Akademisi Minta Raperda Pendidikan DPRD Pacitan Tak Dipaksakan

oleh -0 Dilihat
Ilustrasi dunia pendidikan
Ilustrasi dunia pendidikan
Ilustrasi dunia pendidikan
Ilustrasi dunia pendidikan foto dok.Pacitanku

Pacitanku.com, PACITAN—Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang penyelenggaraan pendidikan yang diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pacitan dinilai prematur oleh kalangan akademisi.

Hal tersebut muncul setelah raperda tersebut dianggap tidak melalui tahapan khusus. Seperti adanya pembahasan naskah akademik dengan para akademisi sebelum adanya draf raperda. Tidak hanya itu, raperda itu juga dinilai asal-asalan lantaran hanya dibuat dalam hitungan bulan.

‘’Kalau masih prematur begitu jangan dipaksakan. Yang ada nanti bukan mewadahi kepentingan bersama, tapi malah akan menimbulkan masalah baru,’’ tutur Mukodi, perwakilan akademisi di sela rapat pembahasan raperda inisiatif penyelenggaraan pendidikan di Gedung DPRD Pacitan, kemarin (2/12), seperti dikutip dari radarmadiun.info.

Menurut Mukodi, untuk mencapai tahapan sebuah draf raperda seharusnya ada naskah akademik (NA) berisi acuan pembuatan draf. Karena sesuai mekanisme yang ada, produk sebuah perda merupakan hasil akhir dari rangkaian tahapan. Mulai perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, pengundangan baru kemudian penyebarluasan.

‘’Sementara untuk kegiatan hari ini (rapat pembahasan raperda inisiatif penyelenggaraan pendidikan, Red) kami langsung diundang untuk membahas. Harusnya sudah sejak awal melibatkan unsur akademis, karena ini terkait dengan dunia pendidikan dan kami yang akan melaksanakannya,’’ jelasnya.

Sedangkan ketentuan tentang naskah akademik sudah diatur dalam pasal 1 angka 7 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2005 tentang tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU), Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden. ‘’Dasar hukumnya sudah jelas,’’ ucapnya.

Dikatakan Mukodi, pihaknya atau perguruan tinggi serta tokoh akademisi lainnya di Pacitan tidak ada yang diundang untuk mengikuti tahapan-tahapan pembuatan raperda sejak awal perencanaan. Dia baru kali pertama diundang DPRD Pacitan untuk membahas draf raperda itu.

‘’Harusnya ada NA itu di-floor-kan dulu ke audience atau peserta, supaya para peserta tahu. Tidak seperti ini, dan drafnya saja juga baru kami terima. Terus langsung diundang untuk pembahasan, itu kan sudah tidak matang namanya,’’ tutur pria yang juga Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) STKIP PGRI Pacitan ini.

Lebih lanjut Mukodi menyampaikan bahwa pembuatan raperda inisiatif penyelenggaraan pendidikan yang dinilai instan. Menurutnya butuh waktu satu tahun atau minimal enam bulan untuk membuat sebuah raperda, untuk kemudian disahkan sebagai perda. Meski hanya berbentuk perda, kata Mukodi, aturan itu memiliki payung hukum dan bisa digunakan pemerintah untuk menjerat para pelanggarnya di kemudian hari.

‘’Jika dibuat asal-asalan dan hasilnya tidak maksimal buat apa. Itu tidak bisa dipaksakan, apalagi ini tinggal satu bulan dan itupun tidak penuh,’’ tandas pria yang juga dosen bahasa dan sastra Indonesia STKIP PGRI Pacitan itu.

Mukoji juga menilai jika waktu yang dimiliki DPRD Pacitan jelas tidak bisa digunakan untuk mengesahkan raperda secara maksimal. Lantaran butuh waktu dan proses yang lama untuk mengkaji pasal perpasal di dalam raperda tersebut. Mukodi mengaku pesimistis jika raperda itu bisa menjadi produk perda yang baik bagi kepentingan masyarakat (public interest). ‘’Raperda itu seharusnya dibuat dengan metode bottom up atau dari masyarakat ke penguasa (pemerintah) bukan top down seperti ini,’’ pungkasnya.

Redaktur : @RobbyAGustav