Pemimpin yang Njawani Jelang Pilkadal Serentak

oleh -1 Dilihat
Logo Pilkada Pacitan 2015
Logo Pilkada Pacitan 2015

Oleh: Ki Setyo Harjodarsono* 

Mijil/Poma kaki padha dipun eling,/Mring pitutur ing ong,/Sira uga satriya arane,/Kudu anteng jatmika ing budi,/Ruruh sarta wasis,/Samubarang tanduk

Logo Pilkada Pacitan 2015
Logo Pilkada Pacitan 2015

Kepemimpinan (leadership) merupakan peran utama yang dibawakan oleh seseorang dalam membawa suatu bangsa kepada tataran peradaban dan kemajuan tertentu. Dalam sejarahnya, suatu daerah atau suatu negara, hampir pasti  kemajuan yang diperoleh, karena adanya kepemimpinan yang baik (jujur, cerdas, amanah,dan bijaksana). Dari panggung sejarah dunia kita melihat, misalnya bangsa Mongol menonjol karena adanya Jengis Khan, Yunani berkibar karena munculnya Iskandar Agung (Iskandar Zulkarnain), Arab menonjol karena munculnya Muhammad, dan sederet panjang pemimpin dengan karakter masing-masing.

Sejak zaman dahulu sampai dengan sekarang, dikenal pemimpin-pemimpin dalam kurun waktu tertentu yang menonjol dengan konsep empan papan atau konteks kekinian, merakyat dan bersahaja sesuai dengan kondisi zaman pada saat itu. Sehingga dari sejarahnya, para pemimpin tersebut memiliki karakter yang berbeda-beda.  seperti Balitung, Empu Sendok, Darmawangsa Teguh, Airlangga, Empu Bharada, Jayabhaya, Kertanegara, Gajah Mada, Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Fatahilah, Ki Juru Martani, Panembahan Senopati, Sultan Agung, Mangkubumi, Diponegara, Soedirman, Natsir, Soekarno, Soeharto, dan lain-lain. Masyarakat Indonesia cinta pada mereka lantaran sifat-sifat yang bisa diambil keteladannya.

Setiap jenis kepemimpinan memiliki ciri-ciri. Ciri-ciri tersebut akan berubah sesuai dengan kebutuhan zaman. Menurut Banu Suhardi (2010), kepemimpinan dalam budaya Jawa memiliki beberapa ciri, yakni: (1)   monocentrum,(2)   metafisis,(3)   etis (4)   pragmatis , dan (5)   sinkretis.Monocentrum bermakna bahwa kepemimpinan berpusat pada figur yang tunggal. Kepemimpinan Jawa bersifat tunggal, yakni berpusat pada satu orang (monoleader/ monocentrum). Hal ini merupakan suatu kelemahan karena begitu seorang pemimpin lenyap, maka sistem mengalami kekacauan. Tampaknya sistem ini masih mendominasi kepemimpinan umumnya di Indonesia. Orang yang terpilih jadi pemimpin kemudian mabuk kepayang, berusaha bertahan untuk tetap  mempertahakan jabatannya.

Fenomena ini ternyata merupakan suatu ciri yang universal pula di belahan dunia lain. Barangkali mereka ketularan orang Indonesia yang feodalistik rakus dengan jabatan, dan ingin bangun dinasti kekuasaan. Hampir setiap kepemimpinan ternyata memusat pada suatu tokoh, dan tokoh tersebut ingin wariskan kekuasaannya pada dinasti agar langgeng kekuasaannya. Akan tetapi, kekalahan  seorang tokoh dalam pemilu seringkali diikuti dengan menghilangnya sistem kepemimpinan, sebagai misal kejayaan Majapahit sangat tergantung pada Gadjah Mada, kejayaan Mataram sangat terikat dengan Sultan Agung, dan dominasi Orde Baru sangat terkait dengan Suharto, serta dapat diteruskan dengan sejumlah kasus.

Dalam kepemimpinan Jawa, orang cenderung menonjolkan figur kepemimpinan daripada sistem kepemimpinan. Suatu daerah misalnya, memilih pemimpin hanya berdasarkan ketokohan yang merakyat saja.  Unsur pendukung yang lain semisal kemampuan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual serta kapabilitas kepemimpinan formal malah diabaikan. Mereka berorientasi pada politik pragmatis, untuk kepentingan kelompoknya belaka. Akhirnya yang terjadi, sebuah pemerintah yang didasarkan pada figure itu, pembangunan hanya jalan di tempat. Sang pemimpin tidak tahu apa-apa. Kecuali mbanyol, atau sesekali marah-marah kepada stafnya, untuk menutupi ketidakmampuannya.

Pemimpin hanya ditunjuk  secara politis dan take for granted. Kadang-kadang di dalam menentukan pemimpin tidak ada penilaian track record dan quality (test kelayakan), andaikan ada sangat mendasar belaka. Dalam serat-serat Jawa pun hanya dicantumkan tentang karakter ideal seorang pemimpin, tetapi tidak ditunjukan ”bagaimana karakter itu dapat diproses”. Hal ini tergambar dalam konsep ”raja gung binatara ”. Gambaran tentang pengalaman  metafisis para calon raja diuraikan panjang lebar oleh Berg (1974) dalam bukunya Penulisan Sejarah Jawa (terjemahan). Hal tersebut juga tergambar dalam serat-serat dalam tradisi Jawa (Poerbatjaraka, 1952).

Gambaran ini juga tampak dalam gelar raja Jawa yang menggenggam semua aspek pemerintahan dari sosial dan pemerintahan dengan ungkapan ” berbudi bawa leksana, bau dendha nyakrawati”, amirul mukminin kalifatullah sayidin panatagama (pemurah laksana angin, yang menghukum dan menyempurnakan, pimpinan orang mukmin, wakil Allah di bumi, pimpinan yang mengatur agama). Kepemimpinan Jawa  bersifat metafisis, yakni selalu dikaitkan dengan hal-hal metafisik seperti wahyu, pulung, drajat, keturunan (nunggak semi), dan sebagainya. Seolah-olah, kemampuan memimpin bukan sebagai suatu capability, tetapi lebih condong sebagai miracle. Karena kepemimpinan bersifat metafisis, hampir-hampir tidak ada sistem rekruitmen pemimpin yang baik di negeri ini (Suhardi,2010).

Secara praktis, pandangan ini masih dianut oleh calon pemimpin-pemimpin di Jawa. Untuk mencalonkan dalam bursa kepemimpinan, banyak calon pemimpin melakukan ritual-ritual untuk mendapatkan kekuatan spiritual seperti memiliki/ membeli ”azimat”, tapa kungkum, meminta restu ”orang pintar”, ritual tertentu, dan lain-lain. Sementara itu, hal terkait dengan kapabilitasnya sering diabaikan. Bahkan sejarah pendidikan pun tidak jelas. Pokoknya asal merakyat saja. Titik.

Nilai kepemimpinan Jawa bersifat etis, artinya apa yang diidamkan adalah sesuatu yang berdasar pada baik buruk, tetapi konsep aplikasi riil yang ditawarkan sama sekali tidak ditunjukan. Dengan kata lain, nilai-nilai yang disampaikan tidak disertai dengan semacam metode pencapaian. Maka jangan heran jika rekruitmen kepemimpinan semacam ini seringkali hanya menjadi polemic yang berkepanjangan di kemudian hari. Negara dirugikan karena kepemimpinan yang kosong melompong, miskin prestasi. Sama halnya nggaji orang nganggur.

Kepemimpinan Jawa bersifat sinkretis, artinya konsep-konsep yang diambil adalah konsep-konsep yang berasal dari berbagai agama yang memiliki pengaruh pada pola pikir di Jawa, khususnya Islam dan Hindu. Pola pikir Islam biasanya disadap dari ajaran-ajaran sufi yang mengedepankan aspek wara’ (menjauhi kemewahan dunia) dan hidup sederhana sebagaimana para sufi yang meninggalkan kehidupan dunia untuk menuju kebahagiaan sejati (Sudardi, 2003).  Hal ini tergambar pada  idiom-idiom warok zaman dahulu yang hidup bersahaja, tekun ibadahnya, tekun membantu kebaikan kepada sesama manusia, dan meninggalkan kemawahan dunia. Semua yang dilakukan untuk keselamatan dunia dan akhiratnya. Begitlah warok yang asli. Kalau sekarang yang ada hanya warok abal-abal. Tidak ada apa-apanya dengan pendahulunya.

Nah!, seperti apa konsep kepemimpinan daerah pasca kepemimpinan yang boleh dikatakan perlu peningkatan seperti sekarang ini, untuk mencari dan menentukan bupati dan wakilnya yang ideal, cerdas, berwawasan luas dan dalam, bertanggunjawab, mampu melindungi kesejahteraan rakyat , merakyat, tidak kumpulkan harta benda untuk diri dan keluarganya, serta agamis. Maka masyarakat seluruh Indonesia berhak untuk menyuarakan tipe pemimpin  yang bakal menggelar kebaikan untuk semuanya. Tentu pemimpin bertipikal pemimpin sejati. Selamat pilkadal.

*KI SETYO HARJODARSONO adalah putra asli Pacitan, tepatnya di Kecamatan Tegalombo, saat ini aktif sebagai guru di Ponorogo. Beliau telah aktif menulis sejak 1987 di berbagai media lokal dan mataraman, seperti MATAN, WALIDA, MEDIA Pendidikan , Majalah Jemparing, Mimbar Depag dan BENDE. Penulis kini mengampu dan mengasuh rubrik Pringgitan Wayang Semprot di Portal Pacitanku.