Kenangan Hari Pahlawan Bagi Moechtar, Mantan Pimred Panjebar Semangat Asal Pacitan

oleh -8 Dilihat

Pacitanku.com, SURABAYA – Hari ini, Selasa (10/11/2015) seluruh rakyat Indonesia memperingati hari pahlawan, yang dilandasi dari pertempuran gagah berani arek-arek Suroboyo pada 10 November 1945 lalu. Banyak kisah menarik seputar peringatan hari pahlawan, salah satunya seperti yang dialami oleh Moechtar, pria asal Pacitan yang juga mantan pemimpin redaksi Panjebar Semangat ini.

Sebagai informasi Panjebar Semangat, majalah berbahasa Jawa yang terbit di Surabaya, yang kala itu juga turut menjadi saksi gigihnya perjuangan arek-arek Suroboyo yang dikomandani Bung Tomo dalam melawan penjajah.

Adalah siaran radio berisi pidato Bung Tomo pada seputar Pertempuran Surabaya 10 November 1945 yang menjadi kenangan Moechtar. Pria yang kini berusia 90 tahun tersebut berkisah kepada Tempo.co tentang siaran radio Bung Tomo.

Saat itu, dalam situasi  yang tak menentu sehingga sekolah libur, Moechtar yang saat itu sekolah di Yogyakarta, mengungsi ke Kediri.  Selama tinggal di rumah pamannya ini,  Moechtar  punya kegiatan yang hampir rutin tiap hari. Ketika jarum jam menunjuk jam lima petang,  Moechtar mendapat  tugas untuk mengeluarkan radio merk Philips yang berbentuk kotak, dari kayu. Moechtar menggambarkan, siaran itu dimulai dengan memutar lagu berjudul Tiger Shark.

Lagu ini karya Peter Hodykinson yang dinyanyikan oleh kelompok Hawaiian Islanders. Setelah intro Tiger Shark, suara berganti ke teriakan Bung Tomo memuji kebesaran Tuhan.  “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar,…” Lalu, suara berapi-api Bung Tomo bergema.

Suara lantang berpidato ala Bung Karno inilah yang menurut Mochtar, menjadi daya tarik. Menurut dia, banyak orang yang merinding mendengarkan Bung Tomo membakar semangat untuk perang melawan penjajah. “Saya saja merinding mendengarkannya,” kata Moechtar.  Menurut dia, tema besar pidato Bung Tomo tiap hari tentang melawan penjajahan.  Materinya berbeda, bergantung pada situasi yang terjadi saat itu.

mochtar
Mochtar mantan pemimpin redaksi Panjebar Semangat. (Foto: Tempo.co)

Menurut  Moechtar, siaran itu adalah siaran langsung, bukan dari hasil rekaman yang diputar ulang.  Yang menunjukkan siaran itu merupakan siaran langsung, Bung Tomo menyampaikan perkembang terakhir, yang dari hari ke hari berbeda situasinya. “Memang isi pokoknya adalah mengajak pemuda dan rakyat Indonesia untuk bersatu dan tidak gentar melawan penjajah,” kata Moechtar. 

Sebelum mengakhiri pidato, kata Moechtar, Bung Tomo kembali meneriakkan, “Allahu Akbar…” Setelah suara Bung Tomo hilang, lagu Tiger Shark kembali terdengar. Lagu ini sekaligus menutup mata acara siaran pidato Bung Tomo. Saat magrib tiba, seiring usainya pidato Bung Tomo, penduduk membubarkan diri, kembali ke rumah masing-masing. Menurut Moechtar, selama setidaknya tiga bulan, hingga menjelang Peristiwa 10 November 1945, ia mendengarkan pidato bersama penduduk Kediri di halaman rumah pamannya.

Ketika peristiwa 10 November 1945 pecah, Moechtar telah kembali ke Yogya untuk melanjutkan sekolah.  Di Yogyakarta, situasi juga tidak aman. Ia balik ke Pacitan. Setelah Class Action II yang berakhir, pada tahun 1950,  Moechtar  hijrah ke Surabaya ikut saudaranya yang tinggal di Surabaya.  Kebetulan ketika perang masih berkecamuk di Surabaya, sejumlah saudaranya mengungsi dengan cara balik ke kampung halaman di Pacitan. Setelah situasi tenang, mereka kembali ke Surabaya.

Moechtar bersama rombongan keluarga besarnya, pergi ke Surabaya dengan naik kapal milik Belanda dari Pacitan dan mendarat di Surabaya. “Kami mengitari setengah pulau Jawa dari selatan Jawa menuju pelabuhan di utara Pulau Jawa, di Surabaya,” kata Moechtar, sebagaimana dilansir dari Tempo.co.

Pria yang lahir di Pacitan 22 Februari 1925 ini awalnya berniat menjadi guru. Sebuah profesi yang menurut dia terhormat dan berwibawa. Tapi, tawaran menjadi guru ketika itu tidak untuk penempatan di Surabaya, tetapi di Bondowoso. Moechtar menolak tawaran itu, dan memilih bertahan di Surabaya. Ia bersama saudaranya sempat tinggal di Pasar Besar Wetan, di Surabaya. Kini, tidak jauh dari Tugu Pahlawan Surabaya.

Lewat interaksi dan perkenalan dengan sejumlah orang di Surabaya, pada tahun 1951 Moechtar menjadi wartawan untuk media bernama Harian Umum. Ia bekerja di media ini hingga tahun 1968. Ketika menjadi wartawan inilah, Moechtar kenal dengan Bung Tomo. Perkenalan pertama Moechtar dengan Bung Tomo terjadi pada tahun 1950, ketika wartawan Surabaya melakukan liputan mewawancarai tokoh di Tugu Pahlawan Surabaya.  Wawancara itu di lapangan terbuka. Moechtar tidak ingat persis ketika itu sedang wawancara apa, dan siapa tokoh itu.

Melalui Asmanu, kolega sesama wartawan di Surabaya, Moechtar diperkenalkan ke Bung Tomo. Semula, ia mengenal Bung Tomo dari suaranya saja. Karena kesamaan profesi, Moechtar kenal langsung dengan Bung Tomo. Kesan pertama Moechtar melihat dan kenalan dengan Bung Tomo adalah, ternyata Bung Tomo berbadan kecil tapi tubuhnya padat.

Ia tak menduga orang yang di radio terdengar bersuara gagah dan menggelora, ternyata secara fisik tubuhnya kecil. Bung Tomo, kata Moechtar, adalah tipe orang yang ramah dan hangat.  “Sejak itu, dalam beberapa kesempatan, saya bertemu Bung Tomo,” kata Moechtar.

Kini, Moechtar tinggal di Pucang Asri, Kota Surabaya dalam posisi banyak berbaring akibat pernah jatuh sehingga tulang belakangnya trauma.  Daya ingat Moechtar masih kuat, meski sekali-sekali ia perlu waktu lama untuk mengingat  sesuatu. (Tempo/RAPP002)