Kasihan, oh Kasihan (The story of my sweet village)

oleh -0 Dilihat

Pagi yang cerah, di akhir pekan ini, ada satu cerita tentang rasa rindu yang tiba – tiba menumpuk dikepala, dan ingin saya sedikit tumpahkan dengan bentuk tulisan, semoga bisa sedikit mengurangi rasa rindu yang mendalam, tentang dia, tentang mereka, tentang tempat itu. Tempat itu, tempat yang menjadi sejarah bagi saya, bagi orang  orang yang membersamai saya, dalam kasih sayangnya yang bagaikan samudera luas tanpa batas. Tempat itu, tetap dan selalu menyimpan sejuta kisah masa lalu, kini dan masa depan. Tentang rasa, tentang cinta, tentang kasih sayang, tentang kebersamaan, tentang, tentang, ya tentang rasa rindu yang mendalam.

Adalah Kasihan, sebuah nama yang aneh dan cukup unik untuk sebuah desa. Begitulah nama desa saya. Nama kampung saya, yang penuh dengan warna – warni yang indah. Walaupun kadang, ada beberapa teman yang ketika saya ajak ke tempat itu, macam – macam komentarnya. Suatu ketika ada yang bilang dan lebih tepatnya nyeletuk ‘mas, ini masih Indonesia enggak ya, kok tempatnya pelosok beeudd?, lalu ada juga yang bilang ‘wong ndeso’, ada juga yang bilang ‘ mas, disini ada tetangganya enggak ya?’, ada juga yang komen ‘Ih, syerem mas, ini kalau malam pasti rawan ya?’, ada juga yang lebih ekstrim bilang gini, ‘walaupun tempatnya nyaman, saya tidak mau aah, jadi orang Pacitan’, hadeww. Macam – macamlah komentarnya teman – teman yang saya ajak kesana. Namun walaupun begitu, walaupun komen yang cenderung negatif, tetap saja, jawaban saya tetap satu, yaitu adalah, Kasihan merupakan surga kehidupan dan surga cinta bagi saya. Dan akhirnya pernah suatu ketika 12 kelapa muda pernah mereka habiskan ketika (teman2 saya semasa di SMA 1 Ponorogo) main ke rumah saya, karena kebetulan kami, eh bukan ding, lebih tepatnya Bapak punya kebun kelapa dibelakang rumah yang cukup luas dan rasa kelapa mudanya, legi.

Kasihan, satu tempat yang menurut teman-teman, yang pernah berkunjung ke rumah, tempat dengan suhu dingin ketika malam hari, dan bahkan harus berselimut tebal ketika tidur, bahkan juga ada yang pernah sampai tidak mandi karena suhunya yang begitu dingin. Benar – benar kasihan kalian (yang tak mandi). Pernah ada, karena saking dinginnya, salah satu teman saya dari  tlatah Wonogiri sampai mandi malam, ups saya tak sebut merek lho, hehehe. Memang kalau dilihat secara topografi dan kondisi tanah, Desa kasihan yang berjarak sekitar 38 Km dari pusat Kota Pacitan ini mempunyai topografi berbukit – bukit, dan bukitnya pun macam – macam, ada yang bukit dengan tanah kapur yang sering amblas, ada juga yang bukit tanah subur yang cocok untuk ditanami tanaman kebun, seperti kalau dirumah saya itu yang cocok adalah tanaman cengkeh, dan lain sebagainya. Karena model topografinya demikian, maka membuat jalanan pun menjadi agak ekstrim dan naik turun, sesekali ada tikungan tajam disertai jurang disamping kanan dan kiri. ‘Ngeri’, begitu kata salah satu teman yang berkunjung ke desa saya melihat kondisi jalanan yang ekstrim.

Kasihan, satu desa yang masih memegang teguh adat dan kultur budaya Jawa yang sangat kuat. Seperti desa – desa lain yang berada dilingkungan Kecamatan Tegalombo, kultur budaya jawa sangat mempengaruhi kehidupan warga disini. Hal ini terlihat dari beberapa agenda didesa maupun didukuh saya ketika menjelang momentum tertentu. Misalnya momentum menjelang Ramadhan, segenap warga mengagendakan bersih desa, membersihkan jalanan kampung secara bersama – sama dan dalam tempo yang sesingkat – singkatnya , kemudian agenda nyekar, yaitu mendoakan leluhur yang sudah meninggal di makam, dan setelah itu biasanya ada agenda ‘Megengan’ semacam kenduri dengan didahului tahlil ataupun yasinan, lalu dilanjut dengan makan ketan kolak apem. Hmm. Ini salah satu yang saya senangi, karena dapat makan gratis, dan biasanya beruntun, atau kalau bahasa Jawanya nglincak, berpindah dari rumah satu ke yang lainnya. Ada lagi ketika pas agendanya Maulid Nabi, biasanya dukuh tertentu, misalnya kalau ditempat saya itu dukuh kaliwinong, melaksanakan agenda hajatan mauludan di tempat saya, ini juga saya suka beudd, karena makan – makan juga TIKnya, hehehe.

Kultur budaya jawa ini sepertinya sudah mentradisi di kampung saya, biasanya orang – orang sesepuh desa itu menjadi tokoh adat setempat. Misalnya bapak saya, walaupun beliau kepala sekolah, tetapi beliau Jawa banget. Dulu saya diajari nembang, diajari bahasa krama inggil, kalau dengan yang lebih tua itu harus memakai bahasa halus, atau istilahnya krama, juga bapak saya ini walaupun seorang kepala SD, tetapi sering dimintai tolong untuk menjadi Ketua Pengantin, istilahnya pasrah manten, salah satu istilah yang saya ingat ketika sedang pasrah manten itu adalh, kutipan… ‘raden mas bagus ….. bin… satria saking tlatah…. pikantuk rara ayu…. binti …. saking tlatah…. mugi tansah pinaringan rahayu wilujeng, dados pinanganten sarimbit ngantos kaken kaken ninen ninen, nir ing sambikala’. Selain itu, beliau sangat hafal kalender dan penanggalan jawa, bahasa jawanya wuku, misalnya ada wuku Senin Pon mengatal, itu hari lahir saya, atau ada lagi wuku medangkungan, sinto, landhep, ukir, dan bla bla bla yang lainnya. Atau ada juga istilah mongso, mongso 8, mongso 7, mongso 6, biasanya mongso ini digunakan untuk penanda musim, hujan atau kemarau. Saya juga bingung, gimana cara ngitungnya ya (garuk2 kepala).

Kasihan, satu tempat dan desa, atau istilahnya kampung pelosok tetap menyimpan hikmah, terutama tentang kebersamaan yang erat dari warga – warganya. Hal ini dibuktikan ketika ada momentum agenda tertentu yang dilaksanakan seorang warga. Agenda obong boto, atau membakar batu bata, biasanya dilakukan malam hari, dan sejumlah warga dan tetangga secara ikhlas turut berpartisipasi mensukseskan obong boto tersebut. Kemudian agenda sunatan atau nikahan, biasanya tetangga sekitar secara sukarela turut berpartisipasi, untuk yang satu ini ada istilah silih-silih dan ulih-ulih. Agenda yang kalau menurut saya cukup unik. Istilah silih-silih itu adalah agenda meminjam properti yang mendukung agenda nikahan kepada tetangga sekitar, misalnya minjem piring, kursi, gelas, meja, dan perabotan lainnya. Sedangkan ulih – ulih adalah mengembalikan barang-barang yang dipinjam setelah hajatan nikahan selesai. Masih ada lagi contoh tentang rasa kebersamaan yang masih dipegang teguh warga dikampung saya, semisal agenda nyambat, atau keluarga A sedang membuat rumah, lalu secara sukarela para tetangga turut membantu mensukseskannya, yang bapak- bapak membuat rumah, yang ibu – ibu membantu masak untuk bapak – bapak yang bekerja.

Kasihan, walaupun desa kecil, untuk bidang politik, jangan salah, disini juga ada pertarungan strategi siyasah, politik yang cukup sering, terutama ketika momentum pemilihan kepala desa. Saat kampanye, ada tim sukses, ada bobotoh, ada pertarungan urat saraf, money politic, bahkan sampai ada yang menggadaikan akidahnya untuk mendukun, sudah biasa. Dulu tahun 1999 bapak saya juga pernah mencalonkan diri jadi Kades, tetapi akhirnya kalah terhormat selisih 5 angka saja. Untuk tahun 2009 saja dulu yang nyalon jadi Kades cukup banyak, ada 6 calon, padahal KK disini Cuma sekitar 2000an, tetapi antusiasme warga untuk menyalurkan aspirasi politiknya sangat tinggi. Tentu warga sangat berharap pemimpin yang jadi menjadi pemimpin yang adil dan merakyat.

Kasihan, juga menyimpan cerita tentang potensi desanya. Rata – rata didaerah sini setiap rumah memiliki kebun cengkeh yang menjadi unggulan. Cengkeh menjadi komoditi warga kasihan, apalagi dulu saat harga cengkah naik drastis, tepatnya zaman presidennya Gusdur, waktu itu harga cengkeh melonjak sampai angka 94 ribu per Kg, spontan kondisi tersebut membuat warga menjadi ayem, tentrem, banyak duit. Selain cengkeh, biasanya warga juga memiliki mata pencaharian lain misal peternak sapi, kambing, ayam, nyawah, juga ada yang manjadi pedagang pasar.

Akhirnya, itulalh sedikit cerita tentang desa Kasihan, yang menurut warga, maknanya buka melasi atau kasihan, tetapi mengasihi. Dan bagi saya, kasihan tetap menjadi inspirasi untuk terus berkarya, bekerja membangun indonesia.