BNPB-BPBD Edukasi Budaya Sadar Bencana Warga Pacitan dengan Wayang Kulit

oleh -0 Dilihat
WAYANG SADAR BENCANA. Perhalatan wayang yang digelar kolaborasi BNPB-BPBD Pacitan.
WAYANG SADAR BENCANA. Perhalatan wayang yang digelar kolaborasi BNPB-BPBD Pacitan.
WAYANG SADAR BENCANA. Perhalatan wayang yang digelar kolaborasi BNPB-BPBD Pacitan.

Pacitanku.com, PACITAN – Perpaduan edukasi dan hiburan pertunjukkan rakyat wayang kulit bangkitkan kesadaran masyarakat Pacitan terhadap potensi bahaya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana  Daerah (BPBD) Pacitan menghadirkan Dalang Ki Purbo Asmoro untuk membawakan pertunjukkan wayang kulit di Alun-alun Pacitan pada Sabtu malam (22/10).

Ribuan warga Pacitan hadir di Alun-Alun Pacitan menyaksikan wayang kulit. Bahkan beberapa warga asing dari Amerika, Inggris, Jepang, Australia murid Dalang Ki Purbo Asmoro yang sedang belajar kesenian Jawa ikut hadir menyaksikan wayang kulit.

BNPB menggagas kampanye ’Budaya Sadar Bencana’ sebagai upaya untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap bencana.

“Kita tahu bahwa kita sering lupa dengan bencana apabila kejadian bencana tersebut terjadi lima atau sepuluh tahun lalu. Kemudian kita tidak waspada terhadap berbagai ancaman atau potensi bahaya di sekitar kita. Pengetahuan bencana oleh masyarakat kita meningkat signifikan sejak tsunami Aceh. Namun pengetahuan tersebut belum menjadi sikap dan perilaku. Apalagi menjadi budaya sadar bencana. Kita masih perlu kerja keras dan berkelanjutan untuk mewujudkan masyarakat sadar bencana” kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam sambutan.




“Kami mempersembahkan acara ini bukan semata-mata sebagai ajang hiburan bagi masyarakat tetapi sebagai media edukasi bencana yang menjadi salah satu upaya dalam pengurangan risiko bencana,” ucap Sutopo.

“Kami sangat mengharapkan masyarakat yang hadir di sini tidak hanyak mengikuti kisah yang disampaikan oleh Sang Dalang, tetapi juga menerima pesan-pesan terkait bencana,” tambah Sutopo Purwo Nugroho.

Ki Purbo Asmoro membawakan lakon ‘Mbangun Candi Sapto Argo,’ sebuah kisah Begawan Abiyoso, kakek dari Pandawa, membangun Candi Sapto Argo. Candi tersebut sebagai simbol penguatan kapasitas dan jati diri rakyat Amarta, dalam konteks spiritual. Makna dibalik kisah ini mengenai bagaimana membangun kearifan lokal dalam mitigasi bencana.

Sementara, Kasi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Pacitan, Ratna Budiono menuturkan bahwa dalm hal ini, wayang kulit menginspirasi dalam membangun kearifan lokal dalam hal mitigasi bencana. “Pesan yang disampaikan adalah pembangunan sumberdaya manusia tangguh bencana sangatlah penting. Demikian pula konsep pembangunan fisik harus mengedepankan sisi aman bencana,”ujarnya.

Di sisi lain, pembangunan candi sebagai simbol tempat ibadah dan bangunan publik yang harus memperhatikan rencana tata ruang sehingga tidak mengganggu ekosistem di sekitar.

Pesan yang ingin disampaikan oleh Sang Dalang yaitu pembangunan sumberdaya manusia tangguh bencana dan konsep pembangunan fisik dengan mengedepankan sisi aman bencana.

Ribuan warga Pacitan memadati pertunjukkan wayang kulit yang berbarengan dengan peringatan Hari Santri Nasional. Pertunjukkan ini juga disiarkan langsung melalui stasiun radio Grindulu FM dan Radio Suara Pacitan.

“Saya senang hiburan wayang kulit seperti ini, namun yang bermuatan bencana baru kali ini. Saya berharap BNPB sering menyelenggarakan wayang kulit atau kesenian rakyat dengan isi bencana. Karena lebih mudah dipahami masyarakat daripada sosialisasi di kantor atau gedung pertemuan.” kata Rohib, warga Pacitan.

Pacitan termasuk wilayah dalam 136 kabupaten/kota dengan indeks risiko tinggi. Catatan sejarah gempabumi besar Pacitan pada 1859 dengan kekuatan 7,5 SR. Gempa saat itu menyebabkan tsunami kecil. Berselang 78 tahun, gempa besar berkekuatan 7,2 SR terjadi.

Sementara itu,  beberapa waktu lalu UPN Veteran Yogyakarta, Pusat Geoteknologi LIPI serta Universitas Birgham Young, Amerika Serikat melakukan penelitian tentang endapan tsunami purba dan peramalan tsunami. Dari hasil penelitian tersebut, jargon 20-20-20, dalam konteks potensi bencana gempabumi dan taunami, dicetuskan bersama tim peneliti dan BPBD Pacitan. (RAPP002)