriel berjemur sambil membaca buku.

Sesaat keduanya terlihat asyik dengan dunia masing-masing, sebelum kemudian beranjak berenang dan bermain air di tepi Pantai Watukarung yang bening.

Kearifan Lokal Salah satu kelebihan masyarakat Pacitan, khususnya Watukarung dalam pengembangan sektor keparwisataan selama beberapa tahun terakhir adalah nilai budaya dan kearifan lokalnya.

Sekalipun memegang teguh adat-istiadat budaya timur dan spiritual keagamaan yang kuat, tidak terjadi pergesekan budaya saat para wisatawan mancanegara yang membawa budaya bikini super minim itu datang.

Menurut Kepala Desa Watukarung Wiwit Peni Dwi Artari, masyarakat di desanya permisif dengan budaya asing yang dibawa para wisatawan luar, namun tetap dengan pemberlakuan batasan-batasan tertentu.

Ia mencontohkan soal kebiasaan wisatawan asing mengenakan bikini model “two piece” yang super minim.

Demi menjaga etika dan tidak bertabrakan dengan adat timur yang “diugemi” (dianut) warga Pacitan dan Watukarung, wisatawan berbikini hanya boleh berjemur di “spot” Jantur, pesisir Pantai Watukarung yang terlindung tanaman perdu cemara.

Di spot-spot lain, wisatawan di larang berpakaian minim ataupun perilaku lain yang bertentangan dengan azas kesusilaan budaya Jawa yang santun dan mengedepankan kesopanan.

“Aturan itu diberlakukan agar aktivitas wisatawan tidak terlihat langsung oleh masyarakat, khususnya anak-anak,” tutur Wiwit Peni. Di luar area pantai, lanjut Peni, wisatawan dianjurkan berpakaian sopan.

Perkembangan objek wisata Watukarung yang kian mendunia sejak 2010 itu rupanya telah diantisipasi oleh seluruh elemen masyarakat Desa Watukarung.

Melalui forum rapat praperdes (pra penetapan peraturan desa), tutur Wiwit, berbagai aspirasi dari elemen masyarakat disampaikan, termasuk tokoh desa dan kalangan keagamaan.

“Setelah di tetapkan sebagai perdes, aturan itu berlaku mengikat baik kepada warga maupun semua pengunjung yang datang,” ucap Wiwit.

Upaya lain untuk mengantisipasi dampak sosial dinamika budaya baru di Watukarung, kata Peni, adalah dengan aktif melakukan pemeriksaan kesehatan terkait potensi penularan HIV/AIDS.

Bersama jajaran kepolisian dan elemen lain, Pemdes Watukarung juga acapkali menggelar sosialisasi bahaya psikotropika serta seks bebas, hingga kegiatan keagamaan tingkat RT/RW.

“Dampak pariwisata itu kan ada dua, positif dan negatif. (Dampak) Negatif ini yang coba kami minimalisir dengan mengoptimalkan kegiatan keagamaan serta mempertahankan kearifan lokal seperti seni karawitan yang ditampilkan di beberapa homestay,” ujarnya.

Kepala Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Pacitan Wasi Prayitno mengatakan, penguatan kearifan lokal memang menjadi prioritas daerah untuk mempersiapkan masyarakat siap menghadapi dinamika budaya imbas pertumbuhan sektor parwisata setempat.

Di area-area destinasi wisata, pihaknya membentuk kelompok sadar wisata dan desa-desa wisata, termasuk di Watukarung.

Wasi mengatakan, wisata yang mereka kembangkan di Pacitan adalah wisata syariah. Artinya, pengembangan wisata yang ada tidak boleh melanggar kententuan agama dan menghormati budaya lokal.

“Budaya lokal itu tidak ada cerita orang pakai bikini jalan-jalan di desa. Itu contoh. Kita akan sakit juga kalau melihatnya, kalau di pantai silahkan tapi jangan di tempat umum,” tambahnya.

Wasi menegaskan tidak bermaksud menerapkan aturan yang frontal bagi wisatawan, terutama turis asing yang membawa budaya liberalisme barat.

Menurut Wasi, konsep wisata syariah yang didengungkan ke berbagai kawasan wisata di Pacitan adalah kesadaran bersama untuk menghormati budaya serta nilai-nilai kearifan lokal.

“Jadi kami tidak terlalu kaku, tapi memiliki satu kaidah, normal sendiri. Turis harus menghormati itu, dan nyatanya wisatawan mancanegara ini rata-rata sangat senang jika diingatkan,” ucap Wasi.

Ia menjabarkan konsep wisata di Pacitan dalam program Sapta Pesona yang kini menjadi panduan pengelolaan di seluruh objek wisata di Pacitan.

Dalam Sapta Pesona itu, tercakup prinsip menciptakan kawasan wisata yang aman tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan.

Slogan, motto atau apapun istilah untuk tujuh prinsip pengembangan parwisata di Pacitan itu, nuansanya sangat terasa saat berkunjung di Pantai Watukarung maupun beberapa objek wisata lain.

Selain ramah dan familiar terhadap warga asing, masyarakat yang memanfaatkan kesempatan ekonomi dengan berjualan cendera mata, oleh-oleh ataupun menawarkan jasa tidak pernah membanderol harga selangit.

Seperti telah ada kesepakatan untuk tetap menawarkan paket murah berkualitas sehingga pengunjung tidak kapok ataupun harus repot belanja/membawa bekal dari luar untuk sekedar makan siang di pesisir Pantai Watukarung.

Cukup mampir ke warung Bu Asih, misalnya, yang ada di sekitar pantai yang menawarkan aneka masakan laut ataupun khas Pacitan lengkap dengan kopi panas dan aneka hidangan lain yang rasanya “mak nyuss”.

Dijamin betah dan selalu ingin kembali. Apalagi jika bermalam menikmati siluet saat sunrise (mataharai terbut) maupun sunset (matahari tenggelam) dari tepian pasir pantai Watukarung yang eksotis. “Sumpah, akupun ingin kembali! Seperti Steve dan pacarnya yang jatuh cinta dengan Watukarung”. (RAPP002/Ant)