Masjid Tiban, saksi sejarah penyebaran Islam di Pacitan

oleh -16 Dilihat
Masjid Tiban Pacitan
Masjid Tiban Pacitan

Pacitanku.com, NGADIROJO Sejarah Pacitan tak pernah lepas dari sejarah perkembangan Islam. Berbagai macam bukti yang menunjukkan betapa hubungan Islam dan Pacitan dalam konteks sejarah begitu erat. Banyak bangunan peninggalan sejarah penyebaran agama Islam di negeri ini yang dipercaya keramat.

Salah satu bukti itu adalah adanya sebuah Masjid di Ngadirojo. Namanya adalah Masjid Tiban. Letak masjid ini di Desa Tanjungpuro, Kecamatan Ngadirojo, Pacitan, adalah bukti perkembangan Islam di tanah 1001 goa. Meski tidak ada catatan sejarah sebagai rujukan, namun berdasar cerita turun temurun masjid yang kini bernama Nurul Huda tersebut merupakan peninggalan Sunan Geseng.

proses ditemukannya Masjid Tiban ini tidak lepas dari peran sesepuh setempat bernama Mbah Bandung. Tokoh tersebut yang menemukan masjid di tengah rawa, lalu menyebutnya dengan Masjid Tiban. Tampilan Masjid Tiban dari luar tak ubahnya seperti masjid lain. Bangunan dengan panjang 20 meter dan lebar delapan meter itu sepenuhnya bercorak modern. Baik lantai, tembok maupun atapnya semua menampilkan citra masa kini. Masjid yang berada di tengah pemukiman tersebut sudah tiga kali direnovasi, yaitu pada 1976, 1986 dan 1998.

Namun, satu bagian yang tak pernah berubah adalah sisi tengah masjid. Bangunan utama berbentuk joglo yang ditopang empat pilar itu hingga saat ini dibiarkan seperti sedia kala. Tiang kayu yang menyisakan bekas tatahan kasar, tetap berdiri tegak tanpa dihaluskan. Demikian pula dengan kayu berukir yang melintang diatasnya, keduanya hanya dipoles cat warna coklat.

Masjid ini dipercaya sebagai masjid “tiban”. “Tiban” berarti jatuh atau ada secara tiba-tiba dan diyakini keramat. Nur Halim, pemangku masjid setempat, menceritakan asal-usul masjid ini cukup misterius.  Adalah Ki Ageng Bandung, orang kepercayaan Adipati Ponorogo, yang pertama kali menemukan bangunan cikal bakal masjid tersebut. Ki Ageng Bandung merupakan salah satu orang kepercayaan kerajaan yang membabat wilayah setempat yang waktu itu masih berupa hutan pada 1700-an hingga 1800-an.

Suatu hari Ki Ageng Bandung menjelajahi hutan di dekat Dusun Bandung. Baru sekitar tiga langkah berjalan, ia mendengar suara burung. Karena penasaran, dia mengikuti asal suara burung tersebut dengan menggunakan gethek atau alat untuk menyeberang yang terbuat dari bambu dengan menyusuri rawa hutan.

Akhirnya burung tersebut terlihat bertengger di dahan pohon tanjung kembar. Tepat di sebelah pohon tanjung kembar itu terdapat dua bangunan. Satu bangunan berbentuk rumah joglo dan satu bangunan lain adalah sebuah masjid kecil yang terbuat dari batu bata beratap ilalang.

Setelah masuk ke bangunan masjid yang sudah lama tidak terawat itu, dia menemukan selembar surat berbahasa Jawa kuno. Setelah dibaca, surat tersebut ditulis seseorang yang menamakan diri Sunan Geseng.

Isi surat berbunyi “Manawa alas iki wis babad sarta wis dadi desa reja, pandhapa iki dak cadangkake sapa kang dadi lurah. Lan masjid ing sakidul kulone iki dienggo panggonan mulang santri. Dene kang agawe pandhapa lan masjid iki aku, Sunan Geseng”.

Jika diartikan, surat tersebut menjelaskan bahwa “Apabila hutan ini sudah dibabat dan menjadi desa yang makmur, pendapa ini aku ujukan untuk siapa yang akan menjadi kepala desa. Masjid di sebelah tenggara nanti digunakan untuk tempat belajar para santri. Yang membangun pendapa dan masjid aku, Sunan Geseng”.

Di bangunan itu juga ditemukan sebuah kepek atau sejenis bungkusan kantong kecil dari kain yang tergantung. Setelah dibuka di dalamnya didapati jubah bergaris poleng beserta surban dan baju lengan panjang seperti baju koko untuk salat berwarna putih berbahan kain tenunan Jawa.

Sampai sekarang kepek dan peralatan lainnya masih tersimpan dalam kotak kayu yang dibungkus kain putih. Secara berkala, kain pembungkus itu diganti. “Saya tidak tahu apa isi kotak tersebut. Saya tidak berani membukanya,” ungkap pria yang akrab disapa Gus Nur ini.

Ki Ageng Bandung sendiri sebenarnya bangsawan dari Padjajaran, Jawa Barat. Konon, kepergiannya dari tanah Priangan itu setelah kalah berebut kekuasaan menjadi adipati dengan sang adik. Setelah kalah dalam perang saudara, ia hijrah ke wilayah Kerajaan Pajang, Jawa Tengah dan sampai ke wilayah Ngadirojo, Pacitan bersama salah satu muridnya, Panji Sanjayarangin. Sebelumnya, dia mengabdi di Adipati Ponorogo.

Sepintas tak ada yang menonjol dari bangunan masjid yang dekat dengan perbatasan Kabupaten Pacitan dan Trenggalek. Pun demikian saat memasuki pelataran masjid. Tidak ada tanda kapan masjid itu dibangun. Diperkirakan masjid itu sudah dibangun ratusan tahun yang lalu.