Cegah Bencana, Pakar Sarankan Pemkab Pacitan Perbaiki Kawasan Hulu

oleh -0 Dilihat
Sungai Grindulu foto by dok Pacitanku
Sungai Grindulu foto by dok Pacitanku

Pacitanku.com, PACITAN – Bencana alam yang kerap terjadi di Pacitan menjadi atensi tersendiri bagi kalangan peneliti, salah satunya peneliti dari kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) DI Yogyakarta yang merekomendasikan kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pacitan dalam hal kebencanaan.

Menurut pakar dan peneliti dari UGM, Evita Pramudianti  di Kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pacitan, Jalan Walanda Maramis nomor 9, Balong, Kelurahan Sidoharjo, Kecamatan/Kabupaten Pacitan, Rabu (28/10/2015), Pemkab Pacitan disarankan memperbaiki vegetasi tanaman di area hulu yang menjadi kawasan tangkapan hujan. Hal itu harus dilakukan agar bencana tanah longsor tidak terus terjadi di Pacitan.

”Bencana tanah longsor yang selalu menghantui masyarakat di wilayah Kabupaten Pacitan, tidak lepas dari pengaruh area hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Brungkal maupun Grindulu,” kata Evita Pramudianti saat menyampaikan materi dalam workshop penanggulangan risiko bencana.

Evita menyampaikan bahwa kondisi kawasan tangkapan air pada bagian hulu yang beralih fungsi dan alterasi hidrotermal ikut mendorong terjadinya kerawanan itu. “Seperti di lahan sekitar pemandian air hangat di Kecamatan Arjosari,” ujarnya.

Lebih lanjut, perempuan asal Pacitan yang mengambil spesialisasi Perencanaan dan Pengelolaan Pesisir Daerah Aliran Sungai di UGM ini  menjelaskan adanya perbedaan kondisi area tangkapan di Kecamatan Nawangan tahun 1999 dan 2014. Dalam kurun waktu itu, telah terjadi banyak perubahan signifikan pada wilayah itu, karena luas lahan pertanian bertambah secara cepat. Belum lagi keberadaan saluran irigasi dan bangunan air pada area yang sama, padahal idealnya, kata dia, untuk wilayah tangkapan air vegetasi harus terjaga.

“Sebab vegetasi dapat menurunkan volume air larian (run off) yang menjadi faktor penyebab terjadinya erosi, mengikat partikel-partikel tanah dan menurunkan tingkat kelembaban tanah melalui proses evapotranspirasi yang pada gilirannya akan mengurangi potensi terjadinya tanah longsor,” kata peneliti dari Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM ini.

Lebih lanjut, Evita menyampaikan bahwa akibatnya, kondisi air tanah juga ikut terpengaruh. Sampel tanah yang berwarna kemerahan, tercium bau karat, dan setelah melalui hasil tes laboratorium mengindikasikan ada kandungan besi pada air.

Terkait alterasi hidrotermal di kawasan lahan pemandian air hangat di Desa Karangrejo, lanjut dia, hal itu berkaitan dengan sejarah pembentukan kawasan itu sendiri. “Pada masa tersier lokasi tersebut adalah salah satu bagian gunung api purba di Pulau Jawa, alterasi hidrotermal dapat meningkatkan proses pelapukan batuan secara cepat dalam kurun waktu 40 hingga 50 tahun,”tandasnya.

Meski sampai sejauh ini longsor lahan dalam skala besar belum pernah terjadi, namun, adanya alterasi hidrotermal yang dicirikan dengan munculnya sumber mata air panas, mengakibatkan tanah-tanah di sekitar memiliki tanah dengan solum tebal dan meningkatkan bahaya longsor lahan.”Tanah antara Desa Karangrejo sampai Pakisbaru (Nawangan) terlihat seperti batu. Tapi sebenarnya lempung (tanah liat),” pungkasnya. (RAPP002/Ant)